webnovel

Kesepuluh

Tetapi, sementara itu, terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan mereka semua. Tidak saja para pengawal dan mereka yang melakukan perjalanan, tetapi juga pemuda itu dan Mahesa Jenar.

Tiba-tiba dalam suasana keributan pertempuran, di antara kesepian rimba itu, menggetarlah suara tertawa nyaring yang semakin lama terdengar semakin mengerikan.

Segera, semua yang mendengar suara itu mengenal, bahwa itulah suara maharaja yang kekuasaannya terbentang meliputi seluruh hutan Mentaok dan bagian-bagiannya. Ia adalah yang sangat ditakuti dengan namanya yang seram, Lawa Ijo.

Bahkan kali ini suara tertawa itu sedemikian mengerikan, seperti memenuhi seluruh rimba dan mengepung mereka dari segala penjuru. Demikian hebatnya pengaruh suara tertawa itu, seperti mengguncang-guncang dada. Sehingga arahnya pun tak dapat diketahui dari manakah sumber suara itu. Beberapa orang menjadi bingung dan ketakutan, bahkan ada yang menjadi lemas dan hampir pingsan. Tidak ketinggalan para pengawal pun segera nampak sangat cemas. Sebab munculnya Lawa Ijo setelah beberapa lama lenyap itu, adalah sangat tiba-tiba dan tak disangka-sangka.

Mahesa Jenar yang mempunyai telinga sangat tajam, dengan saksama memperhatikan suara itu. Meskipun perlahan-lahan, akhirnya dapat diketahui dari manakah asalnya.

Tetapi rupanya pemuda tampan itu pun bukan orang biasa. Pendengarannya ternyata sangat tajam. Untuk mengetahui arah suara itu, diangkatnya wajah. Meskipun tidak secepat Mahesa Jenar, ia pun akhirnya dapat mengetahui sumber suara itu. Maka segera ia pun bersiaga menghadap ke arah suara itu, sambil berteriak. "Hai Lawa Ijo, kau jangan main gila di hadapanku. Ayo keluarlah dari sarangmu. Apakah yang sebenarnya kau kehendaki dengan memperdengarkan suara tertawamu yang memuakkan itu?"

Mendengar seruan pemuda itu, semua orang, termasuk Mahesa Jenar, menjadi bertanya-tanya dalam hati. "Siapakah dia, yang telah berani menantang Lawa Ijo ini?"

Sementara itu suara tertawa Lawa Ijo pun semakin lama semakin surut, dan akhirnya mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang melayang turun dari dahan yang cukup tinggi. Tetapi yang sama sekali tak diduga-duga, kecuali oleh Mahesa Jenar dan pemuda tampan itu, ternyata Lawa Ijo bertengger di atas dahan yang hanya berjarak tidak lebih dari 20 depa dengan mereka. Samar-samar oleh cahaya api yang masih menyala, tampaklah bahwa Lawa Ijo pun sebenarnya masih muda. Usianya tidak juga terpaut banyak dengan pemuda tampan itu maupun dengan Mahesa Jenar. Tubuhnya kekar kuat, matanya hitam mengkilap memancarkan sinar kekejaman dan kebengisan. Sedangkan di bawah hidungnya melekatlah kumis yang lebat hitam melintang menyeramkan. Meskipun pada saat itu Lawa Ijo tersenyum, tetapi senyumnya sama sekali tidak menambah manis wajahnya, bahkan beberapa orang yang melihatnya menjadi gemetar ketakutan, seakan-akan melihat senyuman malaikat pencabut nyawa yang berhasil melakukan tugasnya dengan baik.

Perlahan-lahan, setapak demi setapak, Lawa Ijo berjalan mendekati pemuda tampan itu. Di pinggangnya membelit kain berwarna putih dengan lukisan hijau di atasnya. Pastilah itu gambar yang menyeramkan. Kelelawar dengan kepala serigala. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam sebilah pisau belati panjang.

Ternyata pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar. Meskipun demikian ia tidak mau merendahkan Lawa Ijo. Tangannya segera memutar tongkat hitamnya, dan tiba-tiba dari dalamnya ia mencabut sebilah pedang kecil yang lentur.

Melihat hal itu Lawa Ijo tertawa, tetapi kali ini tertawanya pendek. Kataya, "Ular Laut gila, kau jangan main gagah-gagahan di daerah ini."

Mendengar kata-kata Lawa Ijo, sekali lagi Mahesa Jenar terkejut. Pikirnya,"Inilah agaknya yang disebut Samparan dengan panggilan Ular Laut yang memiliki wajah tampan dan bernama Jaka Soka. Karena itulah maka dengan enaknya ia dapat melawan tujuh orang, bahkan lebih dari itu. Dan dengan beraninya pula ia menantang Lawa Ijo."

Mendengar ucapan Lawa Ijo, Jaka Soka sama sekali tidak menjadi takut. Malahan kembali bibirnya yang tipis itu menyungging senyum aneh. Jawabnya, "Daerah inikah yang kau maksud?"

"Jaka Soka," sambung Lawa Ijo, "kau jangan mencari perkara. Kau tahu bahwa seluruh hutan Mentaok dan bagian-bagiannya serta segala isinya adalah daerah wewenangku."

"Hem…," Jaka Soka bergumam, "telah berapa bulan atau berapa tahun kau merendam diri di sarangmu? Dan tahu-tahu sekarang masih mengatakan daerah ini daerah wewenangmu. Lawa Ijo, menurut pikiranku daerah ini sekarang merupakan daerah tak bertuan."

"Kau jangan mengigau Soka. Aku belum pernah melepaskan hak yang pernah aku miliki. Kalau beberapa waktu terakhir aku tidak pernah berbuat sesuatu, itu bukannya aku tak lagi berwenang di daerah ini. Hanya saja, dalam waktu-waktu itu aku tak merasa perlu untuk berbuat apa-apa. Anggapanmu bahwa daerah ini daerah tak bertuan itu sama sekali salah, selama aku masih bernafas. Nah sekarang tinggalkan daerah ini."

Jaka Soka sama sekali tak terpengaruh oleh kata-kata Lawa Ijo itu. Bahkan kemudian ia tertawa kecil. Jawabnya, "Lawa Ijo, kau jangan berlagak seperti seorang yang paling berkuasa. Apa dasarmu kau berani memerintah aku untuk meninggalkan daerah ini? Kau masih belum menunjukkan bahwa kau memiliki sepasang pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabukinten. Juga belum pasti bahwa kau akan berhasil memenangkan semua pertandingan yang akan kami selenggarakan akhir tahun ini. Jadi pada saat ini kau dan aku masih belum mempunyai sangkut paut apapun juga."

Lawa Ijo menarik alisnya yang tebal itu tinggi-tinggi sambil mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Lalu bagaimana seharusnya?"

Jawab Jaka Soka, "Seharusnya kau tak usah mengganggu aku. Tetapi kalau kau tetap tak menghendaki aku melakukan perbuatan-perbuatan di daerah ini, seharusnya kau paksa aku pergi."

Kembali Lawa Ijo tertawa pendek. Katanya, "Kau masih seperti masa-masa lampau. Setelah kau capai tingkatmu yang hampir sempurna sekarang ini, seharusnya kau tak lagi banyak bernafsu untuk berkelahi. Dan apakah artinya pertempuran diantara kita. Beberapa waktu yang lampau kita pernah berkelahi sampai beberapa hari. Dan tidak seorangpun dari kita yang kalah. Kalau pada saat ini kami kembali bertempur, menurut pendapatku hasilnya akan sama saja. Karena itu baiklah kita hormati persetujuan yang pernah kita buat mengenai daerah kerja kita masing-masing."

Jaka Soka menjadi berbimbang hati. Dahinya berkerut dan otaknya berputar cepat. Melihat Jaka Soka ragu, Lawa Ijo menambahkan, "Atau kalau kau merasa tidak perlu lagi dengan persetujuan itu, baiklah dihapus saja sama sekali. Aku tak keberatan kau melakukan kegiatan di wilayah ini, tetapi kau jangan menyalahkan aku kalau aku akan melakukan kegiatan di Nusa Kambangan dan di lautan. Sebab aku pun pernah menjadi bajak laut pada usia 14 tahun."

Dahi Jaka Soka semakin berkerut. Dan akhirnya pecahlah tertawanya. Katanya, "Memang, kau penjahat tak tanggung-tanggung Lawa Ijo. Baiklah kalau demikian aku mengalah, "Tetapi…." Jaka Soka berhenti berbicara, tetapi matanya merayap kepada gadis cantik yang duduk gemetar dan ketakutan.

Lawa Ijo pun mengerti maksud Jaka Soka. Sahutnya sambil tersenyum, "Soka, kemana kau pergi, selalu kau bawa pulang gadis-gadis. Apakah sarangmu masih belum penuh?"

Jaka Soka tertawa lirih, jawabnya, "Alangkah bodohnya kau. Nusa Kambangan cukup luas untuk menampung semua gadis dari pulau Jawa ini. Dan atas gadis ini kau tidak keberatan?"

Mendengar percakapan mereka, gadis itu menjadi semakin ketakutan. Tubuhnya menggigil dan keringat dingin telah membasahi tubuhnya. Sekarang di hadapan kedua penjahat terkenal itu, rombongan yang berjumlah 10 orang dengan mereka yang telah tersadar dari pingsannya pun tidak mungkin dapat menghalangi maksud Ular Laut yang gila itu. Meskipun orang-orang lain juga merasa ketakutan dan ngeri, tetapi sebesar-besarnya mereka hanya harus menyerahkan barang-barang mereka. Tetapi gadis itu harus menyerahkan dirinya. Satu-satunya harapan baginya adalah kalau Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, melarang Jaka Soka berbuat sesuatu di daerah ini. Sebab Lawa Ijo sendiri, menurut berita yang tersiar, tak pernah menculik atau menghendaki seorang gadis.

Tetapi, alangkah kecewanya gadis itu, bahkan hampir saja ia jatuh pingsan ketika didengarnya Lawa Ijo berkata sambil tertawa pendek, "Jaka Soka, sebenarnya aku sama sekali tak mengubah pendirianku. Tetapi sebagai seorang sahabat, baiklah aku hadiahkan gadis itu kepadamu. Aku sama sekali tak berkepentingan dengannya, sebab aku mempunyai kepentingan lain."

Mendengar jawaban Lawa Ijo, Jaka Soka menjadi gembira sekali. Katanya, "Lawa Ijo, memang hanya itulah yang sebenarnya aku kehendaki dari rombongan ini. Hanya barangkali kau anggap aku bersalah, bahwa aku tidak minta izinmu dahulu. Nah, sekarang kau telah mengizinkan."

Sekali lagi Lawa Ijo tertawa. "Terserahlah kepadamu, Soka," katanya.

Mendengar keputusan Lawa Ijo, gadis itu semakin putus asa. Tak ada lagi harapan baginya untuk melepaskan diri dari tangan penjahat itu.

Mahesa Jenar selalu memperhatikan perkembangan keadaan dengan cermat. Ia dihadapkan pada satu persoalan yang juga cukup rumit. Di sini, tanpa diduga-duga ia telah bertemu dengan Lawa Ijo yang sengaja akan dicarinya. Tetapi di sini juga, ada seorang yang dapat mengganggu pertemuan itu. Yaitu Jaka Soka yang ternyata mempunyai kekuatan seimbang dengan Lawa Ijo. Kalau pada saat itu Mahesa Jenar membuat perhitungan dengan Lawa Ijo, ia sendiri belum tahu pasti siapakah yang akan menang. Apalagi kalau kemudian Jaka Soka ikut campur, maka masalahnya akan merugikan. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, melawan dua orang adalah pekerjaan yang berat sekali, bahkan mungkin diluar kuasanya.

Tetapi, diluar itu ia menghadapi soal baru. Jaka Soka menghendaki untuk membawa gadis itu pulang ke Nusa Kambangan. Apakah hal yang demikian dan berlangsung di bawah hidungnya akan dibiarkan saja? Andaikan ia bertindak, dalam hal ini pun ada kemungkinan ia terlibat dalam pertempuran melawan kedua orang itu. Sebagai seorang prajurit pilihan, Mahesa Jenar sama sekali tidak mengenal takut. Kalau ia sampai berpikir demikian, masalahnya adalah atas dasar perhitungan cara dan bagaimana untuk mencapai maksudnya.

Selagi Mahesa Jenar sibuk berpikir, Jaka Soka dengan matanya yang redup dan senyum aneh yang menghiasi bibirnya yang tipis, telah mulai bergerak dan berjalan perlahan-lahan ke arah gadis cantik itu. Sementara itu Lawa Ijo berteriak bergurau, "Jaka Soka, sebenarnya aku iri hati melihat ketampanan wajahmu. Tetapi kau rupanya adalah seorang tampan yang sial. Sebab gadis-gadis yang kau kehendaki menjadi pingsan kegirangan, karena akan mendapat pasangan yang setampan kau ini."

Jaka Soka sama sekali tak mendengar perkataan Lawa Ijo itu. Ia sedang kegirangan akan mendapat gadis yang demikian cantiknya, melebihi semua gadis yang pernah dilihatnya.

Tetapi terjadilah suatu hal diluar perhitungannya. Dalam keputusasaan, gadis itu memutuskan untuk lebih baik membunuh dirinya. Ia sama sekali tidak mau dinodai kehormatannya oleh iblis-iblis yang demikian itu. Maka secepat kilat ia mengambil keris dari dalam bungkusan yang dibawanya, dan segera ia menarik keris itu dari warangkanya.

Jaka Soka sama sekali tidak mengira bahwa hal yang demikian akan terjadi. Karena itu ia terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ia masih belum tahu, maksud yang sebenarnya gadis itu menarik keris. Karena itu ia harus berhati-hati. Tetapi tiba-tiba saja ia melihat keris itu melayang menuju ke arah dada gadis itu sendiri.

Jaka Soka tersadar. Karena itu harus dicegahnya. Tetapi sayang jaraknya masih terlalu jauh. Sehingga terloncatlah teriakan dari mulutnya yang berbibir tipis itu dengan noda yang cemas. Cemas akan kehilangan gadis itu. "Jangan… Jangan lakukan itu."

Tetapi teriakannya itu menggetar tanpa sesuatu pengaruh apapun atas gadis yang sudah bertekad untuk mati daripada jatuh di tangan bajak laut yang berwajah tampan itu.

Tiba-tiba tampaklah sebuah bayangan melontar dengan cepatnya menyambar pergelangan tangan gadis itu, sehingga keris yang digenggamnya tidak sampai menembus dadanya. Gadis itu terkejut bukan kepalang. Demikian juga semua yang menyaksikan. Bahkan Jaka Soka dan Lawa Ijo pun menjadi terkejut dan heran melihat orang dapat bergerak demikian cepatnya.

Itulah Mahesa Jenar yang telah mencoba untuk menyelamatkan jiwa gadis cantik itu. Dan sekaligus keris itu pun telah berpindah ketangannya pula. Tetapi belum lagi debar jantung mereka berhenti, kembali mereka terkejut, terutama Mahesa Jenar sendiri, Jaka Soka dan Lawa Ijo, ketika mereka melihat keris yang sekarang sudah berada di tangannya.

"Kiai Sigar Penjalin," desis mereka hampir bersamaan.

Itulah nama keris yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Keris yang berbentuk lurus. Satu sisinya melengkung hampir setengah lingkaran, sedangkan sisi yang lain datar seperti kebiasaan keris. Mirip seperti batang penjalin yang dibelah dua dan diruncingkan ujungnya. Yang mengejutkan mereka adalah, keris itu terkenal sebagai pusaka seorang sakti yang mempunyai nama sejajar dengan Pasingsingan. Yaitu Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak Wanasaba. Demikian terkejutnya Mahesa Jenar sampai tangannya yang memegang keris itu gemetar.

Maka setelah agak reda sedikit dan nafasnya mulai teratur, Mahesa Jenar berdiri dengan teguhnya memandang tajam kepada Jaka Soka. "Apakah yang kau kehendaki dari gadis ini?" tanya Mahesa Jenar.

Getar hati Jaka Soka sementara itu telah turun. Tetapi sekarang otaknya dihinggapi oleh suatu pertanyaan. Perantau tolol itu, kenapa tiba-tiba saja dapat berbuat sedemikian cepatnya, sehingga jiwa gadis cantik itu tertolong. Selain itu, gadis itu ternyata memiliki keris Kiai Sigar Penjalin. Apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pandan Alas?

Jaka Soka berpaling kepada Lawa Ijo untuk mendapat pertimbangan. Ternyata Lawa Ijo pun pada saat itu sedang berpikir keras. Ia memandang keris Sigar Penjalin yang berada di tangan Mahesa Jenar itu tanpa berkedip. Baru setelah beberapa saat kemudian ia berkata, "Jaka Soka, menurut pendapatku sebaiknya kita tidak membuka suatu persoalan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Sebab dengan membawa keris Sigar Penjalin, gadis itu mempunyai hubungan dengan Ki Ageng Pandan Alas."

Jaka Soka dalam hati kecilnya membenarkan juga keterangan Lawa Ijo itu. Sebab ia pun tahu bahwa Ki Ageng Pandan Alas termasuk orang yang aneh. Ia selalu berada di mana saja merantau dari satu tempat ke tempat lain.

Namun demikian, ia sayang juga melepaskan gadis cantik yang sudah sekian lama diikutinya. Sebab dalam pengamatannya, belum pernah ia menemukan gadis secantik itu. Kalau kali ini ia tak berhasil membawanya pulang, maka seumur hidupnya belum tentu ia akan menjumpainya lagi.

Sebaliknya, gadis cantik itu sama sekali tidak menduga bahwa keris yang dibawanya mempunyai pengaruh yang sedemikian hebatnya. Ia sendiri belum pernah mendengar nama Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak. Keris yang dibawanya adalah keris peninggalan ibunya pada saat ibunya menghembuskan nafas terakhir. Menurut ibunya, keris itu adalah keris kakeknya, seorang petani miskin yang pada saat itu sedang merantau mencari daerah baru yang lebih subur, yang barangkali dapat dipakai sebagai tempat tinggal yang baru. Dan menurut ibunya, kakeknya sekarang berada di desa Pliridan. Daerah antara hutan Tambak Baya dan Beringan, bagian dari hutan Mentaok. Suatu daerah yang baru dibuka oleh beberapa orang, yang nampaknya subur untuk daerah pertanian.

"Lawa Ijo," kata Jaka Soka kemudian setelah berpikir sejenak. "Memang aku sebenarnya segan terhadap orang tua itu. Tetapi menurut pikiranmu apakah ia mengetahui bahwa gadis itu aku bawa pulang ke Nusa Kambangan?"

"Soka," jawab Lawa Ijo, "Pandan Alas itu tidak ubahnya seperti hantu yang berada di mana saja, pada saat apa saja. Ia seolah-olah memiliki seribu mata dan seribu telinga yang bertebaran di seluruh tanah ini."

"Tetapi ternyata sekarang ia tak ada di tempat ini," potong Jaka Soka.

"Kau jangan berkeras membawa gadis itu, Soka. Meskipun seandainya Pandan Alas pada saat ini tidak melihat dan mengetahui, tetapi perbuatan itu kau lakukan di hadapan saksi-saksi yang pada suatu ketika pasti akan terdengar pula oleh hantu yang bertelinga seribu itu. Kalau sudah demikian halnya, kau tidak akan dapat lagi hidup tenteram dan berlindung di mana pun di dunia ini."

Jaka Soka terdiam. Tampak alisnya berkerut-kerut. Tiba-tiba terdengarlah ia menjawab dengan jawaban yang sama sekali tidak terduga-duga. Semua yang mendengar menjadi terkejut, seperti tanah tempat mereka berpijak itu runtuh. Katanya dengan suara yang mantap, "Lawa Ijo, kau benar. Memang aku seharusnya tidak berbuat itu di hadapan saksi-saksi. Karena itu maka akan aku bunuh semua orang yang menyaksikan peristiwa ini, kecuali kau."

Baru mendengar kata-kata itu, dan belum lagi Jaka Soka berbuat sesuatu, orang-orang yang mendengarnya seolah-olah telah terbang nyawanya. Lawa Ijo yang matanya memancarkan sinar kebuasan dan kebengisan itu pun terkejut mendengar keputusan Jaka Soka untuk membunuh sekian banyak orang itu. Katanya memperingatkan, "Jaka Soka, sebaiknya kau pikir masak-masak apa yang akan kau lakukan itu. Apalagi hal itu terjadi di daerah kuasaku."

"Lawa Ijo, kau tidak akan tersangkut dalam perkara ini. Dan percayalah, bahwa apabila tak seorang pun yang hidup diantara orang-orang ini, maka bagaimanapun tajamnya telinga Pandan Alas, ia tak mungkin dapat mendengarnya."

Tampaklah dahi Lawa Ijo berkerut. Rupa-rupanya ia berpikir keras. Tetapi bagaimanapun, ia tetap tidak dapat mengerti jalan pikiran Jaka Soka. Mengorbankan sekian banyak orang hanya untuk mendapatkan seorang gadis. Seandainya taruhan itu untuk memperebutkan sebuah pusaka atau harta benda yang tak ternilai, agaknya Lawa Ijo masih dapat mengertinya.

Mereka yang mendengarkan percakapan itu, hatinya diliputi oleh suasana ketegangan yang hebat. Mereka mengharap Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, tak mengizinkan Jaka Soka berbuat demikian kejamnya hanya untuk memanjakan nafsunya. Mereka rela andaikata kemudian Lawa Ijo merampas segala harta benda mereka, asal nyawa mereka diselamatkan. Bahkan ada diantaranya yang mulai menyesali gadis cantik itu di dalam hatinya. Sebab, karena gadis itulah maka nyawa mereka terancam untuk dikorbankan.

Sampai beberapa saat Lawa Ijo tidak berkata-kata. Ia menjadi bimbang. Sebenarnya lebih baik baginya untuk tidak menambah lawan. Apalagi seorang sakti seperti Ki Ageng Pandan Alas. Tetapi untuk menolak permintaan Jaka Soka pun akan mempunyai akibat yang tak menyenangkan. Sebab ia tahu betul tabiat kawannya ini. Semua kehendaknya harus dapat terlaksana. Apalagi kalau ia sedang tergila-gila kepada seorang gadis. Bagaimanapun kejamnya Lawa Ijo, namun tak akan terlintas dalam pikirannya untuk berbuat demikian, hanya untuk seorang gadis. Sebab ia sama sekali memang tidak pernah tertarik kepada gadis seperti itu. Baginya, gadis-gadis demikian hanyalah akan mempersulit diri saja.

"Lawa Ijo," sambung Jaka Soka ketika Lawa Ijo lama tak menjawab, "seharusnya kau tak usah takut kepada Pandan Alas. Sebab Paman Pasingsingan tentu tidak akan tinggal diam andaikata Pandan Alas salah duga terhadapmu mengenai masalah ini."

Mendengar desakan terakhir ini, Lawa Ijo tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagi mereka yang menyaksikan, anggukan kepala Lawa Ijo itu bagaikan melihat jatuhnya palu keputusan hukuman mati bagi mereka semua.

Maka terjadilah kegemparan di antara mereka. Beberapa orang telah menangis merintih-rintih minta diampuni dan diselamatkan jiwanya. Mereka bersumpah untuk tidak membuka mulut tentang peristiwa ini kepada siapapun. Beberapa orang lagi jatuh pingsan, dan yang lain menggigil ketakutan.

Dalam keadaan yang demikian, terasalah kesetiakawanan mereka hancur lumat demi keselamatan masing-masing. Bahkan ada diantara mereka yang sampai hati terang-terangan mengumpati gadis yang sama sekali tak bersalah itu.

Di dalam keributan itu, tiba-tiba gadis cantik itu berdiri tegak. Kepalanya terangkat dan dadanya menengadah. Lenyaplah kesan-kesan ketakutan dan kecemasan yang membayang di wajahnya. Dari mulutnya yang mungil itu terdengarlah suaranya yang gemetar. "Saudara-saudara seperjalanan… aku minta maaf kalau kehadiranku di antara saudara-saudara menyebabkan saudara-saudara menemui kesulitan. Tetapi ketahuilah bahwa orang ini tidak akan berguna membunuh saudara-saudara sekalian, sebab aku telah memutuskan untuk bunuh diri." Kemudian gadis itu berpaling kepada Mahesa Jenar, katanya, "Ki Sanak, aku berterima kasih kepadamu, atas usahamu menyelamatkan jiwaku. Tetapi adalah lebih berharga jiwa dari sekian banyak orang termasuk ki sanak sendiri, daripada aku seorang. Karena itu berikanlah keris itu kembali kepadaku."

Sudah tentu Mahesa Jenar tidak dapat berpangku tangan menyaksikan semua itu terjadi. Ia telah berjanji kepada dirinya sendiri, mengabdikan diri bagi kedamaian hati rakyat dan kemanusiaan. Sebab dengan demikian ia telah mengabdikan dirinya pula kepada tanah tumpah darah dan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia menjadi terharu mendengar ucapan gadis yang menyediakan diri sebagai tumbal keselamatan sekian banyak orang. Tetapi belum lagi ia sempat menjawab, terdengar suara Jaka Soka memerintah, "Perantau tolol. Jangan kau serahkan kepadanya, supaya aku selamatkan jiwamu. Berikan saja keris itu kepadaku."

Tetapi Mahesa Jenar sudah mendapat suatu ketetapan. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Jaka Soka akan membunuh semua orang yang ada, hanya untuk merampas seorang gadis. Sedangkan gadis itu sendiri sama sekali tidak menghendakinya.

Karena itu, dengan sikap seekor banteng, Mahesa Jenar melangkah, lalu berdiri diantara gadis yang pucat itu. Wajahnya memancarkan kebulatan tekadnya, apapun yang akan dihadapi. Meskipun ia harus melawan Jaka Soka dan Lawa Ijo sekaligus. Dengan tenangnya pula ia menjawab kata-kata Jaka Soka. "Jaka Soka yang dikenal sebagai seorang Bajak Laut yang menakutkan. Buat apa aku mengharap kau membebaskan jiwaku. Kalau aku terpaksa berkubur di tengah-tengah hutan Tambak Baya ini. Karena aku membela kebenaran, aku sama sekali tidak akan menyesal. Karena itu selagi aku masih bernafas, kau tak akan dapat menyentuh gadis yang belum aku kenal sebelumnya ini."

Jawaban Mahesa Jenar ini hebat akibatnya. Muka Jaka Soka segera berubah menjadi merah membara, dibakar oleh kemarahannya. Kalau tadi ia melihat orang itu dapat bergerak begitu cepat, baginya bukanlah ukuran bahwa orang itu cukup berharga untuk dilawannya. Apalagi sebelum itu, perantau tolol itu telah melawannya bersama-sama dengan ketujuh orang pengawal, dan sama sekali tak menunjukkan keistimewaan apa-apa. Meskipun demikian, dalam hati Jaka Soka mengakui, bahwa orang itu benar-benar orang tolol yang berani.

Selain itu, kata-kata Mahesa Jenar ternyata mempunyai akibat yang mengejutkan pula terhadap para pengawal. Dengan tak terduga sama sekali, pemimpin pengawal yang telah agak lanjut usia itu tiba-tiba meloncat ke samping Mahesa Jenar. Dengan penuh tanggung jawab ia berkata, "Jaka Soka, aku pun pernah mendengar kebesaran namamu. Dan sekarang aku sempat menyaksikan pula. Bahkan sekaligus aku dapat mengetahui betapa biadabnya Bajak Laut dari Nusa Kambangan ini. Karena itu, bagaimana aku berani berlagak di hadapanmu. Tetapi karena kali ini aku sedang dibebani oleh suatu tanggung jawab, maka bersama-sama perantau yang belum aku kenal ini, aku bersedia menjadi banten. Apa artinya sisa umurku yang tinggal beberapa tahun lagi, kalau dilumuri oleh suatu pengkhianatan akan tugas yang dibebankan di pundakku…."

"Cukup!" potong Jaka Soka. Tetapi suaranya terputus sampai sekian, karena getaran kemarahannya. Wajahnya menjadi semakin merah. Giginya gemeretak, sedangkan matanya seolah-olah memancarkan api, seperti perapian yang masih menyala-nyala. Apalagi ketika dilihatnya kesembilan pengawal yang lain pun tiba-tiba serentak berdiri dengan teguhnya menggenggam senjata masing-masing demikian eratnya. Seakan-akan teguhnya ingin mengatakan, bahwa gugurlah mereka dalam tugasnya dengan senjata di tangan.

Tetapi kembali terjadi hal yang sama sekali tak diduga-duga. Orang yang dianggapnya sebagai perantau tolol yang menumpang berjalan, bahkan ada di antara mereka yang memberikan beban dengan menyanggupinya untuk memberi upah sekedarnya itu, berkata dengan lantangnya kepada pemimpin pengawal itu. "Bapak…, Bapak telah lanjut usia. Apalagi orang yang dilawan bukan sembarang orang. Karena itu minggirlah. Biarlah aku yang berumur sebaya melawannya, untuk mewakili mereka yang berhati kecil, sekecil hati kelinci, sehingga kehilangan rasa kesetiakawanan mereka. Bahkan ada yang sampai hati menyalahkan gadis ini pula. Tetapi karena aku tidak sepantasnya mempergunakan keris Sigar Penjalin milik seorang sakti ini, baiklah keris ini aku titipkan kepadamu. Janganlah gadis ini diberi kesempatan untuk bunuh diri sebelum kita semua binasa."

Karena pengaruh perbawa kata-kata Mahesa Jenar itu, maka orang tua itu seolah-olah di luar sadarnya menerima keris Sigar Penjalin. Sementara itu Lawa Ijo rupanya benar-benar tak mau terlibat dalam persoalan ini. Karena itu ia bersikap sebagai seorang penonton saja, yang kemudian malahan perlahan-lahan duduk pada sebuah akar pohon.

Sedang Jaka Soka kini telah sampai pada puncak kemarahannya. Meskipun demikian ia masih ingat pada harga dirinya. Segera pedang kecilnya disarungkan ke dalam tongkat hitam manis, dan melemparkan tongkat itu kepada Lawa Ijo. Geramnya, "Lawa Ijo, tolong bawakan tongkatku ini," kata Jaka. Lalu katanya kepada Mahesa Jenar, "Setan. Kau berani meremehkan aku. Aku harap kau maju bersama-sama, supaya cepat selesai pekerjaanku. Membunuh kalian. Semua. Tak seorang pun akan aku sisakan."

Segera sesudah itu Jaka Soka bersiap untuk menghancur-lumatkan orang yang telah berani menghinanya. Sementara itu Mahesa Jenar pun telah bersiap pula. Sebab ia tahu benar bahwa lawannya itu adalah orang yang mendapat sebutan Ular Laut yang Ganas dari Nusa Kambangan.

Mereka yang menyaksikan adegan itu, hatinya berdegup, dipenuhi oleh bermacam-macam persoalan. Meskipun ada juga yang merasa tersentuh oleh sindiran Mahesa Jenar, bahwa tak seorang pun diantara mereka yang berani membela gadis yang sedang dalam kesulitan itu. Bahkan ada pula yang mengumpatinya, kecuali para pengawal yang merasa memikul tanggung jawab.

Tetapi tak seorang pun dari mereka yang menaruh setitik harapan kepada perantau yang tolol meskipun berani itu. Bahkan ada yang menganggap kelakuan Mahesa Jenar itu hanya akan menambah kemarahan Jaka Soka, sehingga akan mempercepat kematian mereka tanpa pertimbangan lagi.

Sedang gadis cantik itu sendiri memandang Mahesa Jenar sebagai orang yang aneh. Setelah menyaksikan Mahesa Jenar bersama-sama dengan para pengawal tak dapat memenangkan perkelahian melawan pemuda tampan yang ternyata bernama Jaka Soka itu, tiba-tiba sekarang ia, si perantau itu, ingin melawannya seorang diri. Tetapi, disamping perasaan itu, timbul pula suatu perasaan lain yang asing dalam diri gadis itu. Suatu perasaan dimana ia ingin mendapatkan perlindungan dari orang yang aneh itu lebih daripada yang lain-lain, juga lebih daripada para pengawal itu sendiri, meskipun ia tidak tahu apakah orang itu akan dapat melakukannya.

Sesaat kemudian, kembali terdengar Jaka Soka menggeram hebat. "Sebenarnya sayang lah tanganku ini dikotori oleh darah kelinci seperti tampangmu itu. Tetapi karena kau adalah kelinci yang paling tak tahu diri, maka terpaksa aku ingin menguliti tubuhmu."

Kata-kata itu benar-benar menyeramkan. Tetapi lebih-lebih lagi ketika orang-orang itu melihat tangan Ular Laut itu menjulur dengan dahsyatnya ke arah tulang-tulang iga Mahesa Jenar. Rupanya Jaka Soka yang seakan sedang gila dibakar oleh kemarahannya itu, ingin membunuh lawannya dengan pukulan yang pertama.

Mereka yang menyaksikan gerak Jaka Soka itu tersirat darahnya. Beberapa orang memejamkan matanya, sebab menurut dugaan mereka tulang-tulang iga perantau tolol itu segera akan rontok seluruhnya. Bahkan beberapa orang segera memegangi dada masing-masing, seolah-olah tulang iga merekalah yang akan lepas berderai-derai.

Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar telah benar-benar siap dan waspada. Sebab ia tahu bahwa lawannya bukanlah lawan biasa, tetapi ia adalah seorang pemuda yang mempunyai nama di kalangan aliran hitam.

Meskipun demikian ia kagum juga melihat kegesitan Ular Laut itu. Melihat serangan yang datang dengan dahsyatnya, segera Mahesa Jenar dengan cepatnya pula mengelak ke samping. Seterusnya ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Karena itu, ketika ia berhasil membebaskan diri dari serangan pertama Jaka Soka, segera ia membuka serangan pula. Sebuah serangan dengan kakinya menyambar perut lawannya. Tetapi Jaka Soka bukan anak kemarin sore. Ketika ia merasa bahwa serangannya yang pertama gagal, segera ia mengubah sikapnya dan dengan satu gerakan melingkar ia berhasil mengelakkan serangan Mahesa Jenar. Sebaliknya Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang berpengalaman. Melihat lawannya menghindar, cepat-cepat ia memotong arah dan tahu-tahu ia sudah berada di muka Jaka Soka kembali, sekaligus menyerang dengan tangkasnya ke arah leher lawannya. Jaka Soka menjadi terperanjat bukan buatan. Apalagi sebelumnya ia memandang orang itu sebagai seorang yang tak berarti meskipun mempunyai cukup keberanian. Dengan demikian kewaspadaannya jadi berkurang. Karena itu, ketika dengan tak diduganya sama sekali lawannya itu dapat bergerak dengan lincahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri. Mau tidak mau ia harus melawan serangan itu dengan sebuah pertahanan yang rapat, kalau ia tidak mau binasa.

Karena itu terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Mahesa Jenar telah mempergunakan sebagian besar tenaganya, sedangkan Jaka Soka pun telah mengerahkan kekuatannya pula. Akibatnya adalah hebat sekali. Tubuh Mahesa Jenar bergetar hebat dan ia terdorong surut kebelakang. Jaka Soka pun terlempar beberapa depa, dan kemudian meski sudah berusaha, ia tak berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya. Sehingga ia jatuh beberapa kali berguling, barulah ia berhasil meloncat tegak kembali.

Mengalami hal ini, dada Jaka Soka serasa akan pecah. Darahnya mendidih dan menggelegak sampai kepala. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa lawannya, yang dalam pandangannya semula tidaklah lebih dari seekor kelinci yang tidak tahu diri itu, ternyata memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya. Karena itu, matanya menjadi semakin menyala. Tahulah Jaka Soka sekarang, kenapa tadi ia sama sekali tidak berhasil membunuh seorang pun dari para pengawal yang mengeroyoknya. Rupanya orang ini tidak saja kebetulan menubruk kawan-kawannya, melemparnya dengan pasir pada saat tepat tongkatnya hampir menyambar korban, kemudian jatuh bergulingan menimpa beberapa orang yang dadanya hampir rontok oleh tongkatnya. Hal itu pastilah disengaja untuk menyelamatkan para pengawal itu. Sebab ternyata bahwa orang itu mempunyai kepandaian yang luar biasa.

Sedang Mahesa Jenar sendiri pun terkejut pula mengalami benturan itu. Ternyata tenaga Jaka Soka pun dahsyat, sehingga ia tergetar surut. Dalam hal ini Mahesa Jenar sadar, bahwa Jaka Soka terlalu menganggapnya tak berarti, sehingga apabila Jaka Soka sungguh-sungguh menggempurnya dengan segenap kekuatan dan ilmunya, maka keadaannya pasti akan lain. Bahkan mungkin keadaannya akan berimbang.

Sesaat kemudian, baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar telah mempersiapkan diri kembali untuk memulai perkelahian. Mereka berdua sadar, bahwa kekuatan mereka tidak terpaut banyak. Maka kunci kemenangan dari pertempuran ini terletak dalam kepandaian serta keprigelan mereka membawakan diri dalam keadaan-keadaan yang genting.

Sebentar kemudian perkelahian itu segera mulai kembali dengan sengitnya. Cara berkelahi Jaka Soka itu benar-benar seperti ular. Melingkar, melilit lawannya dan mematuk dengan jari-jarinya demikian dahsyatnya. Geraknya cepat dan licin tak terduga-duga. Sedangkan Mahesa Jenar bersikap lebih tenang. Ia bertempur seperti seekor banteng yang teguh, kokoh dan tangguh. Ia tidak begitu banyak bergerak, tetapi demikian tubuhnya berkisar, menyambarlah udara maut berputar-putar.

Maka berlangsunglah perkelahian itu demikian dahsyatnya. Mereka bergerak sambar menyambar diantara pepohonan hutan, sehingga terdengarlah suara berderak batang-batang patah kena sambaran tangan mereka yang keras bagaikan besi.

Mereka yang menyaksikan pertempuran itu telah berlari-lari berpencaran. Sedang dalam otak mereka berkecamuk seribu satu pertanyaan mengenai diri perantau aneh itu. Setelah mereka menyaksikan betapa hebat tenaganya, serta betapa dahsyat caranya bertempur, mereka menjadi kebingungan.

Adanya Jaka Soka diantara mereka, serta munculnya Lawa Ijo dengan tiba-tiba itu saja, telah cukup memeningkan kepala mereka. Apalagi keputusan Jaka Soka untuk membunuh mereka semua, karena mereka menyaksikan perbuatannya, menculik seorang gadis. Dan sekarang, tiba-tiba di hadapan mereka muncul seorang lagi, yang semula mereka anggap sama sekali tak berarti, tetapi ternyata dapat mengimbangi ketangkasan Jaka Soka. Karena itu, pastilah akan muncul pula sebuah nama diantara mereka yang akan mengejutkan pula. Nama orang yang mereka sangka perantau tolol itu.

Di saat yang sedemikian tegangnya, dimana berputar-putar udara yang bernafaskan maut, pecahlah fajar di ujung Timur. Cahayanya yang kuning kemerah-merahan melimpah ke persada bumi yang dipenuhi oleh segala macam pertentangan. Pertentangan-pertentangan yang mudah diselesaikan, pertentangan-pertentangan yang sulit diselesaikan, bahkan kadang-kadang terdapat pertentangan-pertentangan yang tak mungkin dipecahkan.

Meskipun cahaya kemerahan itu masih begitu lemah untuk dapat menerangi pedalaman hutan yang lebat, tetapi berkas-berkas cahayanya yang menerobos dedaunan, sedikit banyak telah dapat pula menyibak gelapnya malam, dan mengurangi kepekatan rimba, menggantikan cahaya perapian yang telah terlalu lama padam.

Maka makin lama semakin tampak jelaslah dua bayangan yang sedang mati-matian mengadu tenaga itu.

Sementara itu Lawa Ijo telah mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Di dalam hati ia memuji juga keuletan Jaka Soka yang pada akhir tahun ini akan bersama-sama mengadakan semacam pertandingan dengan beberapa orang lainnya, termasuk dirinya. Diam-diam ia merasa mendapat keuntungan dengan kejadian itu. Sebab dengan demikian ia dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan Jaka Soka, yang pada akhir tahun ini pasti akan menjadi salah seorang lawannya yang berat. Karena itu sejak pertempuran berkobar, perhatiannya terikat kepada setiap gerak Jaka Soka.

Tetapi, setelah pertempuran itu berlangsung agak lama, Lawa Ijo menangkap gerak-gerak yang menarik perhatiannya dari lawan Jaka Soka. Maka segera perhatiannya beralih. Gerak orang ini demikian tenang, kokoh dan tangguh. Pastilah ia bukan orang sembarangan. Sesaat kemudian mendadak Lawa Ijo terkejut sekali sampai ia meloncat selangkah ke depan. Matanya dengan tajamnya mengawasi setiap gerak Mahesa Jenar sampai matanya seolah-olah mau meloncat dari kepalanya.

Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu pada gerak-gerak Mahesa Jenar. Gerakan-gerakan yang pernah dilihatnya, bahkan pernah dialami kedahsyatannya.