webnovel

Chapter 4 : Sekutu Dan Musuh

15 menit berlalu sejak aku dan Bagas memulai pencarian kucing itu. Mengamati dirinya, ia membuahkan sebuah pribadi "rata-rata" yang menyerupai halnya tokoh cerita. Sosok ramah yang selalu mementingkan makhluk lain, perilaku konyol, hingga hati tulus namun lugu yang ingin berbuat kebaikan pada dunia kejam ini.

Meski begitu, ia juga mengingatkanku kepada seseorang yang telah lama meninggalkan alam ini… Tiba pada sebuah komplek air mancur, Bagas memintaku untuk beristirahat sejenak.

"Haah… Haah… Haah… Dika… Tidak capek??"

"Tidak juga."

Mengamati kesepian area air mancur, aku menemukan sebuah sebuah mesin minuman yang terpajang pada sisi timur komplek ini. Kurasa tergantung waktu, namun mesin itu tidak akan laris ditempatkan di sini.

"Ah! Dika!"

"Hm?"

"Nitip teh!"

Mengacungkan jempol, Bagas rupanya mengetahui motif-ku mendekati mesin minuman itu. Mengangguk, aku membuka dompet untuk menyumbang beberapa lembar dari uangku.

"…"

"Danke… Ini uangnya, Dika."

"Tidak perlu."

"…Beneran?? Y-Ya sudah, makasih lagi!"

Menangkap botol teh yang telah kulempar, Bagas segera meneguknya hingga tersisa separuh. Duduk dengannya pada bangku taman, aku membuka kopi susu milikku.

"Lagipula, ada yang pernah bilang kalau kamu itu baku banget kata-katanya, Dika?"

"…Menarik."

"K-Kenapa?"

"Tidak… Hanya saja seseorang pernah mengatakan kata-kata itu padaku. Kurasa wajar, mengingat diriku yang belum terbiasa dengan kehidupan ini."

"…Kehidupan seperti ini? Emang sebelum di Kusumajaya, Dika ngapain?"

"Hmm… Sejujurnya, aku seringkali berpindah tempat tinggal. Satu-satunya mentor yang menjadi guruku telah tiada, sehingga aku terpaksa melanjutkan hidupku pada tempat ini. Jadi benar, ini adalah hari pertamaku bersekolah."

"Hah… Beneran?"

"Selain itu, aku sebelumnya tidak memiliki waktu untuk bersekolah… Namun sepertinya itu adalah latar belakang seorang siswa yang kamu tidak dengar setiap hari."

"B-Benar juga…"

"Hm? Apakah kamu memercayai perkataanku?"

"Yah… Melihat dirimu, aku ada perasaan Dika gak bakal cocok untuk berbohong beginian… Eh? Jangan-jangan itu bohongan??"

"Tidak tidak… Namun kamu benar juga. Aku tidak dapat cocok untuk berbohong."

*Crack!*

"—!!"

"…Apa kamu dapat mendengarnya?"

Bunyi ranting patah menarik perhatian kita menuju semak-semak yang berdesir tanpa keberadaan angin itu. Sesaat setelah Bagas berdiri untuk memeriksa suara, seekor kucing berbulu abu-abu dapat terlihat meninggalkan dedaunan semak tersebut. Melihat ekspresi Bagas, kucing itu memutuskan untuk duduk seraya memiringkan kepala, seakan menyuarakan kebingungan padanya.

"Meow?"

"Akhirnya ketemu… Tunggu aku, Dika!"

"…Silahkan."

Segera mendekati dan mengangkat kucing bingung itu, Bagas kemudian berlari menuju arah gerbang utama sekolah, meninggalkanku seorang diri. Pada saat inilah, aku menemukan keunikan kedua yang dimiliki olehnya… Menyala.

"Haah… Haah… Maaf… Aku lama, Dika…"

"…Tidak masalah. Bagaimana jika sekarang kita mengambil makanan? Lagipula, sepertinya itu adalah salah satu tujuan utama dari istirahat ini."

"Boleh boleh! Ke kantin aja kalau begitu… Hm? Apaan itu, Dika?"

"…Ini?"

Bagas menunjuk kepada sebuah botol putih kecil yang tergenggam di dalam kepalan tanganku. Memasukannya ke dalam saku, aku berjalan menuju bangunan utama sekolah seraya menjawab pertanyaannya.

"Hanya vitamin sebelum makan."

"Ish… Seperti orang tua saja kamu, Dika."

*Tap* *Tap* *Tap*

"—Aku serius menyukaimu, Sylvie!"

"Ha—!!"

Segera menutup mulut Bagas, aku menarik dirinya menuju perlindungan dari dinding rumah kaca sekolah. Kurasa tidak perlu dikatakan lagi bahwa alasan atas perlakuan ini adalah untuk menyembunyikan diri dari adegan penembakan cinta di hadapan kita. Mengintip dari sela-sela dinding, aku menemukan seorang siswa laki-laki yang sedang berlutut di hadapan Sylvie.

(Maka oleh karena itu, aku tidak dapat meninggalkan mereka sendirian)

"…Perempuan itu adalah pelayan pribadiku."

"Hh—!"

Kembali menutup mulut Bagas, aku kini mengangkat jari telunjukku padanya dengan niat untuk menenangkannya. Mengharap komentar darinya, aku hanya dipertemukan dengan keheningan berlatar suara air mancur. Sepertinya ia akhirnya memutuskan untuk mendengarkan mereka.

"H-Hwehhh?!!"

Tidak diherankan, Sylvie segera terkejut mendengar pernyataan lelaki itu. Selain itu, aku juga menemukan lencana emas dengan motif yang serupa dengan milik Bagas pada almamaternya.

"…Siapakah dia?"

"Takeshi Kaoru, 3C… CEO dari Hanashima, yang jasa personil itu lho…"

(Oh?)

Seorang siswa yang kebetulan menjadi seorang pengusaha dan pemilik suatu perusahaan? Kurasa generasi muda pada negeri ini telah berubah drastis semenjak aku terakhir mengamatinya. Mengolah informasi itu, aku dapat menyimpulkan suatu hipotesis… Seorang pekerja keras, maupun perusahaan yang mengikuti sistem keturunan. Sekali lagi, pengalaman rupanya telah membuatku menjadi paranoid.

"—Kian hari aku memperhatikanmu, aku semakin jatuh cinta denganmu… Pelayan lain juga bilang kalau Sylvie sedang tidak berpacaran dengan siapa-siapa…"

"T-Tidak! T-T-Tapi…"

"…Apakah ada alasan Sylvie tidak bisa berpacaran denganku?"

"M-Maaf… S-Saya tidak mengetahui Tuan!"

Membungkukkan badannya, Sylvie dapat terlihat dengan jelas menolak pernyataan cinta Kaoru. Mengamatinya, aku dapat menemukan tubuh yang bergemetar, tidak mengetahui jalan keluar dari situasi ini.

"—Setelah pacaran kita malah bisa kenalan lho… Kalau ada yang kamu kurang suka sama aku tolong bilang saja, oke? Gak usah disimpan dalam-dalam! Aku tidak suka begitu! Atau… Jangan-jangan Sylvie sedang menyukai seseorang?"

"…"

Sepertinya bahkan pasien sebuah rumah sakit jiwa dapat menemukan berbagai bendera merah yang tampak dengan jelas di dalam adegan ini. Selain itu, sepertinya Bagas juga mulai tidak menyukai arah dari situasi ini,

"M-Meski tuan s-suka saya, s-saya tidak tahu ingin bilang a-apa…"

"K-Kalau begitu, kenapa gak coba sebentar?? Aku serius lho padamu Sylvie… Siapa tahu perasaannya nanti malah ganti…"

"…Sialan."

"M-Maaf… S-Saya tidak bisa pacaran dengan tuan! Sa… Saya juga tidak melihat gunanya mencoba untuk p-pacaran!"

"Aku setuju denganmu, ini menjadi buruk… Kepung dia."

"Hm."

Tanpa adanya penjelasan lebih lanjut, rupanya Bagas telah mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan Sylvie dari lelaki itu. Dengan ini, aku dapat memastikan keunikan ketiga yang Bagas miliki… Kooperatif dan perseptif.

"—Kenapa harus menolak!? Enak kan jadi cewek cantik… Diincar lelaki terus! Merasa paling cantik jadi derajatnya tinggi gitu, huh?!! Bikin kita jatuh cinta, terus matahin begitu saja layaknya permainan!!"

"…"

"OI!"

"!!!"

"…Tch. Bagas! Keparat kau, nguping kita!!"

"Aku jijik dengerin kamu maksa cewek jadi pacarmu! Terima tolakan layaknya cowok!!"

"—Tahu apa kamu!? Gimana dengan Lu—"

"Diam!! Ini tentang kau! Bukan aku! Kalau dia mainin hatimu, kenapa kamu malah cinta dia!!?"

*Clap* *Clap* *Clap*

"…Kamu mendengarnya. Sepertinya sudah cukup, bukankah begitu? Takeshi Kaoru?"

"S-Siapa kamu!?"

"K-Kak D-Dika!"

Menampakkan diri di belakang Kaoru, aku memberikan mereka bertiga sebuah ronde tepuk tangan atas pertunjukkan hari ini. Menemukan diriku, Sylvie segera berlari dan menyembunyikan dirinya di balik punggungku. Kurasa ini bukanlah waktu yang tepat, namun aku dapat merasakan genggaman yang mulai mencabik kulitku.

"—Seperti yang dapat engkau lihat, aku adalah tuan dari Sylvie… Segala masalah yang ia miliki… Otomatis menjadi masalahku juga. Kini aku menyarankanmu untuk mundur."

"…Tch. Jadi kamu, huh? Dasar kalian semua!!"

Rupanya menemukan pintu keluar lain dari rumah kaca ini, aku mulai berpikir bahwa blokade Kaoru ini hanya membuahkan sedikit hasil. Mengabaikan wajah yang berusaha menutupi rasa malu, aku dapat merasakan bahwa masalah ini tidak akan selesai sekarang.

"…"

"D-Dika… Ninggalin dia begitu saja?"

"Tidak. Aku akan memikirkan sesuatu."

(Kita memiliki urusan yang lebih penting di sini)

"…K-Kak Dika…"

"H-Hey! Kamu gak apa-apa ta??"

Merasakan genggaman yang melemah, aku segera memutar tubuhku untuk menemukan Sylvie kini terlihat lelah dan pucat.

Merasakan genggaman yang melemah, aku segera membalikkan badanku untuk menemukan Sylvie kini terlihat lelah dan pucat. Melihat tubuh yang bergoyah itu segera membuatku menyandarkan Sylvie padaku. Pada saat yang sama, kaki bergemetar itu segera menyerahkan dirinya.

"Dika!"

"…Temani aku."

Apa saja yang seharusnya siswa baru sepertiku alami ketika ia pertama kali bersekolah? Mungkin sebuah sambutan ramah menjadi salah satu pilihan terbaik baginya. Rupanya pada kasusku hari ini, komplikasi segera menyusul orientasiku. Mengamatinya sejak pernyataan cinta Kaoru tadi membuatku berkata…

"Psikogenik."

"…A-Apa itu?"

"Sylvie tidak dapat menahan stres dan lelah menghadapi Kaoru."

Mengamati jam dinding, aku menemukan waktu telah menunjuk pukul 11:26. Rupanya keberuntungan membuat kita dapat membawa Sylvie ke sini tanpa sepengetahuan seorang pun.

*Tit!* *Tit!*

"37,7… Dia butuh istirahat."

"Aku tahu."

Mengamati tubuh Sylvie yang terbaring pada kasur klinik, aku dapat menemukan sebuah tangan sedang meletakkan handuk pada keningnya.

"T-Tapi kamu gak capek? Gendong dia sampai sini?"

"Tidak juga."

Duduk pada kursi di sisi kasur, Bagas memberikan Sylvie kompresan serta termometer untuk memeriksa suhunya. Sebesar keinginan diriku untuk merawatnya seorang diri, kekhawatiran Bagas yang melampaui diriku membuatku hanya bertugas mengawasi ruangan klinik. Bagaimana pun, aku dapat mengangguk mengetahui Bagas menyimpan rasa menolong bahkan kepada Sylvie, seseorang yang asing baginya.

"Apa menurutmu si… S-Sylvie, pernah ngalamin ini?"

"Ekspresi syok itu tidak menunjukkan suatu repetisi. Tentu, jika apa yang Kaoru katakan itu benar, Sylvie tidak mengetahui satu pun pernyataan miliknya."

"Hmm…"

"…Selain itu, seseorang yang baru saja mendapatkan pernyataan cinta untuk pertama kalinya tentunya akan berbeda dengan yang terbiasa dengannya. Cukup?"

"Yah… Cukuplah."

"Maaf. Aku hanya sedikit kesal."

Keheningan yang tercampur dengan suasana canggung dan tegang mulai merasuki klinik ini. Tidak mengherankan, mengingat kita sebagai manusia adalah makhluk yang penuh atas berbagai emosi—khususnya setelah mengalami tragedi seperti ini.

"…"

"O-Omong-omong, Dika."

"…Hm?"

Berdiri dari kursi hitam itu, Bagas dengan perlahan menggerakkan kakinya menujuku—seraya merentangkan kedua tangannya layaknya mayat hidup. Setelah tiba, ia segera menggenggam kedua bahuku.

"Dika."

"…Benar."

"Aku akan bertanya kepadamu…"

"Silahkan."

"A… Apa hubunganmu… Dengan pelayan bernama S… Sylvie ini?"

Mengamati Sylvie yang tertunjuk oleh jari telunjuk Bagas, aku tidak dapat membantu menahan kepalaku yang mulai memiringkan dirinya.

"…Pelayan pribadiku?"

"A-Aku tahu kalian anak kelas A bisa dapat pelayan pribadi… Tapi…"

"…Tapi?"

"K-Kok pelayanmu cantik banget Dika?? Pantesan lelaki di sini pada naksir dia bahkan sebelum kamu sekolah di sini!"

"Tunggu… Sebelum aku tiba di sini?"

"Iya! Sejak awal semester lho... Apalagi ditambah kepolosan dan baik hatinya itu, meleleh semuanya!"

"…Begitu. Sepertinya para hiu telah menjadikan Sylvie sebagai mangsa…"

"…"

"…Itu saja."

"T-Tapi kan..."

"Jangan khawatir… Aku akan menyelesaikan masalah ini. Untuk sekarang…"

Mengambil kesempatan untuk menggapai dan menurunkan kedua tangan Bagas, aku kini mengulurkan tangan kananku padanya, seperti halnya tadi.

"…Ngapain?"

"Mari kita sepakat untuk berteman, Bagas Galang Saputra."

"Huh? Gak usah! Semenjak tadi, aku sudah nganggap kamu jadi temanku, Dika!"

"Itu bagus… Tidak masalah, ulurkan tanganmu."

"O-Oke oke!"

"…"

"…Sekarang apa?"

"Aku akan mengunjungi kepala sekolah."

"Pak Natsuke?!"

"…Ada masalah?"

"Yah… Bisa dibilang…"

"…"

(Apa yang telah engkau tanamkan kepada mereka, Kochi?)

"Aku akan mengawasinya setelah kembali. Sementara Bagas dapat melanjutkan istirahat yang kamu tunggu-tunggu."

"Ya sudah… Duluan, Dika."

"...Bagas."

"Paan?"

"Terima kasih."

"Ya ya…"

*Jegleg*

"…"

Mengamati bayangan manusia yang telah meninggalkan pintu klinik, aku berjalan menuju sisi Sylvie untuk memeriksa kondisinya. Khawatir akan suara keras Bagas yang dapat membangunkannya, aku menemukan dirinya masih tertidur dengan damai. Tanpa kesadaran, rupanya aku menemukan tanganku mengusap rambut hitam yang menutup kening itu dengan sendirinya.

(Waktunya pembalasan)

Melangkah keluar dari klinik, aku tersambut oleh koridor yang jauh lebih ramai daripada sebelumnya. Aku menghitung diri kita beruntung dengan kondisi koridor terbengkalai tadi. Mengarah ke timur, kini aku bergegas menuju kantor Kochi.

~~~

"…K-Kakak…"