1 Prolog

Di tengah badai yang mencekam, seekor monster setinggi dua puluh kaki mengamuk dan berusaha mengehancurkan segel berlapis yang mengurungnya dalam sinar biru berbentuk kurungan jeruji.

Aumannya menggema di seluruh penjuru pulau dan melongsorkan gunung-gunung salju di sekitarnya. Setiap kali ia berusaha menerobos kurungan tersebut maka ia akan mendapat luka sebelum akhirnya terpental ke belakang.

Mata putih besarnya menatap benci pada seorang pria tua yang berdiri beberapa meter di depan kakinya. Tubuh pria tersebut diselubungi sinar berwarna serupa dengan kurungan, mata kiri pria itu mengatup dan mengalirkan darah yang merembes ke pipinya.

"Mengendalikan atau dikendalikan, pilihan ada di tanganmu." Perlahan pria itu mengatupkan kedua tangannya, membuat mata putih yang melihatnya melebar.

Dengan cepat monster tersebut menunjukkan kepanikan yang membuatnya kembali berusaha menerobos keluar tapi sia-sia.

"Tenanglah, Seimon!" ucap pria berambut panjang seputih salju itu sedetik sebelum kedua tangannya mengatup sempurna. Entah apa yang ia lakukan, mendadak monster di depannya menyusut bersama kurungannya. Saat menyusut monster itu tidak henti-hentinya menatap benci sampai wujudnya berubah menjadi seorang pemuda berambut merah yang tubuhnya dipenuhi luka. Selama beberapa detik pemuda itu diselimuti sinar biru dari kurungan, dilihat dari dekat sinar tersebut membentuk pola abstrak yang secara perlahan pudar dan menghilang bersamaan dengan semua badai.

"Tugasku sudah selesai."

Ukhuk!

Pria berambut putih itu memuntahkan banyak sekali darah dan ambruk dengan napas tersengal-sengal, sinar biru yang menyelubunginya sejak tadi pun sudah menghilang. "Aku ... ahk!" Lagi-lagi Ia memuntahkan darah.

Setelah diam beberapa detik, ia mulai berdiri dan melihat pemuda yang terbaring tidak sadarkan diri beberapa meter di depannya. Dengan tenaga terakhir yang tersisa ia mulai melangkah dan berjalan zig-zag menghampiri pemuda tersebut.

Bayangannya menerpa wajah pemuda itu saat ia berdiri di dekatnya. "Naara ...." Ia kembali berlutut seraya mengeluarkan kapsul merah dan memasukkannya ke mulut pemuda yang ia panggil Naara. "Aku hanya bisa membantumu sampai di sini, setelah kematianku kau akan hidup sebagai buronan. Kalau saja kau bisa melupakan ambisi balas dendammu terhadap ayahmu, ini tidak akan terjadi tapi sudahlah. Suatu hari nanti kau akan tau betapa aku sangat menyayangimu. Naara, kau adalah ...." Ia jatuh tersungkur. "Murid ... favoritku ...." Matanya terpejam dan ia mengembuskan napas terakhir dengan wajah tersenyum. Angin berhembus menurunkan salju secara perlahan dan menutup rapat kisah yang terjadi hari ini dan akan kembali muncul setelah waktu yang ditentukan itu tiba.

avataravatar
Next chapter