webnovel

Nanti Kita Cerita Tentang Pernikahan Ini

Ziva Magnolya Mahya, gadis cantik penyuka musik, pembenci hujan ini baru saja merayakan hari kelulusannya di SMA. Namun, saat pulang ke rumah ia dikagetkan dengan kedatangan calon mertua lengkap dengan calon suami yang sama sekali tidak ia kenal sebelumnya. Kebiasaan tak pernah menolak permintaan Bundanya membuat Ziva akhirnya mau menerima perjodohan mendadak itu dan dengan sukarela menyelupkan diri dalam kisah pernikahannya dengan Samuel Tanaka Cipta-CEO muda perusahaan properti yang tajir melintir dan pastinya, tam.pan. Percayalah, Ziva sama sekali tidak bangga dan merasa beruntung mendapatkan suami yang lebih pantas disamakan dengan kenebo kering dalam kulkas sangking kaku dan dinginnya. Alih-alih menghabiskan malam pertama dengan penuh kebahagiaan, Ziva dan suaminya malah membuat kesepakatan untuk bercerai dan berjanji untuk tidak ikut campur urusan masing-masing. Bagaimana mereka bisa dikatakan waras? Ziva sibuk mengejar gebetannya dan Samuel sibuk mempertahankan hubungannya dengan sang pacar yang sudah terjalin selama 6 tahun lamanya. Di tengah perasaan hancurnya ditinggalkan sang pacar sehabis berita skandal mereka menjamur, Samuel menghabiskan malamnya dengan meminum alkohol dan menghancurkan semua barang yang ada di dekatnya. Namun, kedatangan Ziva membuatnya lepas kendali sehingga ia mencium gadis itu, tepat pada bibirnya. Bagaimanakah hubungan mereka setelah ciuman itu terjadi? Ikuti kisah mereka di Nanti Kita Cerita Tentang pernikahan ini.

Radiobodol · General
Not enough ratings
5 Chs

Bagian 4 : Hari Pernikahan

Minggu pagi yang terasa begitu berat. Sangking beratnya Ziva ingin lari dari kenyataan. Menikah di usia 18 tahun adalah sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tak ada cita-cita atau keinginan untuk menikah muda, sebab setelah lulus SMA rencananya Ziva akan meneruskan pendidikan di Universitas Negeri dan mengasah hobi bermusiknya. Tapi apalah daya, mungkin ini adalah rencana Tuhan. Ia bisa apa?

"Dek, ayo keluar," suruh Dea yang berdiri di bingkai pintu. Matanya bergerak menelisik penampilan adiknya yang begitu anggun. Ziva yang ia tahu adalah orang yang paling benci dipoles make up tebal. Tapi, hari ini gadis itu memakai riasan cukup tebal. Meskipun begitu, Ziva tetap cantik bahkan kecantikannya bertambah menjadi dua kali lipat, tiga kali lipat, empat kali lipat, pokoknya berlipat-lipat. "Cie ... cantik sekali, sih," puji Dea.

"Cantik dari mananya, Kak? Orang Adek kayak badut mampang gini dibilang cantik. Kak Dea nyindir Adek, yah?" sungut Ziva sebal.

Dea terkekeh keras, Ziva selalu saja tidak percaya bilamana Dea memuji kecantikannya. "Serius, Dek. Kamu tahu Rose Blackpink, Kalah dia, mah," balas Dea berlebihan. Untuk yang satu ini, Ziva yakin seratus persen Dea hanya membual.

"Ya sudah, ayo keluar sebentar lagi acaranya mulai."

Setelah menyambut keluarga besar besan, Bunda berjalan menuju kamar Ziva. Pintunya sudah terbuka, ada Dea beserta Ziva di sana. "Duh, cantiknya anak Bunda kesayangan," puji Bunda bersemangat. Karena panas dingin, Ziva hanya menguntal senyum yang amat sangat kaku untuk merespon pujian bundanya.

Bunda mengerti, hari sakral di mana janji sehidup semati akan diikrarkan calon mempelai adalah hari paling menegangkan bagi Bunda sebab ia pernah merasakannya, apalagi Ziva yang notabennya tidak tahu apa-apa.

Sekeluarnya dari kamar, Ziva mengirup oksigen dalam-dalam, rasa gerogi langsung menderanya habis-habisan. Ia tidak tahu harus mengekspresikan perasaannya seperti apa hari ini. Yang pasti, ia benar-benar belum siap melepas status lajangnya. Pacaran saja tidak pernah, ini malah langsung menikah. Entah bagaimana caranya menjalani kehidupan pernikahan tanpa modal sedikit pun.

"K-Kak," panggil Ziva terbata. Jantungnya bekerja lebih cepat dari normalnya. Keringat pun mulai muncul dan berjatuhan.

"Gerogi, yah?" tebak Dea yang tepat sasaran. Ziva mengangguk lesu. Jantungnya terasa ingin mencelos saat ini juga.

"Tarik napas, hembuskan, baca doa," intruksi Dea. Ziva mengangguk kaku lalu menuruti intruksi Dea.

***

Selepas acara pernikahan, Ziva merehatkan tubuhnya di dalam kamar. Suaminya masih bercengkrama dengan sanak-saudaranya di ruang keluarga. Percayalah, suaminya itu memiliki level menyebalkan tiada tara. Di depan keluarga besar ia memperlakukan Ziva dengan begitu romantis. Coba saja kalau sedang berdua, cueknya tidak ada obat. Sudah begitu dingin dan kaku macam kanebo kering yang disimpan dalam lemari pendingin.

Acara pernikahan Ziva dilangsungkan selama setengah hari saja. Tidak mengundang terlalu banyak orang. Hanya keluarga dekat kedua besan. Walaupun keluarga suaminya tajir melintir tapi, mereka menginginkan acara yang sederhana. Tidak menyewa hotel berbintang dengan WO yang gila-gilaan, tapi acaranya hanya di gelar di rumah Ziva dengan dekorasi minimalis merangkap elegan.

Terlagi calon suami yang sudah bertransformasi menjadi suami Ziva tak mau melihat terlalu banyak orang-orang yang tidak ia kenal hadir di pernikahannya. Bahkan teman-temannya pun tidak diundang. Bisa dikatakan pernikahan mereka sedikit tertutup.

"Dek, ingat pesan Bunda. Jadilah istri yang baik dan nurut. Jangan sekali-sekali melawan. Sekarang kamu sudah bersuami, harus lebih dewasa. Pandai-pandai mengurus suami dan membawa diri. Menikah itu, dua kepala disatukan. Jadi tidak boleh ada kata mau menang sendiri," pesan Bunda. Duduk di tepi kasur, menemani putri bungsunya mengepak barang-barang yang akan dibawa pindah bersama suaminya besok.

Percayalah, melepaskan anak bungsu kesayangan untuk tinggal bersama suaminya benar-benar berat bagi Laras. Rasanya Ziva masih anak kecil berumur lima tahun yang selalu membawa lolipop warna-warni dan Nyummi ke mana-mana. Kini anaknya itu sudah tumbuh menjadi gadis manis yang mau tidak mau harus belajar mendewasakan diri.

"Bunda nangis?" tanya Ziva agak terkejut. Wajar Bundanya menangis karena ia pun rasanya ingin menangis meraung-raung. Untuk jauh dari Bunda rasanya akan sangat sulit bagi Ziva. Apalagi ia akan tinggal dengan orang yang masih terasa asing untuknya.

"Dengar tidak pesan Bunda?" Ziva mengangguk lalu menghambur ke pelukan Bunda. Tangisnya tidak selantang Bunda. Ziva harus kuat supaya Bunda percaya ia bisa melalui apa saja setelah ini. Termasuk jauh dari Bunda dan menjalani kehidupan pernikahan yang entah akan berjalan seperti apa nantinya.

Dea yang sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar Ziva hanya bisa mengamati Bunda dan Adiknya. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Apa yang terjadi esok, lusa dan seterusnya tidak ada yang bisa menebak dan menjamin. Buktinya ia kalah selangkah dari adiknya yang kini sudah menikah. Tidak ada rasa terkalahkan berujung kesal karena dilangkahi Ziva. Jujur saja, Dea belum tertarik untuk mencari teman hidup. Ia masih sibuk merawat karirnya.

Mungkin lebih baik begitu, lebih baik Ziva menikah karena ia sudah bisa membaca tentang seberapa pahitnya cerita yang akan mendatang jika Ziva terus berada di rumah. Ia ingin adiknya tetap bahagia, tanpa memikirkan apa pun.

***

Pukul 22.00 WIB

Serangkaian prosesi pernikahan sudah membuat Ziva dilanda rasa lelah luar biasa, ingin rasanya cepat-cepat merebahkan diri ke atas kasur empuk kesayangannya lalu tidur dengan nyenyak. Tapi, baru saja ia menghempaskan tubuh menyapa empuknya kasur, notifikasi ponselnya yang terus berdenting membuatnya mau tak mau mengecek ratusan pesan whatsapp dari grup bandnya juga sahabat karibnya���Ainun, Keisya, Nuca.

Isinya tak jauh-jauh dari ucapan selamat, ada juga yang marah—Ziva tidak mengundangnya, tapi ada juga yang memaklumi karena Ziva memang sudah memberitahu bahwa pernikahannya ini hanya dihadiri sanak saudara terdekat. Entahlah, sang suami ini maunya apa? Terlalu misterius. Masa, teman karib pun tidak boleh datang. Padahal acara pernikahan hanya di lakukan satu kali seumur hidup. Entah kalau ternyata mereka memang tidak berjodoh dan berakhir dengan kata pisah.

Amit-amit jabang bayi.

Ziva tidak bisa memejamkan matanya karena canggung berada satu ruangan dengan lelaki yang masih terasa asing sampai detik ini. lelaki itu baru saja masuk dan duduk di sofa sembari berkutat dengan ponselnya.

Tidak mungkin sekali Ziva memanggilnya untuk tidur di ranjang. Sungguh ia belum siap tidur satu ranjang. Tapi, alangkah tidak sopan jika Ziva membiarkan lelaki itu tidur di sofa. Apalagi dua jam sebelum ini, ia baru saja mendapatkan nasihat dari Bunda.

"L-lo—"

"Kita pulang malam ini saja," potong lelaki itu. Jelas saja membuat Ziva tersedak salivanya sendiri. Bagaimana mungkin secepat itu ia ikut suaminya pulang?

"Enggak besok aja? Aku capek," sahut Ziva uring-uringan. Lagian ia belum siap meninggalkan rumah dan jauh dari Bundanya.

"Jika berbicara capai, di dunia ini bukan kamu saja yang capai. Cepat siap-siap. Saya juga sudah bicara sama bunda kamu," terang lelaki itu seenak udel.

Ziva mendengus kasar, sumpah demi apa pun, melihat wajah dingin serta suara datarnya mengharuskan Ziva untuk banyak-banyak menyetok kesabaran. Jika maunya begini, Ziva tidak perlu repot menjadi istri yang sabar, penurut dan baik hati.

"Nyebelin banget, sih jadi manusia. Ternyata ada yah spesies manusia nyebelin di dunia ini," gumam Ziva dengan volume suara agak dibesarkan supaya lelaki itu mendengarnya.

TBC

Wah ternyata suami Ziva dingin banget kayak es. Selain dingin juga kaku kayak kanebo kering. Ya sudahlah yah, udah nikah juga. Hmm, kira-kira bagaimana yah kelanjutan kisah mereka?

Jangan lupa berikan dukungan kalian supaya aku bersemangat melanjutkan ceritanya :)

Radiobodolcreators' thoughts