webnovel

unexpected dusk

Saat senja masih belum beranjak pergi. Ketika sesuatu yang aneh terjadi. Nata memang buta, namun dia masih bisa merasakan apa yang ada di sekitarnya. Bahkan puing - puing yang terhempas dari bekas dentuman itu sekalipun sanggup ia hindari dengan cepat.

Nata berhenti di depan rumah merasakan beberapa hal, pertama bongkahan besar bulat seperti bola berdiameter 3 meter setelah sungai di arah selatan, kedua banyak orang – orang yang tergeletak di tanah tanpa ada detak jantung terasa di sekitaran bola itu serta dua puluh satu orang yang berdiri berkerumun puluhan meter dari Nata berada setelah tikungan mengarah ke arah dermaga. Karena penasaran, Nata berlari ke arah kerumunan dan mendapati beberapa orang – orang asing berpakaian berantakan. Orang – orang itu memiliki wajah yang tidak terawat, muka mereka penuh dengan rambut wajah, jenggot tebal dan keriting, kumis tebal yang tidak rata. Di sekitar mereka tergeletak warga dengan kucuran darah, ada yang telungkup dan tengkurap di tanah, terduduk di dinding dengan bagian perut terbelah. Detak jantung mereka tidak bisa dirasakan lagi oleh Nata.

Salah satu dari mereka yang berdiri itu bertubuh besar, "mari ikut dengan Oro, HIHIHI. Begitukan ejaannya ?" kata pria itu, rambutnya panjang berwarna abu – abu. Warna rambutnya seperti baru saja tertutup abu, sehingga masih nampak ada warna hitam di beberapa bagian.

"Siapa kau ? apa yang kau lakukan pada warga ?" tanya Nata serius.

"Dua pertanyaan sekaligus. Itu curang. HiHiHi.." tawa pria itu, "Kau anak yang sedikit berbeda dari orang – orang yang dengan mudah kucabut nyawanya itu," kata pria berambut abu abu, "tangkap dia." Perintahnya ke orang – orang berbaju berantakan di depannya.

Orang – orang di samping pria berambut abu -abu yang mengenakan rompi jerami dan jaket yang sudah robek - robek itu langsung berlari maju ke arah Nata. Mereka ada yang membawa pedang dengan dua bilah yang sama tajam sepanjang satu meter, dan tongkat hitam yang tampaknya terbuat dari besi.

Nata dapat merasakannya, lima orang sekaligus maju. Ia lantas mengambil posisi kuda – kuda dengan tangan kiri mengepal ke arah bawah, sementara tangan kanan mengepal diletakkan di samping pinggang.

"Wah wah, ada gladiator muda. HIHIHI" kembali tertawa pria berambut abu – abu itu.

Orang pertama yang hendak menangkap Nata maju menyerang membawa sebuah besi panjang berwarna hitam. Ia memutar besi itu dan mengayunkan ujungnya ke arah kepala Nata. Nata menepis dengan lengan kirinya. Sebuah teknik yang diajarkan Sau Gie untuk menangkis serangan dengan memusatkan energi pada satu titik yang akan diserang. Hal itu membuat Nata tidak merasakan sakit dalam menangkis besi itu.

Kemudian ia membalas dengan melesatkan pukulan ke arah ulu hati orang pertama yang menyerangnya. Orang itu mundur beberapa langkah, dari mimik mukanya ia terlihat kesakitan. Pukulan Nata yang dia pelajari dari Sau Gie mengincar alat vital dan mengefisienkan tenaga untuk menyerang, sehingga membuat stamina dapat bertahan lebih lama dalam pertarungan.

Pria berambut abu – abu tersenyum sinis. Adrenalinnya naik karena melihat seorang anak laki – laki berbakat yang dapat menahan serangan anak buahnya.

"Luar biasa," kata pria berambut abu – abu.

Nata tidak membalas ucapan demi ucapan yang dilontarkan pria berambut abu – abu itu. Ia sangat ingin melampiaskan ilmu yang ia dapat dari Sau Gie. Dan tidak ia sangka ia bisa mempraktekan ilmu tersebut secepat ini ke orang yang dia rasa, dia orang yang tidak baik dan mengganggu.

Orang kedua dan ketiga menyerang secara bersamaan, mereka menyadari Nata bukanlah anak – anak yang mudah untuk dikalahkan. Sayangnya serangan kedua orang ini dihadang oleh salah satu prajurit Trivell Aquiros. Ia menggunakan topi dengan bulu domba putih menjadi hiasan memutar di topinya. Sementara bajunya, seragam khas Trivell Aquiros memperlihatkan kebanggaan besar dari satuan prajurit yang melindungi Burganvia. Dengan mudah ia menghempaskan kedua orang tadi dengan dua kali lunge ke arah dada mereka. Kedua orang yang terkena terpental.

"Ini yang kutunggu, orang yang kuat. HIHIHI," pria berambut abu – abu yang sedari tadi melihat, melangkahkan kaki maju menghampiri orang yang melindungi Nata.

"Bocah, dengan ini ku perintahkan kau untuk bergegas pergi," begitulah kata pria bertopi bulu memerintahkan Nata untuk pergi menjauh.

"Apakah kamu yang membunuh semua penduduk ini ?" mata pria prajurit Trivellios itu tajam mengarah ke pria berambut abu – abu.

Pria berambut abu – abu meraih dua pedang seperti pisau sepanjang dua meter dan selebar satu kaki yang tersemat di punggungnya, "Tentu saja aku, ada masalah ?" ia lantas melangkah maju dengan cepat. Tinggi 245 cm pria berambut abu – abu membuatnya dengan mudah mendekat ke depan pria bertobi bulu dan mengayunkan dua pedang nan besar ke dada pria bertopi bulu yang hanya bisa menghindar mundur. Kekuatan mereka berbeda jauh, telihat jelas dari perbedaan besar tubuh. Tapi, pria berambut abu – abu dengan tubuh besar dan pedang nan besar itu cukup cepat. Jangkauan serang yang jauh, langkah yang panjang, dan kecepatan dari tekniknya membuat pria bertopi bulu terpojok mundur.

Di sekitar lahan bertarung mereka, mayat yang bergelimpangan membatasi gerak langkah kaki pria bertopi bulu, berbeda dengan pria berambut abu – abu yang dengan bebas melangkah menginjak – injak mayat – mayat yang berserakan.

"Tertekan ya ?" suara keras nan beringas pria rambut abu – abu menyentak pria bertopi bulu yang masih tenang menghindari serangan demi serangan.

Perpaduan langkah mundur pendek, serta tebasan dari pedang pria bertopi bulu yang beradu dengan pedang besar pria berambut abu – abu memberinya ruang untuk bergerak. Walaupun tidak dapat menepis sepenuhnya tebasan dari pedang besar itu tapi setidaknya dua detik saat ayunan pedang besar itu berhenti sebelum mengayun lagi cukup untuk membantu pria bertopi bulu berpikir sejenak.

Brakk.. sesekali pedang besar sang pria berambut abu – abu yang berhasil dihindari oleh pria bertopi bulu menabrak keras ke tanah, bata yang terkena terbelah dan tanah pun retak. Terlihat jelas kekuatan sang pria berambut abu – abu tidak bisa dianggap remeh.

"hah, hah, hah," nafas sengal yang timbul dan hilang dari pria bertopi bulu terdengar jelas hingga ke telinga pria berambut abu – abu.

Sang pria berambut abu – abu melebarkan mata seperti melotot maksimal. Kedua tangan yang masing – masing memegang pedang itu dengan ringannya memutar – mutar pedang besar. Ia berkali – kali mengganti posisi kuda – kuda kaki, menggeser ke kanan dan ke kiri seperti hendak bersiap untuk berlari kencang. "Hup," ia menghentak, melangkah maju, menerjang ke arah pria bertopi bulu.

Pria bertopi bulu menarik nafas panjang dilanjutkan dengan sebuah back step guna menghindari serangan cepat pria berambut abu – abu. Tapi, teknik menghindarnya tidak cukup. Jangkauan serang si pria berambut abu – abu kali ini lebih jauh. Dua tebasan silang kuat sang pria berambut abu - abu itu beradu dengan rapier menghempaskan pria bertopi bulu, menjatuhkan topi bulunya memperlihatkan rambut hitam panjang nan lembut miliknya. Pria bertopi abu – abu yang merunduk kembali berdiri.

"kena, HIHIHI " kata pria berambut abu – abu. Ia terus maju mengarah ke Pria bertopi bulu, pedang di tangan kirinya ia posisikan rendah sejajar dengan kaki, sementara pedang di tangan kanannya ia ayunkan dari sisi bahu kanannya membuat tebasan silang mengarah tepat ke dada pria berambut hitam.

"Huff" pria bertopi bulu menghela nafasnya, melakukan back step dengan posisi ujung pedang mengarah ke bahu kanan pria berambut abu – abu. Pria bertopi bulu menepis tebasan dari pedang di tangan kanan pria berambut abu – abu dengan tusukan lurus yang kuat. Tebasan dari kanan pria berambut abu – abu tertahan. Ia tidak bisa mengimbangi kecepatan pria itu, alhasil pedang di tangan kiri pria berambut abu – abu berhasil menebas bilah pedangnya, menggeser posisi rapier pria bertopi bulu ke atas. Membuka ruang pria berambut abu – abu untuk melancarkan serangan menggunakan pedang tangan kanan membuat tebasan dari kanan bawah ke kiri atas yang seketika merobek dada Pria bertopi bulu.

Pria bertopi bulu berteriak mengerang kesakitan, Dia menyempatkan melihat ke arah belakang, ke arah Nata. Ia sedikit tersenyum karena anak itu sudah menyelamatkan diri, pergi dari area itu. Pria berambur abu - abu menegakkan kedua pedangnya sejajar dengan kaki.

"Belum saatnya," teriak Pria bertopi bulu kuat – kuat menahan luka besar di dadanya yang sangat menyakitkan.

Pria bertopi bulu bangkit melakukan forward step. Karena kaget, Pria berambut abu – abu merespon melancarkan serangan dua tebasan sekaligus dari dua arah. Pria bertopi bulu menahan dengan dua lunge  kuat, maju mengayunkan rapier ke pedang di tangan kiri sang pria berambut abu – abu, sesaat dengan cepat juga menebas pedang di tangan kanan sekaligus.

Pria berambut abu - abu sontak melangkah mundur. Kesempatan ini tidak disia - siakan, pria berambut hitam legam lembut yang melambai terurai melakukan forward step susulan, kali ini dengan menumpu pada dua kaki melompat meluncur, memberikan serangan lunge cepat ke arah dada kiri pria berambut abu – abu yang belum siap akan serangan balik itu.

"Agh," Pria berambut abu – abu kaget. Ia tidak menyangka Pria bertopi bulu masih sanggup menyerang. Tapi satu serangan balasan pria bertopi bulu itu terlalu banyak memiliki celah. Ketika ujung rapier pria bertopi bulu masih tertancap di dada pria berambut abu – abu, sebuah dua tebasan dua arah meluncur ke arah tangan pria bertopi bulu.

Pria bertopi bulu melepas rapiernya, melakukan back step sejauh tiga meter menghindari tebasan pria berambut abu - abu. Di hadapannya pria berambut abu –abu yang mengerang kesakitan melompat lagi mencoba mendekat, dua pedang besar itu kembali mengarah ke dua lengan pria bertopi bulu. Kecepatan itu tidak bisa diimbangi pria bertopi bulu yang sudah banyak kehilangan darah. Alhasil, dua tebasan itu berhasil memotong kedua tangan Pria bertopi bulu. Tangan Pria bertopi bulu tergelatak terjatuh. Darah mengalir bercucuran dari bekas potongan itu. Pria berambut abu – abu berdiri dengan rapier yang masih tertancap. Serangan Pria bertopi bulu rupanya tidak berhasil mengenai jantung pria berambut abu – abu. Melainkan hanya menyisir tipis di bagian dada kirinya. 

Pria bertopi bulu terjatuh di tanah ia tersenyum lantas memejamkan kedua matanya.

"Jika tidak meleset, mungkin aku yang akan terjatuh." Sang pria berambut abu – abu melirik rendah ke mayat Pria bertopi bulu "Rambutmu begitu indah pria bertopi bulu, aku akan mengambilnya untuk hadiah penyerangan ini. Dulu aku memiliki rambut seindah ini," bisik pria berambut abu – abu.

"bos terluka, cepat panggil dokter kapal," teriak salah satu anak buah.

~evil's way~

-di depan toko baju Porsceco-

(15 menit sebelum dentuman pertama terdengar)

Senja akan datang, namun jalanan tetap ramai oleh kereta kuda yang hendak kembali ke bagian lain dari kerajaan Burganvia. Lampu – lampu jalan silih berganti dinyalakan untuk menerangi seisi kota, karena cahaya matahari sudah tidak bersinar tertutup punggung Puncak Rakavas.

Di sebuah pohon rindang di tepian jalanan utama yang membelah kota, Agran sedang duduk membaca buku di dahannya. Senja tiba, Agran turun dari pohon itu, tepat di depan dua orang kekasih yang sedang duduk di kursi di bawah pohon itu. Tentu saja hal itu mengejutkan kedua kekasih tersebut yang seketika melirik tajam ke arah Agran. Namun Agran membalas melirik sepintas dan pergi melangkah masuk ke rumahnya, tepat di belakang sepasang kekasih itu.

"Tidak sopan" kata si pria. Padahal mereka yang duduk juga tidak tau jika Agran sudah berada di atas pohon dari sejak siang hari.

Rumah Agran merupakan tempat menjahit baju pesanan. Dari luar akan terlihat beberapa contoh jas hitam yang elegant. Agran hanya berdiam di balik pintu rumahnya, berdiri sambil membaca dan memegang gagang pintu. Di tangan kanannya masih ada buku tebal bertuliskan Henib an Burganvia ( giografi  burganvia ) yang sedari tadi ia baca. Lirikan mata dengan bola mata merah melirik keluar kaca, memandangi langit yang berubah jingga.

DOOM

Sebuah dentuman yang menggetarkan tanah terjadi, Agran yang masih berdiri diam membaca buku di belakang pintu rumahnya seketika kaget.

"oya" katanya pelan. Kemudian ia melempar buku ke tumpukan buku yang ada di sebuah meja coklat kecil di sebelah pajangan baju. Lemparan itu tidak membuat tumpukan buku terjatuh, hanya bergoyang sedikit.

Setelahnya ia berlari keluar rumah, sepasang kekasih yang tadinya berada di depan rumahnya sudah pergi entah kemana. Agran dengan berani menuju ke arah suara dentuman. Ia berlari dengan tangan tetap di saku. Gaya berlarinya seperti orang yang sedang mengayuh sepeda, namun lari Agran tidak pelan. Ia merupakan salah satu pelari tercepat dibanding dengan anak sebayanya.

Letak dentuman terjatuh bola besar berwarna hitam itu jatuh terletak dua blok di sebelah utara taman selatan kota, sekitar tiga blok dari jalanan utama kota ke arah barat laut dari letak rumah Agran, ia memerlukan hampir 15 menit dengan berlari. Sesampai di tempat kejadian ia melihat sebuah bola hitam berukuran tiga meter menabrak beberapa rumah. Agran menoleh ke kiri dan ke kanan. Serpihan – serpihan bekas reruntuhan rumah di sisi jalan berserakan, terdapat juga beberapa mayat manusia yang sudah meninggal bersimbah darah.

Dengan tetap menaruh tangan di saku, ia berumam, "oya, sepertinya kehidupanku yang membosankan sudah berakhir," senyuman merekah menyeruak dari Agran menandakan betapa ia menanti kejadian seperti itu.

DOOM.. bola hitam kedua terjatuh, kali ini suara berasal dari jalanan utama kota di dekat rumah Agran, tapi Agran tidak memperdulikan hal itu. ia hanya menoleh sedikit. Ia heran akan bola besar yang terlempar, bagaimana sistem yang digunakan untuk melempar bola sebesar itu. 

Walaupun di depannya terdapat mayat berlumuran darah yang tertimpa serpihan atap. Meskipun di depannya sudah berkerumun puluhan anggota Trivell Aquiros dan orang - orang asing yang mengenakkan pakaian coklat dan hitam sedang bertarung, beradu pedang satu sama lain. Tetap, dengan santainya Agran berjalan pelan melalui anggota Trivell Aquiros, mengambil sebilah rapier dari salah satu prajurit. Tidak ada satupun anggota Trivell Aquiros yang menyadari kehadiran Agran melewati orang – orang itu. Ketakutan para prajurit Trivell Aquiros membuat Agran menyelinap melalui mereka dengan mudah. Setelah melewati kerumunan prajurit, Agran dihadang oleh tiga orang yang sedari tadi melihat tingkah Agran yang tidak punya rasa takut sedikitpun. Mereka melihat kelihaian Agran mengambil pedang tanpa ketahuan dan menyelinap melalui desakan pertarungan jarak dekat.

Tiga orang itu mengangkat sebuah pistol seukuran tangan ke arah Agran. Agran hanya menunduk, melesat maju dan menebas tangan – tangan lawannya sebelum mereka sempat menembak. Mereka yang tertebas berteriak mengagetkan para Trivellios yang sedang sibuk bertarung. Para Trivellios yang teralihkan oleh Agran tertebas oleh para perusuh yang sedang mereka hadapi. Sementara Agran, dengan pedang yang telah berlumuran darah tetap maju ke tempat seorang pria tinggi besar setinggi hampir dua meter yang mengenakan jubah kulit berwarna coklat. Di lehernya terkalung bulu domba berwarna putih. Dari gaya pria itu nampak jelas bahwa ia petinggi orang – orang asing yang sedang bertarung melawan prajurit Trivellios.

"oya, jadi kau yang membuat petaka ini, pria tua" sahut Agran sinis. Pedang yang digenggam ia angkat sejajar dengan dada, lumuran darah masih menetes di ujung pedang.

Sembari mengangkat wajah, Agran menyeringai tersenyum, "Mari kita buat kesepakatan, pria tua."

-Area kediaman Sau Gie-

(sesaat sebelum terjadi dentuman pertama)

Di dalam rumah, keluarga kecil Sau Gie sedang berada di ruang tengah, mereka sedang memakan makanan yang mereka bawa dari festival siang tadi. Ruangan ini dicat hijau muda seperti warna daun pandan muda, meja kursi berwarna dasar hijau daun pisang dengan tepian berwarna merah menggaris memutari meja.

"Chayra kamu besok akan mulai sekolah," kata ibunya mengawali pembicaraan.

"Tapi, irou Nata tidak sekolah," jawab Chayra, ia menyuapi mulut berwarna merah cerah yang basah itu dengan sumpit kayu cokelat muda.

"Tapi irou kuat," Sau Gie memegangi hidung gadis kecil berwajah bulat itu.

"Jadi kalau kuat tidak perlu sekolah ?"tanya lagi Chayra.

"Begini, kalau Chayra pintar. Berarti Chayra sama kuat dengan Nata," Erdeneshia mencoba membujuk, mengalihkan Chayra dari fakta.

"Baiklah," jawab Chayra dengan suara kecil. "Tapi aku harus dijemput oleh irou Nata ya ?"

"Ya ya," pasrah Sau Gie. Bagi Chayra, Nata adalah teman yang sangat penting. Menjadi teman laki – laki pertama Chayra, menjadi teman main sejak Chayra masih berumur lima tahun, dan selalu menjaga Chayra ketika hendak terkena bahaya. Tak heran bagi Chayra, Nata merupakan sosok kesatria.

Suapan demi suapan berlalu, makanan sudah habis, kini yang tersisa hanya rasa perut yang telah penuh terisi.

Krakk..Sau Gie mendorong kursi kemudian berdiri. Padahal Sau Gie selalu menekankan untuk mengangkat kursi, bukan mendorongnya.

"Vie, angkat kursinya," marah Chayra. Ia mencoba mengingatkan ayahnya yang nampak tergesa – gesa.

"Ia, jaga Chayra," kata Sau Gie tegas, mukanya serius ia melihat ke arah timur merasakan sesuatu.

"Ada apa Sauro ?" heran Erdeneshia, ia ikut berdiri dan menghampiri Sau Gie yang bergerak ke depan pintu rumah.

"Carikan bajuku, dan bawakan aku samakou," perintah Sau Gie. Ia membuka pintu, dan saat itu juga terdengar suara dentuman...DOOM.. bola besar berwarna hitam itu jatuh terletak dua blok di sebelah utara tman selatan kota, sekitar tiga blok dari jalanan utama kota dan hal itu terjadi tepat di depan mata Sau Gie. Di hadapan Sau Gie, ia menatap lurus tiga kapal hitam memasuki teluk.

*samakou : pedang biru yang sudah lama menemani Sau Gie

"Siapa mereka, kenapa jauh - jauh kemari ?" gumam Sau Gie.

"Ini," Erdeneshia memberikan baju panjang biru tua bermotif naga kuning di punggung melingkar hingga dada dan sebuah pedang panjang bersarung biru tua dengan lis kuning keemasan di gagangnya.

Sau Gie mengenakan baju dan menenteng pedang sepanjang 1,3 meter  di tangan kiri. Ia menghela nafas panjang, "aku pergi dulu, jaga Chayra Ia," kata Sau Gie mengingatkan sekali lagi.

"Iya. Jangan memaksakan diri Sauro! Ingatlah Chayra besok akan masuk sekolah," senyum Erdeneshia.

Sau Gie menghentakan kaki kiri dan berlari kencang di tengah balai, melompat dengan tumpuan bibir bangunan balai melewati lapangan yang biasa digunakan latihan murid – muridnya dan mendarat di garis pembatas tangga. Di situ Sau Gie meluncur seperti sedang memakai sepatu roda menuruni sisi kiri tangga. Hanya lima menit, Sau Gie sudah berada di gapura depan rumahnya.

DOOM.. dentuman kedua terlihat setelah 15 menit dentuman pertama terjadi. Kali ini bola besar terjatuh di jalanan utama. Di langit masih ada dua bola yang melayang mengarah ke sisi utara dan selatan kota. Asap sudah mengepul dari bekas jatuhnya bola besar, disusul puluhan bola meriam seukuran bola bowling menyebabkan api tersulut membakar puing - puing reruntuhan.