webnovel

Prolog

Kisahku yang singkat ini dimulai sekitar tujuh tahun yang lalu, tak lama setelah beberapa anggota keluargaku meninggal dunia karena sebuah insiden. Kala itu aku sedang duduk di sebuah lapangan sambil memandangi pemandangan bintang-bintang yang menghiasi langit malam saat itu. Perkenalkan, namaku Lemuel Vaten, dan inilah kisahku menemukan cinta pertamaku.

"Berkilaunya," ucap seorang gadis yang duduk di sampingku saat itu.

"Apakah itu berlian? Aku belum pernah melihat kunci sebagus ini sebelumnya," ucapnya lagi.

"Apa kamu mau memilikinya? Ini kuberikan padamu," balasku.

"Kamu yakin?" tanya gadis itu.

"Ya. Menikahlah denganku saat dewasa nanti sebagai gantinya," jawabku.

" ... Tentu. Aku janji," kata gadis itu.

Mungkin pada hari itu aku masih belum menyadarinya karena kepolosanku saat itu. Aku bahkan belum mengerti apa itu pernikahan atau apapun itu. Tetapi, pertemuan dengannya adalah saat aku menemukan cinta pertamaku. Cinta yang berkilau, sama seperti berlian. Ya, aku ingin semua yang kuberikan akan membuahkan hasil yang baik untukku. Tetapi ...

"Kenapa kamu memutuskan untuk pergi?" tanyaku.

"Maaf, aku tidak punya pilihan lain. Aku terpaksa melakukannya," jawab gadis tersebut.

Ia kemudian pergi ... Meninggalkanku dalam kesendirian. Satu-satunya yang ia tinggalkan untukku adalah sebuah prisma tua dan sebuah pesan bahwa jika takdir telah menentukan, kita pasti akan bertemu kembali. Aku tak tahu mengapa, tetapi perpisahan dengannya membuat hatiku terluka sampai sekarang. Ditambah dengan kebodohanku, aku masih mengharapkan ia kembali dan masih memegang prisma yang ia berikan. Aku terus merawatnya, bahkan setelah tiga tahun sejak ia pergi. Seharusnya ini bukanlah apa yang aku rencanakan, tetapi entah mengapa hatiku mengatakan bahwa aku tidak boleh berhenti menunggu. Beginilah keadaanku saat ini, menunggu gadis itu sambil menjalani kehidupanku yang biasa di pusat kota yang tak begitu mewah.

"Semua keperluanku sepertinya sudah kubeli, sekarang sudah waktunya aku pulang. Semoga hari ini ban sepedaku tidak bermasalah. Bisa-bisa uang hasil kerjaku habis hanya untuk reparasi ban kalau hampir setiap hari kempes terus," keluhku.

Setelah menaruh barang belanjaanku di keranjang sepeda, aku naik dan mengayuh sepedaku menyusuri pinggiran kota untuk kembali ke rumahku. Aku berharap agar aku cepat sampai di rumah agar bisa makan malam. Tetapi di tengah jalan, aku mendengar suara seorang perempuan meminta tolong.

Perempuan tersebut berkata,"Lepaskan! Aku masih ada keperluan yang harus kuurus."

Suara itu berasal sekitar 50 meter dari tempatku berdiri saat ini. Selama beberapa saat, aku hanya melihatnya berdebat dengan seorang bapak-bapak yang sepertinya merupakan pengawal dari perempuan tersebut. Awalnya, aku berniat untuk mengabaikannya dan melanjutkan perjalanan pulang. Tetapi ketika mendengar perempuan tersebut berteriak semakin keras, aku pun tidak bisa tinggal diam saja. Karena kebetulan aku baru saja membeli masker, aku memakainya dan mengayuh sepedaku sekencang mungkin sampai cukup dekat dengan perempuan tersebut dan mendorong pengawalnya. Aku lalu mengajaknya naik ke sepedaku.

"Woi! Berhenti!" teriak si penjaga.

Tanpa menghiraukan teriakannya, aku terus mengayuh sepedaku dan menaikkan kecepatan.

"Uwaa ... Hati-hati," pesan perempuan tersebut.

"Tenang saja. Pegangan yang erat ya. Aku akan mengambil jalan tikus untuk kabur dari sini," balasku.

Perempuan tersebut kemudian memelukku dengan erat. Aku pun mengarahkan sepedaku ke luar dari jalan raya dan masuk ke jalan yang cukup berbatu. Setelah sekitar sepuluh menit mengayuh sepeda, akhirnya kami berdua keluar dari jalan berbatu-batu tersebut dan masuk ke area sekitaran rumahku yang letaknya di pinggir sungai.

"Akhirnya sampai juga," ucapku dengan napas tersengal-sengal.

"Terima kasih atas bantuannya. Kurasa, aku bisa melanjutkan sendiri dari sini," balas si perempuan itu.

"Apa kamu yakin? Kamu boleh beristirahat di rumahku sejenak bila kamu mau," kataku.

"Tidak, terima kasih. Aku tidak mau merepotkanmu lebih dari ini. Akan jadi masalah kalau aku menetap di rumahmu. Sekali lagi, terima kasih. Kalau begitu, aku pergi dulu," balas perempuan itu.

Saat aku ingin mencegah perempuan tersebut untuk pergi, dia sudah menghilang dari pandanganku.

"Sial. Aku bahkan tidak sempat menanyakan namanya. Wajahnya saja aku tidak begitu ingat," keluhku.

Di saat aku kecewa dengan apa yang sedang menimpaku, sesuatu yang sepele terjadi, membuatku semakin kesal dan kecewa. Sepertinya dewa keberuntungan tak berpihak padaku. Ban sepeda yang kukendarai kempes depan belakang. Parahnya lagi, tempat tambal ban terdekat ada di sekitar toko swalayan tempat aku berbelanja, yang lokasinya sangat jauh dari rumahku. Untuk melengkapi kesialanku, hampir setengah dari barang belanjaanku tercecer di jalan. Aku tahu betul bahwa jika aku berusaha untuk kembali dan mengambilnya, maka itu akan sia-sia.

"Haduh, aku tidak tahu apakah hari ini aku mengalami kesialan atau keberuntungan. Aku kehilangan beberapa barang, namun aku berhasil menolong seseorang. Ya sudahlah, nanti juga ada gantinya," keluhku.