webnovel

KAMILIA MENIKAH

Garganif berusaha untuk dekat dengan Kamilia. Kamilia tetap menghindar, sang pemilik mimpi –Saiful masih sering hadir. Dia masih datang mengganggu tidurnya.

Garganif –pemilik mata teduh itu tetap meyakinkan Kamilia akan kesungguhan cintanya. Padahal Kamilia sudah mengakui kalau dirinya dahulu adalah seorang kupu-kupu. Kupu-kupu yang sudah melewati fase-fase kesakitan untuk menjadi dirinya yang seperti ini.

Laki-laki itu tidak peduli dengan masa lalu Kamilia. Dia salah satu pemilik hati yang teguh. Kalau sudah merasa suka, dia akan mempertahankan dan memperjuangkannya. Lama-lama kebekuan hati Kamilia mencair juga.

Senja ini Kamilia dan Garganif duduk menikmati senja di pantai. Sengaja Garganif membawa Kamilia ke sana. Pantai Ancol selalu membawa kenangan manis untuknya. Mereka duduk di pasir putih. Masih banyak pengunjung yang sengaja menunggu sunset.

"Mila kau lihat anak itu!" suruh Garganif.

"Kenapa?" tanya Kamilia heran.

Tidak ada yang aneh pada diri anak perempuan tersebut. Dia hanya memakai celana dalam dan kaos dalam. Sandalnya dia copot, kemudian dimasukin pasir sepenuhnya. Saat sudah penuh dikeluarkan lagi, dijejali lagi pasir, dikeluarkan lagi. Begitu berulang-ulang. Wajahnya sangat ceria.

"Biasa saja, kecuali rambut keritingnya yang lucu," kata Kamilia lagi.

"Yakin?" tanya Garganif lagi.

Sekali lagi Kamilia menatap anak tersebut, memang tidak ada yang aneh. Kamilia kemudian menggeleng.

"Apanya yang aneh, jangan-jangan kamu yang aneh." Kamilia berkata sambil menatap mata lelaki di sampingnya.

"Aku menginginkannya," kata Garganif.

"Hey … apakah kau seorang predator?" tanya Kamilia sambil tertawa.

"Ish … aku menginginkan anak perempuan," jawab Garganif sambil merangkul Kamilia. Membawanya dalam pelukan.

Kamilia jengah, dia tersipu-sipu. Cepat-cepat membetulkan letak duduknya. Anak perempuan yang mereka perhatikan memandang ke arah mereka.

"Cieee … cie, Tante pacalan," katanya anak kecil itu bikin gemes.

"Hus, anak kecil!" kata Garganif sambil tertawa kecil.

Kamilia mendekati anak tersebut. Ikut memasukkan pasir-pasir ke sandal tersebut. Garganif tergoda pula untuk ikut dalam momen tersebut. Mereka tertawa bersama.

"Namanya siapa?"

"Mona, Tante."

"Belum punya anak, ya?" tanya seseorang tiba-tiba. Bayangannya jatuh di atas tubuh Kamilia, karena cahaya senja.

Kamilia mendongak menatap orang yang bertanya. Tersenyum, kemudian memandang Garganif.

"Iya, Tante, kami belum punya anak," jawab Garganif.

"Mami!" seru Mona

Kamilia tertawa mendengar perkataan Garganif. Dahi ibunya Mona berkerut, kemudian tersenyum.

"Semoga cepat punya anak, ya!"

"Terima kasih, Tante!" Kamilia menjawab sambil menahan senyum.

**

Kamilia terus tertawa di sepanjang jalan. Garganif bingung, dia memandang dirinya sendiri. Sempat juga berkaca di cermin mobil, tidak ada yang lucu.

"Senang sekali kamu ini, perasaan tidak ada yang lucu. Aku masih tetap tampan." Lelaki itu berkata.

Kamilia mencebik, tetapi dalam hatinya dia mengakui kalau Garganif memang tampan. Penasaran juga dengan rambut merahnya, dapat darimana gen tersebut.

"Orang tuamu asal mana?" tanya Kamilia.

"Ayahku Sunda ibuku Belanda, kenapa? Ganteng, ya?"

"Gak, malah seperti penjajah," jawab Kamilia.

"Ehh …." Lelaki itu protes.

"Penjajah hatiku, hahaha hahaha." Tawa Kamilia pecah.

"Sialan!" gerutu Garganif.

"Itu tadi, ibunya Mona lucu juga. Masa kita ditanya belum punya anak," kata Kamilia.

"Lho, salahnya di mana, memang kita belum punya anak, kan? Tapi segera," imbuh Garganif.

Kamilia terdiam. Tiba-tiba wajahnya memanas, yakin sudah seperti kepiting rebus. Garganif suka melihatnya. Pertemuan pertama telah mengubah segalanya. Tatap mata Kamilia yang seperti mengandung luka. Laki-laki itu sudah terjerat di dalamnya.

"Aku akan datang ke orang tuamu, segera," kata Garganif sambil meraih tangan Kamilia.

Kamilia menatap lelaki itu tidak percaya. Benarkah ada yang berkenan menerima dirinya.

"Aku berjanji, akan menghapus luka di matamu. Aku akan mengambil bulan dan menempatkannya di hatimu. Kau harus percaya, aku akan membuatmu bahagia," kata Garganif serius.

Kamilia tercekat mendengar kata-kata lelaki itu. Dia menatap Garganif, lelaki itu balas menatapnya sekilas. Kembali matanya fokus ke jalan. Kamilia menangkap kesungguhan di iris coklat itu. Ketulusan dan cinta yang dia janjikan ada di sana.

Kamilia hanya diam, membiarkan Garganif membawa tangannya ke pangkuannya, kemudian mengecupnya. Jika biasanya rinai hujan mengiringi air matanya, kini gerimis itu menjadi saksi kebahagiaan. Tiba-tiba Kamilia berharap, gerimis seperti ini sering turun.

**

Gaun putih berpotongan sederhana sudah dipakai Kamilia sejak pagi. Riasan kekinian semakin menambah aura kecantikannya. Buket bunga kecil sudah pula digenggamnya. Bibirnya menyungging senyum, pertanda hatinya bahagia. Wanita itu sedang menantikan kekasihnya datang, untuk bersumpah di depan penghulu. Berjanji bahwa dirinya akan setia selamanya.

"Dia sudah datang," bisik Bagas.

Tangan Kamilia mendadak dingin. Rasanya kaku, hatinya dag-dig-dug. Seperti seorang pesakitan yang menunggu vonis. Raut wajahnya gelisah, beberapa kali dia mengambil napas kemudian membuangnya.

"Tidak usah gelisah, semua akan baik-baik saja dan lancar," hibur Bagas.

"Andai ibuku ada di sini," kata Kamilia. Hatinya sedih. Ini hari bahagianya, harusnya ibunya ada di sampingnya.

Ibrahim menolak datang di acara perkawinan ini. Dia merasa Kamilia bukan anak kandungnya. Tidak ada kewajiban baginya untuk menikahkan Kamilia. Ayunina berulang kali mencoba membujuk. Hanya makian yang didapat Ayunina.

Kamilia akhirnya merelakan pernikahannya tidak dihadiri orang-orang terdekatnya. Tuan Freza sudah menyiapkan pesta yang meriah.

**

Calista datang tanpa diundang. Mungkin karena agency tempat dia bernaung yang mendapat undangan. Penampilannya jauh lebih berkelas kini.

Dengan rasa percaya diri yang begitu tinggi dia menyalami Garganif. Kamilia melihat dengan ujung matanya. Sifat genit Calista rupanya belum hilang. Dia seperti berusaha menarik perhatian Garganif.

"Selamat, Mila. Rupanya kau sudah melupakan sahabatmu," sindir Calista sambil menyalami Kamilia.

Kamilia diam saja, dia hanya tersenyum. Calista sekali lagi melirik Garganif. Ingin sekali Kamilia mengusir Calista dari hadapannya. "Apa dia punya rencana untuk memikat Garganif?" batin Kamilia.

Calista merasa percaya diri, karena dia sangat yakin dengan sesuatu. Ritual pengasihan yang dulu dia jalani, dipercaya masih bertuah. Calista merapalkannya kepada Garganif.

Rupanya sifat irinya masih terpatri kuat. Tidak peduli teman, kalau bisa dilibas, kenapa tidak. Sebelum turun dari panggung pelaminan Calista mengedipkan sebelah matanya kepada Garganif.

"Dasar tidak punya akhlak!" desis Kamilia.

Garganif memandang Kamilia sambil tersenyum. Mencoba meyakinkan Kamilia dengan mata teduhnya. Berusaha menyampaikan kata hatinya, "Aku tidak akan tergoda, Mila."

**

Ini adalah malam milik mereka berdua. Kamilia duduk di tepi ranjang setelah tadi membersihkan make-up. Suaminya duduk bersandar memandangnya. Kamilia menunduk, Garganif meraih tangannya. Membawa tubuh Kamilia ke dalam pelukannya.

Lelaki itu mengecup kepala Kamilia. Bisikan-bisikan cinta seperti mantra-mantra yang membuat mereka semakin terlena. Lelaki pendiam itu rupanya liar di atas ranjang. Untuk pertama kalinya Kamilia melakukannya dengan hati bahagia.

Lenyap sudah kesakitannnya. Lenyap sudah deritanya. Ada bahu yang kini disandarinya. Semoga Garganif adalah pria terakhir dalam hidupnya.

**

Matahari belum menampakan sinarnya ketika Kamilia terbangun. Dering telepon dari handphone Garganif membangunkannya. Sebuah nama perempuan tertulis di sana.

Paulina memanggil.

Hati Kamilia bergetar. "Siapakah dia? Mengapa menelpon di pagi buta?"