webnovel

night without stars

Raka menjadi salah satu murid terbaik di iniyahanda an haluks, ia menjadi kebanggaan orang tua Raka. Berbeda dengan sang kakak, Nata terlahir buta, mata hitam pekat menutupi lingkaran mata yang dikelilingi bulu mata pendek nan rapat. Nata tidak bisa membaca ataupun menulis, ia bahkan tidak memahami perbedaan warna. Sedari kecil ia selalu dikucilkan dan dianggap sebagai anak yang menakutkan. Dengan mata hitam yang tentu saja sangat menyeramkan bagi anak kecil, Nata dapat dengan mudah membuat anak – anak kecil menangis di hadapannya.

Kembali ke beberapa tahun sebelumnya. Kala itu, Nata berumur delapan tahun. Seorang anak yang tidak bisa mengerti keragaman warna benda yang ia lihat bahkan makanan yang hendak ia makan, yang ia pahami hanyalah aroma harum yang terhirup oleh hidung kecil mancungnya dan rasa yang dikecap oleh lidah. Itu sudah cukup untuk seorang anak yang tidak pernah tau birunya langit dan jingganya kota Vietersburg.

Di lain hal, Raka delapan tahun sudah pandai membaca dan menulis. Kedua hal yang sudah dikuasai Raka merupakan syarat penting untuk diterima di sekolah tingkat pertama di kota Vieterburg. Memekarkan kebanggaan hati bagi orang tuanya.

"Vie bangga padamu Raka," kata Roha mengelus pelan rambut hitam Raka yang lembut saat mengetahui Raka berhasil diterima bersekolah di iniyahanda an haluks. Raka dari kecil sangat ingin menjadi seorang cendekiawan. Gelar cendekiawan diberikan setelah lulus dari sekolah tertinggi di Burganvia, tutiva an haluks.

*Vie : ayah

Nata tertinggal selangkah dari Raka. Memancing rasa kecemburuan Nata untuk bisa melakukan lebih dari yang ia bisa sekarang, untuk memperoleh sebuah penghargaan sederhana berupa pujian.

Dalam beberapa hari setelah Raka mulai memiliki jadwal baru pergi ke sekolah setiap paginya, Nata merasa kesepian kehilangan teman untuk diajak bermain. Memang cukup berat untuk Nata mencari teman lain selain kakaknya Raka, mata hitam itu tidak memperkenankannya untuk mendekati anak – anak lain yang seumuran. Hingga suatu ketika di pagi hari saat Nata terlihat kesepian duduk sendiri di depan teras rumah, Roha mengajaknya pergi ke dermaga. Dalam perjalanan itu ia melintasi orang – orang di dekat pertokoan dermaga yang sedang membicarakan seorang ahli bela diri yang pensiun dari melatih di Trivell Aquiros.

*Rakyat Vieterburg menyebut ahli bela diri dengan maaex

Rasa penasaran Nata pun timbul,"vie, maaex itu apa ?" Nata kecil bertanya ke ayahnya.

"Maaex adalah orang yang pintar dalam mempertahankan dan melindungi dirinya sendiri pun orang lain dari orang yang berbuat kejahatan," kata Roha menjawab pertanyaan polos Nata. Kata – kata itu memberikan pencerahan ke Nata kecil, ia mendapat ide. Suatu ide yang bisa ia lakukan dengan keterbatasannya sekarang yaitu menjadi ahli bela diri.

Awalnya Nata kecil mencoba mencari sendiri ahli bela diri yang dibicarakan orang – orang di dermaga. Tapi, mencari sang ahli bela diri yang telah pensiun itu tidak mudah. Setiap hari demi mencari sang ahli bela diri, Nata berdiri di tengah jalan di depan rumahnya. Nata berusaha mendengar setiap perkataan orang – orang yang lewat, berharap bisa menemukan sang ahli bela diri itu. Terkadang orang – orang yang melintasi jalan itu menghampiri Nata, melihat betapa lucu Nata yang sedang menutup mata itu, menggoda Nata kecil. Tapi, Nata dengan tegas menolak, ia tetap teguh berdiri tanpa sekalipun mata hitam itu terlihat oleh mereka.

Beberapa hari berlalu, Roha mulai terheran melihat Nata yang setiap hari berdiam diri, berdiri di jalan depan rumah. Karena sudah terjadi berlarut – larut selama beberapa hari, ia kemudian menghampiri Nata.

"Nata kau sedang apa ?" tanya Roha, tangan yang makin keriput itu mengelus pelan rambut Nata.

Nata berdiam, ia tidak ingin menjawab.

"Apakah vie bisa membantu ?" dengan sangat lembut Roha bertanya kembali.

"Aku tidak ingin merepotkan vie, aku ingin bisa membanggakan vie," Nata berteriak, kedua tangan kecil itu memegang tangan Roha. Ia ingin Roha menghentikan elusan ke kepalanya.

"Kakak Raka pun memang membuat vie bangga kemarin hari, tapi itu pun juga vie yang membantu Raka untuk berhasil. Seorang vie harus bisa membantu anaknya untuk membuat bangga dirinya, vie dan vinea. Itu sudah tugas uvie," Roha sudah berhenti mengelus kepala Nata, kini ia jongkok sejajar dengan Nata merangkul pundak lelaki kecil yang ingin sekali membuat bangga ayahnya itu.

*vinea : ibu

*uvie : orang tua

"Baiklah, jika vie memaksa," bibir Nata meruncing, "aku ingin menjadi seorang maaex." Ia menunduk malu karena terpaksa mengatakan sesuatu yang ingin ia capai sendiri, yang ingin ia sembunyikan untuk mengejutkan kedua orang tuanya.

"Maaex pun ? vie memiliki kenalan pun yang bisa mengajarimu menjadi seorang maaex," Roha tersenyum, ia berdiri dengan tetap merangkul pundak kecil Nata, mendorong Nata untuk kembali masuk ke dalam rumah.

"Besok pun vie akan mengantarmu untuk menjadi seorang maaex. Sekarang kita masuk. Seorang ahli bela diri itu harus kuat," Roha memamerkan otot lengan kanan yang ditutupi kerutan kulit, tapi memang masih terlihat guratan otot yang ia bangun dari muda itu.

"Ayo kita sarapan," Roha menekan hidung kecil Nata.

"Oke. aku butuh energi untuk membanggakan vie," senyuman manis Nata lepaskan menjawab semangat. Seraya membuka mata, ia berlari masuk ke rumah.

~sau gie dojo's and home~

Esoknya, Roha mengantar Nata menemui ahli bela diri yang dijanjikan. Rumahnya berada di daratan tinggi di tepian jalan lereng pegunungan, di sisi barat kota Vietersburg.

"Kita sudah sampai pun," kata Roha pada Nata yang sekarang sedang berdiri di depan sebuah torii merah. Di sisi kanan tiang torii terdapat papan kayu bertuliskan "SAU JI" secara vertikal. Warga sekitar lebih menyebutnya "Sau Gie".

"Ini baru pintu masuk Vie," kata Nata yang berjalan dengan memejamkan mata.

"Iya pun benar. Kita pun harus menaiki tangga untuk bertemu dengan orou Sau Gie Nata," jelas Roha memandang ke jalan setapak panjang mendaki di balik torii. Jalanan setapak yang diapit oleh sawah yang tersusun terasering. Sawah - sawah ini dipenuh padi yang masih pendek - pendek, baru setinggi mata kaki. Roha terengah berjalan menaiki tangga dari bata jingga.

Sesampainya dipuncak ujung tangga terdapat lapangan luas ditambah sebuah balai yang menyatu dengan rumah, semuanya dikelilingi oleh delapan petak kolam yang dipenuhi ikan.

Suara riuh air memancing seekor bangau berparuh hitam berbulu putih. Ia sudah menangkap dua ikan hari ini, ia hanya perlu berdiam diri di tepian kolam memasukkan paruh hitam panjangnya ke dalam kolam -menikmati hasil.

Di balai terbuka yang hanya ditutup oleh atap merah itu Nata dan Roha sudah duduk bersila dihadapan seorang kakek tua dengan rambut, kumis, dan janggut panjang yang sudah memutih.

Kemudian muncul perempuan berambut putih perak panjang sepinggang dari pintu merah di tengah tembok hijau yang dipenuhi oleh ukiran garis kuning berbentuk awan. Ia membawa lima gelas keramik berwarna hijau di atas sebuah nampan dari anyaman bambu. Ia memakai gaun merah dengan taburan motif bunga berwarna kuning dipegang erat oleh seorang gadis. Air berwarna hijau sudah memenuhi isi gelas menyisakan sedikit jarak antara garis bibir gelas dan permukaan air yang mengisinya. Aroma teh dari gelas – gelas itu menyisir tepian hidung. Perempuan berambut putih itu meletakkan satu – persatu gelas di depan Roha, Nata, si kakek, dan satu di depan perempuan itu sendiri. Ia lantas duduk di sisi kiri kakek bersama gadis kecil yang kemudian dipangkunya. Rambut putihnya lebat hingga sanggup menyembunyikan dengan sempurna telinga perempuan itu.

"Sudah lama pun kita tidak bertemu, Erdeneshia, Sau Gie, dan ..." Roha mengawali perbincangan di siang itu.

"Ini anak kami, Chayra," kata perempuan berambut putih bernama Erdeneshia memperkenalkan gadis kecil berambut putih pendek nan tebal. Chayra mengenakan one piece putih berenda.

"Selamat karena sudah dikaruniai anak Sauji, Erdeneshia. Saya pun mendengar kabar kalian kembali kemari. Tapi pun, baru saat ini saya sempat berkunjung." Kata Roha dengan sopan.

"Alasannya karena aku pensiun dari Avutewenlung an Trivell Aquiros sehingga aku memutuskan untuk membangun rumah dan hidup di kota ini," jelas Sau Gie. "Apakah ini anakmu Roha ?" Sau Gie menghadapkan kepalanya ke arah Nata yang sedari datang terus - menerus menutup mata.

*Avutewenlung an Trivell Aquiros : divisi pengembangan Trivell Aquiros

"Benar dia pun anakku. Namanya Nata," Roha mengelus kepala Nata.

"Karena waktu berlalu begitu cepat sehingga dua belas tahun sudah kita tidak berjumpa," lanjut Sauji.

"Kenapa kamu tidak memilih untuk tinggal di ibukota Sauji ?" tanya Roha.

"Tidak, di ibukota tidak ada relatif yang kukenal," jawab Sau Gie. "Selain itu perantau sepertiku alangkah lebih baik untuk tinggal disini ?"

"Sebaiknya begitu, karena sekarang Burganvia sudah membaik. Aku tidak mau kejadian seperti konflik Geverbias terulang kembali." kata Roha. "Ngomong – ngomong alasan lain ku ke sini ingin menitipkan Nata kepadamu. Ajarkan dia bela diri," tambah Roha memohon ke Sau Gie.

Di sisi kiri Roha, Nata duduk dengan tegap. Ia menutup matanya supaya kakek tua itu tidak takut dengan mata hitamnya.

"Tentu saja boleh," jawab Sau Gie. "Selain itu, aku juga ingin mengadakan pengembangan bela diri bagi anak - anak Vietersburg."

"Sebaiknya begitu Sauji," sahut Roha. "Nata buka matamu, jangan seperti itu," Roha mengelus pelan kepala Nata berharap Nata mau membuka matanya.

"Tapi," Nata bersikeras tidak ingin membuka matanya.

"Haha, sudahlah buka saja. Kamu ingin belajar bela diri bukan, bagaimana seorang ahli bela diri dapat mengenal lawannya jika tidak melihatnya ?" Sau Gie kali ini ikut merayu supaya Nata membuka mata.

"Kalau itu, aku tau. Aku bisa merasakan Sau Gie, Erdeneshia, Chayra, kemudian burung bangau di tepi kolam itu.." kata Nata, ia tetap memejamkan mata.

"Seekor burung ?" Sau Gie kaget langsung repon menoleh ke arah kanan, melihat burung putih berparuh hitam panjang sedang mencoba memakan ikan Sau Gie. "Kira," teriak Sau Gie. Seekor kucing hitam langsung berlari keluar dari pintu merah mengejar burung yang akhirnya terbang menghindar. Kira merupakan kucing peliharaan Sau Gie, besarnya hampir menyamai besar anjing pada umumnya, tugas Kira adalah memburu burung yang mencoba memakan ikan – ikan di kolam Sau Gie. Padahal Kira sendiri juga ingin memakan ikan di kolam – kolam itu, namun sayang Kira takut dengan air.

"Luar biasa," kata Sau Gie terkagum menyaksikan kemampuan Nata.

Nata dengan yakin tidak perlu membuka mata hanya untuk merasakan benda – benda mati ataupun yang hidup yang ada di sekitarnya. Karena baginya terbuka atau tidaknya mata itu tidak akan berpengaruh baginya.

Tapi, "Nata buka saja matamu, tidak apa – apa nak," Roha tetap memaksa Nata untuk membuka mata. Karena Nata masih saja menutup matanya Roha akhirnya terpaksa memukul pelan dahi Nata dengan telapak tangan. Sentak Nata membuka mata memperlihatkan mata hitam pekat itu.

"Aaaaa," Chayra spontan berteriak, ia langsung menangis berbalik memeluk Erdeneshia begitu melihat mata Nata.

"Hahahahaha," Sau Gie tertawa keras sambil menepuk lengan tangan kananya.

Baru kali ini ada yang tertawa melihat mataku - pikir Nata.

"Anakmu dan karena Nata juga terlihat berbakat maka akan kuterima dia menjadi muridku dengan syarat mulai hari ini kau harus tetap bangga memperlihatkan mata indahmu itu Nata." ucap Sau Gie, ia kemudian meraih Chayra yang masih menangis dan tidak mau menoleh ke arah Nata.

"Chayra untuk apa kamu takut dengan mata indah Nata. Apakah kamu pernah melihat mata seindah mata Nata ?" tanya Sau Gie ke Chayra. "Lihatlah Mata Nata seperti malam bening tanpa bintang dan bulan, sungguh indah bukan ?"

Chayra berhenti menangis tapi masih menutup mukanya dengan tangan, ia hanya mengintip sekilas di sela – sela jari - jemari kecilnya untuk melihat mata Nata.

"Lihat mata Oro Roha, haha dan oyaji, ada bintik merah, guratan urat yang terlihat. Mata Nata tidak ada noda seperti itu, tidak ada yang mengotori. Bahkan Kamu bisa melihat bayangan dirimu di mata Nata dengan jelas," ucap Sau Gie, ia mencoba membuka tangan Chayra yang masih menutupi muka. Chayra berdiri sambil menghapus bekas air mata yang menetes, mendekatkan mukanya ke Nata dan melihat dengan jelas bayangan dirinya di mata hitam Nata.

"Uwaa," Chayra terkagum, takjub, sebuah teriakan kecilnya menutupi sisa isakan setelah menangis.

"Bagaimana Nata, kamu mendapat ahli bela diri yang akan mengajarimu dan seorang teman baru yang sangat cantik." Kata Roha merangkul pundak Nata.

"Hahaha," tawa Sau Gie meledak kembali mengisi kesunyian di rumah dengan halaman yang sangat luas itu.

Sejak saat itu Nata menjadi murid Sau Gie, hari demi hari, bulan demi bulan, hingga setahun berganti, Nata selalu datang ke rumah Sau Gie. Meskipun tidak diajari setiap hari, tapi Nata selalu datang entah itu membantu Sau Gie di sawah, bermain dengan Chayra, ataupun sekedar tidur siang di balai tepat di bawah ukiran naga yang menghias bagian dalam atap balai itu. Di balai itu angin memang berhembus kencang tanpa terhalangi, sejuknya akan membuat kenyamanan bagi siapa saja yang merasakan.

Satu tahun Sau Gie menjadikan Nata sebagai murid satu –satunya. Dalam keseharian Nata sangat cepat dalam berkembang, ia cepat memahami ajaran Sau Gie. Bahkan Nata sekarang sudah diajari berbagai teknik menggunakan senjata seperti pedang dan tongkat. Beberapa bulan kemudian jumlah murid semakin bertambah.

Tiga tahun berlalu, sore ini akan ada latihan bela diri di kediaman Sau Gie. Anak – anak yang merupakan murid Sau Gie satu persatu mulai menampakkan diri di tempat latihan. Sedikit berbeda dengan Nata yang sudah sejak siang hari berada di lahan sawah membantu Sau Gie menanam ulang padi ungu yang baru saja dipanen seminggu yang lalu. Padi dengan biji berwarna ungu seperti lavender itu dapat dipanen empat kali dalam setahun.

Beberapa waktu berselang, telah hadir sebelas orang anak di lapangan depan balai. Mereka berbaris rapi memanjang menghadap balai. Sau Gie yang sejak pagi hari muncul tidak berhenti menanam padi hanya diselingi istirahat siang makan, akhirnya menghentikan kegiatannya dan melangkah perlahan menuju balai. Ia sempat berhenti mencuci tangan dan kaki yang kotor di sebuah batu besar rata yang diatasnya terdapat bambu hijau. Batu besar rata ini terletak di pembatas antara kolam dan sawah. Ketika sebuah tuas kayu di sebelah bambu yang semula menjulang menghadap ke arah Sau Gie ditarik, maka bambu itu akan berubah posisinya menunduk mengalirkan air. Air ini dialirkan melalui bambu dari bukit di balik batu besar yang menjulang setinggi lima meter.

Sau Gie melepaskan topi jerami dan meletakknya di ranting pohon dipinggiran lapangan. Baju yang ia kenakan hanya sebuah kaos putih polos yang penuh noda tanah. Noda itu hanya ia gosok pelan dengan tangan basahnya, meninggalkan bercak berwarna cokelat pudar. Setelah membasuh tangan dan kaki serta mukanya, Sau Gie naik ke lapangan dari sisi kiri dan berdiri tepat di depan para muridnya.

Murid serempak memberi salam begitu melihat Sau Gie di depan mereka. Sau Gie mengepalkan kedua tangan sejajar dengan dada, menundukan kepala membalas salam dari para murid. Setelah salam dari para murid, Sau Gie mulai mengambil posisi duduk bersila.

"Bagaimana kalau kalian duduk membentuk sebuah lingkaran ?" bicara Sau Gie pelan.

Murid – murid yang semula berbaris langsung membuat lingkaran sempurna. Sau Gie selalu mengajarkan murid – muridnya untuk bergerak cepat dalam segala kondisi, hal itu juga melatih spontanitas dalam keseharian mereka. Lingkaran sempurna dibuat oleh para murid menyambung dengan posisi duduk Sau Gie. Sau Gie menjadi titik jam 12 lingkaran itu jika dilihat dari arah timur.

Next Sau Gie's concept of martial art