1 Namaku Marlina

Yup, namaku Marlinah Sutarjan, usia ku 35 tahun, aku anak pertama dari tiga bersaudara, adikku Eddy Sutarjan dan Indah Sutarjan. aku berasal dari keluarga sederhana yang harmonis, tinggal disebuah kota kecamatan di Jawa Timur.

Sekalipun keluarga ku sederhana dan orang tuaku pendidikannya tidak tinggi tapi mereka menanamkan moral yang baik kepada anak-anaknya dan memberi kami kasih sayang yang tidak terbatas sehingga aku dan adik-adikku tumbuh sebagai orang yang bahagia dan saling mengasihi.

Bapak ku mengatakan nilai seseorang bukan dari jumlah uang yang dia miliki tapi dari seberapa banyak dia dapat membawa kebaikan pada orang lain. Nasehat klasik menurut ku.

Menurut bapakku, uang penting tapi bukan segala-galanya. Tanpa uang kita tidak bisa bahagia tapi uang juga bukan jaminan untuk bahagia.

Bapakku memegang peranan penting dalam keluarga kami. Bapak sangat memanjakan ibu dan menghargai perasaannya tapi bukan berarti selalu setuju dengan pendapat ibuku.

Ibu ku mengutamakan keluarga dibanding dirinya sendiri. Berkorban bagi keluarga bukan merupakan beban baginya.

Aku ingin memiliki rumah tangga seperti orang tuaku.

Ketika aku menikah, aku berusaha menjadi istri seperti ibuku. Tidak pernah menuntut apa-apa pada bapakku tapi selalu memberi dorongan setiap kali bapak membutuhkan.

Aku memasuki pernikahan dengan sebuah gambaran keluarga yang harmonis. Aku berrekad menjadi seorang istri yang baik untuk suami ku. Aku akan selalu mensupport apapun yang menjadi keputusan suamiku. Kekurangan suamiku akan kututupi dengan kelebihanku. Ketika suamiku sedang terpuruk aku akan memberinya semangat dan menjadi penopangnya.

Sepuluh tahun sudah kujalani pernikahan ku dengan mas Haryo yang usianya setahun lebih tua dari ku. Dia seorang pria yang sabar, pekerja keras dan sangat mencintai ibunya.

Kata orang, pria yang mencintai dan menghormati ibunya adalah calon suami yang baik karena dia juga akan mencintai dan menghormati istrinya

Mantap sudah hatiku untuk menerima pinangannya pada waktu itu.

Pernikahan kami berlangsung sederhana karena kami tidak ingin membebani keuangan keluarga. Hanya keluarga dan teman-teman dekat saja yang hadir. Semua biaya diambil dari tabunganku dan suami

Rumah pertama kami adalah sebuah rumah kontrakan yang letaknya dipinggir kota, kami pilih karena harga sewanya murah. Perabot yang kami punya adalah satu set tempat tidur, lemari dan meja rias hadiah dari seorang kerabat dekat.

Aku masih ingat, waktu itu kami belum punya uang untuk membeli gorden jadi kaca jendela kami tutup dengan koran bekas agar tidak terlihat dari luar. Aku bahagia.

Dengan sisa uang tabungan kami membeli peralatan dapur, kulkas satu pintu dan AC karena suami ku dari kecil terbiasa tidur di kamar yang ber-AC.

Melihat kondisi rumah kami orang tuaku mengirim satu set sofa bekas yang layak pakai. Mertuaku mengirim meja makan bekas yang dulu dipakai ketika beliau membuka usaha warung makan. Semakin hari perabot rumahku semakin lengkap sekalipun tidak semua baru. Aku bahagia

Benar kata bapakku, kebahagiaan tidak tergantung dari berapa banyak yang kita miliki.

Tanpa terasa pernikahan ku sudah satu tahun. Mungkin karena kami bahagia jadi waktu terasa snagat cepat.

Aku perhatikan teman-temanku mulai hamil, aku ikut bahagia sekalipun aku belum hamil. Ketika pernikahan memasuki tahun kedua aku mulai gelisah karena belum hamil.

Paling sebal kita ada yang tanya, sudah hamil ?

Aku jawab, belum.

Sudah nikah berapa lama ?

Hampir dua tahun.

Sudah pernah ke dokter untuk periksa kesuburan ?

Belum

Awalnya pertanyan-pertanyaan seperti ini aku anggap sebagai perhatian dari orang-orang sekeliling ku tapi lama-lama aku jadi tertekan.

Beberapa orang menyarankan agar aku ke dokter untuk periksa kandunganku. Beberapa orang menyarankan aku minum ini dan itu untuk meningkatkan kesuburan kandunganku. Ada juga yang secara becanda mengatakan, apa perlu aku bantu untuk mengajari suami mu agar bisa hamili kamu. Sekalipun diucapkan sambil becanda tetap saja terdengar tidak enak di telinga ku.

Tuhan, aku ingin hamil.

avataravatar