webnovel

Ketujuh

Pada malam setelah semua peristiwa itu terjadi, Mantingan dan Mahesa Jenar diminta untuk tinggal di rumah Ki Wirasaba bersama-sama Ki Asem Gede. Tetapi untuk menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan salah paham, maka sengaja Mantingan dan Mahesa Jenar tidak banyak bercakap-cakap dengan Ki Wirasaba. Hanya dalam kesempatan itu, ketika mereka duduk-duduk bertiga, Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan dan Ki Asem Gede, bercerita lah orang itu, tentang sebab-sebabnya Ki Wirasaba menjadi lumpuh.

"Wirasaba adalah seorang pilihan dalam kalangannya," ceritera ki Asem Gede," Yaitu para penggembala. Ia mendapat gelar Seruling Gading karena kepandaiannya meniup seruling. Pada usia yang masih sangat muda, ia mulai dengan perantauannya dari satu daerah ke daerah yang lain untuk menuruti keinginannya yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Ia sebenarnya berasal dari Karang Pandan, di kaki Gunung Lawu. Sehingga pada suatu saat sampailah ia ke Prambanan. Kedatangannya bagiku sangat menguntungkan. Sebab pada saat itu aku sedang dibingungkan oleh sebuah lamaran yang mengerikan. Anakku, istri Wirasaba itu, pada saat itu sedang menerima lamaran dari seorang yang sangat ditakuti di daerah kami. Tetapi orang itu bukanlah orang baik-baik. Adatnya sangat kasar dan angkuh. Sehingga anakku bersumpah di hadapanku, kalau terpaksa ia harus menjalani perkawinan itu, berarti bahwa hidupnya harus diakhiri

Kehadiran Wirasaba merupakan angin baru bagi anakku. Perkenalan mereka semakin lama menjadi semakin erat. Sebagai orang tua aku segera mengetahui bahwa hati mereka terjalin.

Pradangsa, orang yang ingin mengawini anakku itu, melihat hubungan yang semakin erat itu. Ia menjadi marah bukan kepalang. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terkalahkan, ia berusaha menyelesaikan persoalan itu dengan caranya. Ditantangnya Wirasaba untuk berkelahi. Aku yang belum mengetahui tingkat ilmu yang dimiliki oleh Wirasaba, menjadi cemas. Tetapi Wirasaba sendiri menerima tantangan itu dengan senang hati," lanjut Ki Asem Gede.

Maka, pada suatu hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah pertemuan itu di atas sebuah gundukan pasir di pinggir sungai Opak. Aku yang selalu kecemasan, memerlukan dengan diam-diam berusaha untuk dapat mengikuti pertemuan yang tidak menyenangkan itu.

Yang mula-mula datang ke tempat itu adalah Wirasaba, tepat pada saat warna merah di langit yang terakhir terbenam ke dalam warna kelam. Rupanya sengaja ia datang lebih awal untuk mengetahui keadaan tempat itu.

Setelah beberapa saat ia mengamati tempat itu sejengkal demi sejengkal, maka duduklah Wirasaba di atas sebuah batu di tepi sungai yang mengalirkan airnya yang jernih. Dari dalam bajunya dikeluarkannya sebuah seruling yang terbuat dari pring gadhing. Sambil menunggu kedatangan lawannya, ia mulai berlagu dengan serulingnya itu. "Baru sekali itu aku mendengar Wirasaba meniup serulingnya. Dan memang sudah sewajarnya lah kalau ia mendapat sebutan Seruling Gading.

Mula-mula serulingnya itu membawakan lagu yang sejuk menyongsong datangnya bulan. Nadanya seperti silirnya angin senja. Kemudian lagu itu menurun makin dalam, tetapi sesaat kemudian melonjak riang, seriang wajah gadis yang menyongsong datangnya kekasih. Sesaat kemudian berubahlah lagu Wirasaba mendendangkan kisah cinta. Sambil menatap wajah bulan, ia berlagu dengan lembutnya. Tetapi sebentar kemudian ia meloncat berdiri. Sedang serulingnya masih saja berlagu. Dipandangnya tenang-tenang Candi Jonggrang sebagai lambang keagungan cinta yang tiada taranya. Kesanggupan Yang Maha Besar, yang dilahirkan karena cinta. Candi Jonggrang yang mengagumkan itu dapat diciptakan hanya dalam waktu satu malam, sebagai suatu usaha raksasa untuk memenuhi tuntutan cinta.

Maka beralunlah seruling Wirasaba dengan lembut dan mesra. Seakan-akan ia mengungkapkan suatu cerita rakyat tentang cinta abadi antara Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi. Dan karena itulah maka lahir segala isi bumi ini.

Wirasaba sebagai lazimnya penggembala, tiada dapat terpisah dari serulingnya. Sahabat pada saat-saat sepi, pada saat-saat binatang gembalanya asyik bermain di padang rumput. Karena itulah maka setiap lagu yang dipancarkan dari serulingnya, selalu melukiskan kisah yang terjalin di hatinya.

Sebagai seorang yang hidup bebas di padang-padang terbuka, dalam berlagu pun Wirasaba ternyata tidak mau terikat pada gending-gending yang sudah ada. Lagunya menjangkau jauh melampaui batas gending-gending yang dirasanya terlalu miskin untuk mengungkapkan seluruh perasaannya. Karena itu lagunya bebas terlontar tanpa ikatan. Namun demikian dapat melukiskan segenap warna dalam jiwanya.

Tetapi, ketika ia sedang asyik tenggelam dalam lagunya, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang merobek-robek kekhusukan lagu yang hampir sampai ke puncak keindahannya.

Aku segera mengenal suara itu. Suara Pradangsa. Kali ini rupanya ia ingin memperlihatkan kesaktiannya dengan menyalurkannya lewat suara tertawanya yang mengerikan. Cepat-cepat aku berusaha untuk tidak hanyut ke dalam pengaruhnya. Tetapi disamping itu aku pun menjadi cemas kembali. Wirasaba memang seorang ahli meniup seruling. Tetapi Pradangsa bukanlah seorang penggemar lagu. Ia adalah seorang yang kasar dan hanya dapat menghargai kekuatan tenaga. Bukan kemesraan dan kelembutan."

"Apalagi ternyata suara tertawa itu tidak segera berhenti. Tetapi gelombang demi gelombang terdengar seperti susul-menyusul. Seperti datangnya ombak lautan segulung demi segulung menghantam tebing."

"Dalam kecemasanku itu, tiba-tiba aku dikejutkan lagi oleh suara seruling Wirasaba. Tetapi setelah itu aku menjadi bersyukur. Bahkan aku menjadi berbangga hati. Suara seruling yang mesra lembut itu segera berubah melengking tajam. Kemudian Wirasaba berteriak penuh kemarahan karena cintanya terganggu. Yang sama sekali tak aku duga, adalah bahwa kemarahan Wirasaba yang dilontarkan lewat nada-nada serulingnya itu pun ternyata mengandung pengaruh yang luar biasa pula. Maka kemudian seakan-akan terjadilah benturan dahsyat antara suara tertawa Pradangsa dengan nada-nada seruling. Wirasaba yang sebentar melonjak, naik tajam, dan kemudian turun menukik kembali, lalu menggelegar seperti guruh yang dengan penuh kemarahan menghantam gunung. Karena benturan itulah maka seolah-olah tercapailah suatu keseimbangan, sehingga kedua suara itu semakin lama semakin lirih… semakin lirih. Bahkan akhirnya keduanya berhenti dengan sendirinya.

Tepat pada saat suara itu berhenti, meloncatlah sebuah bayangan dari seberang, dengan tangkasnya dari batu ke batu menyeberangi sungai Opak. Dari geraknya yang cepat dan tangkas, sudah dapat dikira sampai dimana kekuatan tenaganya.

Belum lagi Pradangsa menjejakkan kakinya di tepian, mulutnya sudah mendahului berteriak dengan suara gunturnya. "Hai anak cengeng. Rupanya kau hanya mampu menjadi seorang penipu seruling. Itu saja kau hanya bisa membawakan lagu-lagu cengeng seperti apa yang baru saja kau lagukan."

Wirasaba adalah seorang yang tinggi hati. Mendengar dirinya disebut anak cengeng, segera bangkitlah kesombongannya. "Memang, aku hanya mampu melagukan lagu-lagu cengeng. Lagu-lagu cinta dan kasih. Tetapi aku adalah orang yang tahu diri. Sekali dua kali aku pernah bercermin, meskipun hanya di permukaan air. Maka sadarlah aku bahwa wajahku jauh lebih tampan daripada wajahmu yang kasar itu. Karena itulah aku berhak melagukan lagu cinta dan kasih. Tidak saja lagu maut seperti yang kau miliki satu-satunya."

Pradangsa adalah seorang yang kasar dan sombong. Ia tidak pernah menerima hinaan yang sampai sedemikian. Karena itu segera darahnya naik ke kepala.

"Setan!" makinya semakin kasar, "Aku tidak pernah menyesal bahwa wajahku kasar dan jelek. Tetapi dengan tenaga yang aku miliki, aku mampu berbuat apapun. Aku mampu memperistri setiap perempuan yang aku kehendaki. Nah, kau sekarang mencoba mengganggu kebiasaanku itu. Karena itu bersediakah untuk mati?"

Wirasaba tidak mau banyak bicara lagi. Diselipkannya seruling pring gadingnya ke dalam bajunya.

"Kau hanya mau berbicara saja?" potongnya.

Pradangsa bergumam di dalam mulutnya, dan kemudian kembali ia tertawa nyaring. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Wirasaba membentak. "Aku tidak banyak waktu, bersiaplah."

Pradangsa pun rupanya juga menganggap bahwa waktunya telah tiba. Karena itu ia pun segera bersiap. Dengan tidak banyak lagi persoalan, segera mereka terlibat dalam sebuah perkelahian. Dalam bagian permulaan nampak bahwa Wirasaba dapat melayani Pradangsa dengan baik, seperti suara serulingnya yang mengimbangi suara tertawa lawannya. Geraknya cukup cekatan. Tetapi yang masih meragukan, apakah ia dapat mengimbangi tenaga raksasa yang dimiliki oleh Pradangsa. Dalam setiap perkelahian, Pradangsa hampir tidak pernah menghindarkan diri dari setiap serangan. Tetapi, setiap serangan itu selalu dibenturnya dengan serangan pula, sebab ia sangat percaya pada kekuatannya.

Demikian pula agaknya pada saat itu. Pradangsa sama sekali tidak menghindarkan diri ketika Wirasaba menyerangnya dengan dahsyat. Rupanya Pradangsa mengira bahwa Wirasaba hanya mampu meniup serulingnya saja. Memang bentuk tubuh Wirasaba tidaklah sebesar Pradangsa. Tetapi apa yang telah terjadi? Pada saat itu, ketika Pradangsa membalas serangan Wirasaba yang dahsyat, ternyata dalam tubuh Wirasaba yang tidak sebesar lawannya itu tersimpan suatu tenaga yang hebat sekali, yang sama sekali tak diduga oleh Pradangsa. Sedangkan Pradangsa sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa pula.

Tetapi ternyata, Wirasaba yang telah sekian kali merantau, menjelajahi beberapa daerah, memiliki pengalaman yang lebih banyak. Sedangkan Pradangsa hanyalah seorang tokoh lokal yang telah mencapai puncak kekuatannya. Ia sudah merasa tak terkalahkan. Memang Pradangsa adalah seorang kuat atas pemberian alam.

Maka ketika terjadi benturan itu, tampaklah betapa picik pengetahuan Pradangsa. Ia hanya memusatkan tenaga serta perhatiannya pada kedua belah tangannya. Dengan sepenuh tenaga yang ada padanya menghantam tangan Wirasaba yang menyerang dadanya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pada sekejap sebelum benturan itu terjadi, Wirasaba mengubah serangannya dengan menarik tangan kirinya. Ketika tangan kanannya membentur tangan Pradangsa, ibu jari tangan kirinya sempat mengetuk leher Pradangsa itu.

Akibat benturan itu pun sangat hebat sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia tergetar surut. Demikian juga Pradangsa, terdorong mundur. Karena ketukan jari pada lehernya, Pradangsa merasa bahwa nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber kekalahan Pradangsa. Sebab dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa selalu diganggu oleh peredaran nafasnya yang semakin lama terasa semakin sesak dan sakit. Meskipun demikian, pertempuran itu masih juga berlangsung lama. Mereka tampaknya seperti dua ekor ular yang saling berlilitan dan timbul-tenggelam diantara lawannya.

Tetapi sampai sekian, kepastian dari akhir pertempuran itu sudah jelas. Sebab Wirasaba jauh berpengalaman. Apalagi ia bertempur tidak saja dengan tenaganya, tetapi juga dengan otaknya. Sedangkan Pradangsa hanyalah mirip seekor babi yang terlalu percaya pada kekuatannya. Meskipun ia memiliki kelincahan, namun dalam beberapa saat kemudian ia sudah benar-benar dikuasai oleh serangan-serangan Wirasaba yang menjadi semakin keras. Akhirnya Pradangsa menjadi semakin terdesak. Dan tampaklah bahwa pertempuran itu sudah hampir selesai.

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan. Ketika Pradangsa merasa bahwa ia tidak mampu mengalahkan lawannya, dilakukannya suatu kelicikan. Tangannya tiba-tiba menggenggam potongan-potongan besi lembut dari kantongnya, yang kemudian dilemparkan ke arah Wirasaba. Tampaklah betapa terkejutnya Wirasaba. Potongan-potongan besi itu bertebaran mengarah hampir ke segenap bagian tubuhnya.

Untunglah bahwa Wirasaba berpikir cepat. Dengan tangkasnya ia meloncat tinggi-tinggi. Namun tindakannya itu tidak dapat menyelamatkan seluruh tubuhnya. Beberapa potong besi itu masih juga mengenai kakinya. Akibatnya hebat sekali. Waktu ia terjun kembali, ternyata ia sudah tidak dapat tegak lagi di atas kedua kakinya yang luka-luka. Mengalami peristiwa itu, Wirasaba menjadi marah sekali. Ia menjerit nyaring. Tiba-tiba saja tangannya sudah menggenggam sebuah kapak kecil, suatu jenis senjata yang digemari. Dengan penuh kemarahan kapak kecil itu dilemparkannya ke arah lawannya. Demikian kerasnya lemparan itu, sehingga yang tampak hanyalah seleretan sinar yang menyambar dada Pradangsa, yang kemudian disusul sebuah jerit ngeri dan suara tubuh Pradangsa yang terbanting jatuh, untuk tidak bangun kembali.

Ki Asem Gede berhenti. Beberapa kali ia menelan ludah. Agaknya ia menjadi haus setelah bercerita demikian panjangnya. Meskipun demikian ia masih meneruskan pula, "Pada saat itulah aku berlari-lari kepada Wirasaba yang masih terduduk di tanah. Wirasaba terkejut melihat kedatanganku. Ia mengangguk hormat meskipun sambil menyeringai kesakitan. Tetapi aku tidak sempat membalasnya. Perhatianku hanya terpusat pada kakinya. Aku mempunyai dugaan bahwa potongan-potongan besi itu berbisa. Sebab seorang seperti Pradangsa itu tidak mustahil berbuat demikian. Dan dugaanku itu benar. Ketika luka-luka itu aku teliti, ternyata tak mengeluarkan darah setetes pun. Maka cepat-cepat aku suruh Wirasaba menelan ramuan-ramuan obat pelawan bisa. Tetapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan."

"Biasanya, setiap luka yang mengandung bisa, setelah menelan ramuan obatku itu segera mengeluarkan darah yang berwarna kebiru-biruan. Ramuan itu juga menghanyutkan segala racun yang telah menyusup ke dalam darah daging. Tetapi tidak demikianlah kaki Wirasaba itu. Luka-luka di kakinya tetap tidak mengalirkan darah. Bahkan di sekitar luka itu tumbuhlah bengkak-bengkak. Maka dapatlah aku mengambil kesimpulan bahwa bisa yang dipergunakan oleh Pradangsa adalah bisa yang keras sekali. Karena itu aku tidak berani memperpanjang waktu. Ramuan obat yang aku berikan hanya sekadar menahan bisa itu saja. Tetapi karena kaki Wirasaba kedua-duanya hampir tak dapat lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya.

Baru ketika sampai di rumah, di bawah cahaya lampu, aku dapat mengetahui dengan pasti bahwa potongan-potongan besi itu direndam dalam ramuan warangan yang kuat sekali. Aku mempunyai dugaan bahwa warangan itu dicampur dengan bisa sejenis laba-laba hijau yang terdapat di hutan Tambak Baya.

Meskipun aku sudah berusaha keras sebagai seorang tabib, tetapi sama sekali tak berhasil melawan bisa itu. Yang dapat dilakukan hanyalah membatasi menjalarnya racun itu ke bagian tubuh yang lain.

"Itulah Anakmas Mahesa Jenar dan Adi Mantingan, sebab-sebab yang menimbulkan cacat pada Wirasaba. Tetapi hal yang membesarkan hatiku adalah, bahwa anakku tetap setia pada janjinya, meskipun laki-laki yang dikaguminya itu telah cacat. Sehingga perkawinan mereka pun dapat dilangsungkan."

Ki Asem Gede mengakhiri ceritanya dengan suatu tarikan nafas yang dalam. Seolah-olah sesuatu yang menyumbat hatinya kini telah terlontar keluar. Meskipun demikian nampak juga suatu perasaan kecewa yang tersirat di wajahnya. Sebagai seorang tabib kenamaan, Ki Asem Gede merasa mendapat suatu peringatan langsung dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa bagaimanapun usaha anak manusia, namun keputusan terakhir berada di tangan-Nya. Sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang yang ditolongnya, diobati dan disembuhkan. Namun terhadap sakit menantunya sendiri, yang bergaul hampir setiap hari, ia tak mampu berbuat apa-apa.

"Tak adakah obat yang dapat menyembuhkannya?" tanya Mahesa Jenar.

"Tidak ada," jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede jadi suram dan gelisah. "Bahkan obat yang aku berikan itu pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya. Mungkin bisa itu tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada bagian yang terluka bisa itu seperti api yang tersimpan di dalam sekam. Sedikit demi sedikit membunuh setiap bagian tubuh di sekitar luka itu," lanjutnya. Ki Asem Gede terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia berkata, "Ada Anakmas…, ada."

"Ada?" ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.

Namun kemudian tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali, katanya, "Ada Anakmas, tetapi aku kira obat itu tidak dapat diketemukan."

"Sudahkah Bapak berusaha?" tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.

Ki Asem Gede menggelengkan kepalanya. "Mustahil…, mustahil," desisnya.

"Katakanlah Ki Asem Gede," desak Mahesa Jenar, „mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau melihatnya."

Ki Asem Gede tampak ragu-ragu sebentar, tetapi akhirnya ia berkata, "Anakmas, memang ada obat untuk melawan bisa yang bagaimanapun kerasnya. Tetapi obat itu hampir hanyalah merupakan dongeng belaka."

Mahesa Jenar dan Mantingan mengerutkan keningnya bersama-sama seperti berjanji. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar bertanya, "Kenapa Ki Asem Gede? Apakah obat itu terlalu sulit untuk didapatkan?"

"Anakmas benar," sahut Ki Asem Gede sambil mengangguk, Sebab obat yang dapat melawan segala bisa itu, sepengetahuanku adalah bisa Ular Gundala."

"Ular Gundala?" ulang Mahesa Jenar, sedang Mantingan menyela, "Aku pernah mendengar nama ular itu."

"Ya, ular Gundala," Ki Asem Gede menegaskan. "Ada dua macam ular Gundala. Yaitu ular Gundala Seta dan Ular Gundala Wereng. Kedua-duanya mempunyai jenis bisa yang tak terlawan. Tetapi kedua-duanya mempunyai sifat yang berlawanan. Bisa ular Gundala Wereng, bekerja seperti pada umumnya bisa, meskipun ketajamannya berlipat-lipat. Tetapi bisa ular Gundala Putih bekerja sebaliknya. Kalau kedua jenis ular bisa itu berbenturan maka akhirnya akan menjadi tawar. Karena itulah maka bisa ular Gundala Putih-lah yang dapat menjadi obat yang sangat mujarab untuk menawarkan segala macam bisa, meskipun kalau bisa itu berdiri sendiri akan mempunyai akibat yang berbeda.

Ini adalah pengertian secara umum saja. Sebab disamping itu masih ada sebab-sebab lain, kenapa bisa ular Gundala itu sedemikian ampuhnya. Menurut cerita, ular Gundala adalah semacam senjata dari para Dewa. Ular Gundala Wereng adalah senjata dari Sang Batara Kala, sedangkan ular Gundala Seta adalah senjata Batara Wisnu. Kalau senjata-senjata itu sedang dipergunakan, maka memancarlah bunga-bunga api di udara. Kalau sinarnya putih kebiru-biruan, itulah pancaran dari ular Gundala Seta, senjata Wisnu. Sedangkan ular Gundala Wereng memancarkan cahaya merah membara agak kehitam-hitaman."

Wajah Ki Asem Gede masih membayangkan kekecewaan. Bahkan mendekati putus asa.

Tetapi ketika Mahesa Jenar mendengar cerita ini, ia menjadi teringat kepada sahabat karibnya semasa mereka masih muda. Pada saat mereka baru menginjak ambang pintu kedewasaan. Yaitu seorang yang kemudian terkenal bergelar Ki Ageng Sela, yang pada masa anak-anaknya bernama Anis atau beberapa orang memanggilnya Nis dari Sela. Sela adalah seorang yang luar biasa. Geraknya cepat melampaui kilat. Bahkan sampai beberapa orang mengatakan bahwa ia mewarisi kecepatan bergerak ayahnya yang juga bergelar Ki Ageng Sela, yang menurut ceritera dapat menangkap petir.

Pada suatu kali, ketika Ki Ageng Sela sedang menyepi di tepi sendang Jalatunda, tiba-tiba ia disambar oleh semacam sinar putih kebiru-biruan. Untunglah bahwa ia dapat bergerak cepat luar biasa, sehingga ia dapat menghindari sambaran sinar itu. Bahkan ia masih juga sempat menangkapnya. Tetapi demikian tangannya menyentuh benda itu, terkejutlah ia bukan kepalang. Sebab pada saat itu tangannya terasa telah menangkap seekor binatang yang bulat panjang. Untunglah bahwa sebelumnya ia pernah mendengar cerita tentang seekor ular yang pandai terbang dan bercahaya. Ular yang diceritakan menjadi penggembala hujan. Maka secepat kilat benda yang ditangkapnya itu sebelum sempat menggigitnya, dibantingnya ke tanah.

Adalah suatu keuntungan bahwa binatang itu tidak dihantamkan pada sebatang pohon atau batu. Sebab kalau demikian, binatang itu pasti akan remuk. Saat itu, ia dapatkan binatang itu masih utuh, meskipun terbenam lebih dari sejengkal ke dalam tanah.

Kemudian bangkai ular itu diambilnya. Ternyata ular itu adalah seekor ular yang aneh. Panjangnya dibanding dengan besarnya dapat dikatakan terlalu pendek. Sisiknya berwarna putih mengkilap agak kebiru-biruan. Pada bagian kepalanya tergoreslah semacam lukisan jamang, sedangkan pada ujung ekornya melingkar lah warna kuning keemasan.

Maka, ketika ular aneh itu dibawa pulang, terlihatlah binatang itu oleh Ki Ageng Warana. Melihat bangkai ular itu, Ki Ageng Warana terperanjat, apalagi ketika ia mendapat keterangan dari Sela. Maka segera orang tua itu minta izin kepada Sela untuk mengambil bisanya. Sela yang menganggap binatang itu hanya sebagai barang yang aneh, sama sekali tidak keberatan. Ia tidak mengira kalau karena itu ia mendapat semacam obat yang tak ada bandingnya. Obat penawar segala macam bisa yang bagaimanapun tajamnya. Racun dari bisa binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Oleh Ki Ageng Warana, binatang itu diperas bisanya. Dengan mempergunakan keahliannya, ia dapat menampung bisa itu. Kemudian dengan berbagai ramuan, bisa itu berhasil dipadatkan. Tetapi hanya tinggal kecil sekali, hanya kira-kira sebesar biji kacang tanah. Biji sari bisa ular ajaib itu dihadiahkan kepada Ki Ageng Sela. Meskipun Ki Ageng Warana minta sebagian kecil, Ki Ageng Sela pun sama sekali tidak keberatan. Dengan biji bisa itu, Ki Ageng Warana telah membebaskan dirinya sendiri dari berbagai macam bisa. Juga Ki Ageng Sela dan bahkan Mahesa Jenar sebagai seorang sahabat karib Nis dari Sela, mendapat kesempatan untuk menikmati khasiatnya pula.

Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu direndamnya dalam air, yang kemudian dengan mempergunakan duri yang telah direndam di dalam air itu, untuk menusuk simpul-simpul jalan darah. Dengan demikian, mereka tawar dari segala macam bisa.

Mahesa Jenar sebagai sahabat paling dekat Ki Ageng Sela, tidak hanya mendapat kesempatan membebaskan diri dari segala pengaruh bisa dan racun, tetapi ia juga mendapat hadiah dari sahabatnya, sebagian dari biji bisa itu.

Dengan biji bisa itu Ki Ageng Warana telah membebaskan dirinya sendiri dari berbagai macam bisa. Juga Ki Ageng Sela dan bahkan Mahesa Jenar sebagai seorang sahabat karib Nis dari Sela, mendapat kesempatan untuk menikmati khasiatnya pula.

Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu direndam dalam air, yang kemudian dengan mempergunakan duri yang telah direndam didalam air itu, untuk menusuk simpul-simpul jalan darah. Dengan demikian, mereka tawar dari segala macam bisa.

Mahesa Jenar, sebagai sahabat paling dekat Ki Ageng Sela, tidak saja mendapat kesempatan membebaskan diri dari segala pengaruh bisa dan racun, tetapi ia mendapat hadiah dari sahabatnya sebagian dari biji bisa itu.

Maka, diceritakannya semua itu kepada Ki Asem Gede. Tentang ular yang bersinar putih kebiru-biruan serta tentang biji bisa Ular itu. Barangkali biji bisa itu dapat dipergunakan untuk mengobati kaki Wirasaba sebagaimana bisa ular Gundala Seta.

Ki Asem Gede dan Mantingan mendengar cerita itu dengan penuh perhatian. Wajah Ki Asem Gede sebentar tampak berkerut, sebentar terkejut, kemudian sebentar menjadi cerah, untuk seterusnya muram kembali. Tetapi kemudian tiba-tiba jadi bersinar terang.

"Anakmas," kata Ki Asem Gede kemudian setelah Mahesa Jenar selesai bercerita, "Ki Ageng Warana adalah raja dari segala tabib. Sayang aku sampai sekarang belum pernah berkesempatan bertemu dengan beliau. Sebab beliau adalah seorang yang aneh. Sebentar nampak, sebentar menghilang. Berbahagialah Anakmas Nis dari Sela dapat bertemu dengan orang tua yang aneh itu. Dan berbahagia pulalah Anakmas Mahesa Jenar bersahabat dengan Anakmas Sela. Sebab menurut ciri-ciri yang Anakmas ceriterakan itu, ular yang menyambar demikianlah yang bernama ular Gundala."

"Tetapi Ki Ageng Warana tidak menamakan ular itu ular Gundala," Mahesa Jenar menjelaskan, tetapi disebutnya ular Candrasa."

Tiba-tiba cahaya mata Ki Asem Gede menjadi cerah secerah matahari pagi yang memercik di atas rumput-rumput hijau.

"Ya itulah Anakmas," katanya hampir berteriak, "Candrasa Seta. Memang terdapat beberapa dongeng mengenai ular ajaib itu.Sebagai senjata dewa-dewa, ia disebut Ular Gundala. Tetapi sebagai penggembala air di langit ia disebut ular Candrasa."

Kemudian Mahesa Jenar mengambil sebuah tabung bambu kecil yang diikatkan di bagian dalam pakaiannya. Tetapi meskipun obat itu tak pernah terpisah dari tubuhnya, bahkan ia pernah mendapat tusukan di simpul jalan darahnya oleh Ki Ageng Warana, namun ia masih belum pernah melihat bukti khasiatnya.

Ki Asem Gede menerima benda itu dengan dada berdebar. Diamat-amatinya benda itu dengan saksama.

"Anakmas Mahesa Jenar, marilah kita lihat khasiat benda ini."

Kemudian Ki Asem Gede pun segera mengambil sebuah cawan tembikar dan bumbung berisi bisa. Segera biji bisa ular itu direndamnya di dalam air, lalu diteteskannya bisa dari dalam bumbungnya ke dalam air rendaman itu, setelah biji bisanya disisihkan ke dalam tempat yang lain.

Apa yang terjadi sangatlah mengejutkan. Air di dalam cawan itu menjadi seakan-akan menggelegak dan mendidih. Maka setelah timbul beberapa gumpal asap, air di dalam cawan itu menjadi surut. Akhirnya sesaat kemudian air itu menjadi tenang kembali.

Semuanya memandang peristiwa itu tanpa berkedip. Kemudian berkatalah Ki Asem Gede. "Ini adalah suatu benturan langsung antara dua jenis bisa tanpa perantara. Maksudnya adalah, bahwa kedua jenis bisa itu tidak bekerja atas sesuatu zat, misalnya yang satu membekukan sedang yang lain mencairkan darah. Dan anakmas dapat menyaksikan sendiri betapa hebatnya bisa Ular Gundala atau Candrasa itu."

Mahesa jenar termenung sejenak. Lalu katanya, "Kalau begitu, dapatkah Ki Asem Gede mengobati kaki kakang Wirasaba?"

"Akan aku coba," jawab Ki Asem Gede, "tetapi harus perlahan-lahan. Sebab bisa di dalam tubuh Wirasaba telah bekerja terlalu lama. Kalau tubuhnya itu tidak mempunyai daya tahan yang luar biasa, ia telah lama binasa. Karena itu aku tidak berani mengobatinya sekaligus. Benturan yang berlebihan di dalam tubuhnya antara dua jenis bisa itu akan dapat membunuhnya. Dan untuk itu akan memerlukan waktu."

Akhirnya Ki Asem Gede minta kepada Mahesa Jenar untuk diizinkan meminjam biji bisa itu. Ia akan mencoba sedikit demi sedikit mengobati kaki Wirasaba yang bertahun-tahun tak dapat dipergunakan.

Sementara itu malam menjadi semakin dalam. Bunyi jangkrik terdengar saling bersahutan dengan gemersik daun yang digerakkan oleh angin malam sejuk.

Maka, Ki Asem Gede atas nama anak menantunya mempersilahkan kedua tamunya itu untuk beristirahat.