3 Ch. 2: Gadis Rese

Dua bocah laki-laki tengah berlari di antara sela-sela pohon muda.

Jika diperhatikan bocah itu memiliki selisih usia antara empat sampai lima tahun, bocah yang lebih muda memiliki rambut berwarna merah dan yang tua memiliki rambut berwarna putih.

"Hup da!"

Si bocah muda melompat ke depan sambil mengayunkan pedang kayu miliknya, menapik ranting-ranting kecil yang dilempar menyebar oleh bocah yang lebih tua.

"Oh wow haha. Semakin hari gerakanmu semakin baik saja. Naara."

"Tapi tetap saja aku belum bisa menyamai Kakak," ucap si bocah muda sambil memasang wajah lesu.

Nampaknya mereka berdua bersaudara. Si kakak pasti lebih terlatih daripada

si adik.

Si kakak menatap adiknya dengan senyuman dan tawaan.

"Semua akan terjadi pada waktunya. Sabar sedikit bisakan?"

"Tapi aku ingin kuat sepertimu secepatnya."

Ketika melihat adiknya mengatakan itu sambil membuang pandangan ke bawah dengan wajah cemberut. Si kakak tiba-tiba tertawa sepenuh hati.

Mendengar tawaan sang kakak, Naara mengangkat pandangan dan menatap dengan mata lebar.

"Kenapa kau tertawa, Kak Isura?"

"Kau tampak lucu dengan ekspresi itu!" ucap Isura tertawa geli.

Naara semakin mencemberutkan wajahnya seraya memalingkan pandangannya dari Isura.

"Maaf!" Isura menghela napasnya lalu tersenyum dan berkata, "Jangan marah begitu. Aku janji, besok aku akan mengajarimu teknik baru."

Naara kembali menatap kakaknya. "Benarkah?"

"Umm."

Segera pipi bocah itu mengembang dan kali ini mereka tertawa bersama walau tidak ada sesuatu yang begitu lucu, mereka berdua tertawa tanpa tahu alasannya.

Akan tetapi, mendadak latar pepohonan muda tergantikan oleh malam badai yang mencekam, rumput hijau yang menjadi alas mereka kini menjadi arus sungai yang ganas.

Sekarang Naara sedang berdiri di atas bongkahan batu besar yang ada di tengah sungai sambil menatap dan memanggil-manggil Isura yang terdiam di tengah arus.

"Kak Isura! Jangan pergi! Aku mohon. Kakak!!" Tubuhnya tersentak kaget ketika terpaan gelombang menghilangkan sosok Isura dari pandangannya.

Byurrrr

Ia menceburkan diri dan berenang menuju tempat di mana ia terakhir kali melihat kakaknya.

"Kakak kau di mana? Jangan tinggalkan aku sendiri. Kakak ...."

Badai malam itu sama sekali tidak menaruh belas kasih untuknya. Sebuah gelombang tinggi terbentuk dan menghantam tubuhnya.

Beruntung ia masih sempat memeluk sebuah batu hingga ia tidak terseret arus.

"Hiks... hiks... kakak....

hiks.. k-kakak. KAKAK!"

***

Matanya terbuka secara mengejutkan. "Lagi-lagi," gumamnya lalu segera bangun.

Tangan kanannya memegangi kepalanya yang pening sementara tangan kirinya bertumpu di tanah.

"Jadi kau sudah sadar. Aku sedikit khawatir tadi."

Naara menoleh ke arah sumber suara. "Siapa kau?"

"Ah, kau lupa. Ini aku, gadis yang tadi kautolong."

"Menolongmu?"

Mendengar ucapan gadis itu, Naara menyipitkan matanya dan menyimpulkan bahwa sepertinya gadis tersebut telah salah mengasumsikan pertarungan tadi.

Gadis itu mungkin  berpikir bahwa Naara telah menyelamatkannya dari kejaran para anoa tadi, padahal yang sebenarnya adalah, Naara bertarung untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Sekarang ia mengerti maksud kata 'terima kasih' yang diucapkan gadis itu sebelumnya.

"Oh iya, bagaimana keadaanmu sekarang? Tadi kenapa kau

bisa pingsan?" Gadis itu mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Naara.

"Itu ...." Naara memalingkan wajahnya.

Ia mengingat bahwa selama satu minggu ini ia belum pernah tidur sama sekali, mungkin itulah yang menjadi alasan kenapa dia pingsan.

"Hey kau mau ke mana?" tanya si gadis ketika Naara mengambil pedang di dekatnya lalu mulai berdiri.

"Hey tunggu dulu, siapa namamu?" tanya gadis itu lagi saat Naara telah berdiri.

"Kau tidak perlu tau."

Gadis tersebut menengadah, menatap Naara untuk beberapa detik kemudian menunduk seraya berkata, "Bawalah aku bersamamu."

"..."

"Aku terlalu lemah hingga aku tidak bisa bebas ke mana saja. Aku ingin bebas berjalan ke mana pun tanpa harus merasa takut."

"Lalu?"

Gadis itu mengangkat kepalanya, menatap Naara sekali lagi, berdiri dan berkata, "Aku mohon, jadikan aku muridmu," ucapnya lalu membungkuk hormat.

"Murid?" Pikiran Naara melayang ke masa lalu ketika ia masih menjadi murid seseorang. Kala itu ia sangat dekat dengan gurunya. Namun saat ia mengingat kembali bagaimana gurunya pernah beberapa kali mencoba untuk membunuhnya, ia mulai merasa jengkel.

"Lupakan saja," ucapnya mengambil langkah menjauh.

"Tapi aku ini sangat pandai dan cepat belajar. Ayolah ... hey... ayolah aku mohon ..." Gadis itu merengek sambil terus mengekor, tapi tubuhnya tiba-tiba dibuat beku oleh ujung pedang yang menyentuh lehernya.

"Aku tidak ingin membunuhmu. Jadi menjauhlah," ucap Naara dengan ekspresi yang tidak kalah dingin dengan ujung pedangnya namun hal tak terduga terjadi, bukannya merasa takut gadis itu justru tersenyum dan mengatakan, "Kau tidak akan bisa membunuhku, tapi aku bisa membunuhmu!"

Naara menautkan kedua alisnya.

"Aku tidak bohong." Gadis itu meyakinkan.

Ekspresi Naara tidak berubah sampai tiga detik kemdian ia menarik pedangnya lalu berbalik dan berjalan menjauh tanpa mengatakan apa-apa.

"Aku beri kau kesempatan terakhir untuk bekata ya!"

Naara tidak menggubris.

Tatapan gadis itu menajam. Ia mengeluarkan sebuah boneka dari ransel kecilnya. Jika dilihat secara seksama boneka itu terbuat dari batang-batang rumput.

"Kau memaksaku!" Bertepatan dengan ucapannya, Naara berhenti berjalan.

"Uhkk!" Naara tiba-tiba merasa sakit di dadanya, seolah sedang tertusuk sesuatu.

"Aku sudah bilang 'kan?" ucap gadis itu dengan tangan kanan memegang sumpit bambu yang ditancapkan ke dada kiri boneka.

"Bagaimana?! Mau berubah pikiran?"

Dalam keheningan angin, Naara tersenyum sinis, menghilang dan ....

"Uhk." Gadis itu mendesah ketika pedang dengan cepat menusuk titik jantungnya hingga menembus keluar punggungnya.

"Berakhir sudah⁸."

"Apa kau yakin?" Gadis itu menyeringai.

"Apa?!"

Dengan seringaiannya gadis itu meminta Naara untuk mencabut pedangnya. Dia menjelaskan bahwa ia adalah orang yang tidak bisa mati.

Dia juga menuturkan bahwa ia punya keahlian untuk membuat orang merasakan hal yang sama dengan media apapun yang ia inginkan.

Ia menyebutnya tehknik satu rasa. Tehknik ini hanya bisa dilakukan jika darah pengguna digabungkan dengan darah korban.

Pengguna akan memilih media apapun yang ia inginkan sebagai wadah darah itu dan membuat korban merasakan hal yang sama dengan media tersesbut.

"Sebenarnya siapa kau?!"

Pertanyaan dingin yang dilontarkan Naara seketika mengubah ekspresi gadis itu menjadi ekspresi kebingungan.

"I-itu, aku ... aku ... namaku Niin, yah begitulah," ucapnya meragukan.

Naara yang sudah tidak merasakan sakit di dadanya karna gadis itu memang sudah melepas sumpit dari boneka itu, menaruh curiga.

"Siapa kau? Mungkinkah ...." Naara menjeda kalimatnya sedangkan gadis bernama Niin itu terlihat tegang.

"Apa dia tahu?" Niin membatin.

Naara tidak berekspresi, ia hanya terdiam sebelum akhirnya ia mencabut pedangnya dan berbalik tanpa mengatakan apapun.

Niin sedikit meringis  memegangi dadanya yang bersimbah darah  dan seperti sebuah sihir, beberapa detik kemudian darah itu mengering dan menghilang dari seluruh permukaan gaun biru aqua selutut yang ia kenakan. Setelah proses itu berakhir ia segera menyusul Naara.

"Hey, tunggu!" Ia berlari. "Jadi bagaimana? Apa aku diterima?" tanyanya setelah berjalan beriringan tapi Naara tidak berkata apa-apa.

"Apa aku boleh menganggap diam itu sebagai ya?" Kali ini ia bertanya sambil berjalan mundur di depan Naara tapi lagi-lagi tidak ada respon dan karena diam artinya yah, ia tersenyum lantas mengangkat satu kepalan tangannya ke udara. "Baiklah sudah diputuskan! Mulai hari ini kita adalah guru dan murid!" ucapnya sangat bersemangat.

***

Satu bulan telah berlalu, kehadiran Niin benar-benar membuat Naara frustrasi dan hilang akal. Selalu ada keadaan di mana ia benar-benar ingin mencincang gadis itu sampai jadi potongan sate. Misalnya saja saat ini, Niin menghilangkan Naarabo (nama boneka rumput yang punya satu rasa dengan Naara)

"Gu-guru, ma-maafkan aku, aku tidak sengaja, a-aku akan mencarinya." Tubuh Niin gemetaran, ia mundur secara perlahan saat Naara terus memajuinya dengan ekspresi dingin yang mengintimidasi.

"Temukan atau kakimu kupotong dan kuberikan pada kambing," ucap Naara sangat dingin.

"Ta-tapi guru, ka-kambing tidak makan daging."

Sedetik setelah ucapan Niin selesai, mata Naara menunjukkan kilau tajam seperti kilau pedang yang baru saja diasah, membuat Niin menelan paksa ludahnya. "Ba-baik!"

Tanpa menunda lagi, Niin segera memutar tubuh dan memulai pencariannya dengan menyusuri kembali jalan-jalan yang sudah ia lewati sebelumnya.

Waktu terus berlalu sampai tak terasa matahari semakin tinggi dan semakin panas namun Niin belum juga menemukan Naarabo, ia terus berjalan menyusuri jalan setapak di bawah bukit yang sebelumnya ia lewati tapi percuma saja, ia sudah bolak-balik berkali-kali namun Naarabo tidak kunjung ia temukan.

Karena merasa sangat lelah, ia menepi ke bawah sebuah pohon dan duduk di sana, sejenak ia berpikir untuk melarikan diri saja tapi saat mengingat bagaimana Naara, mustahil sekali kalau dia akan lolos, ditambah lagi ia juga harus melarikan diri dari orang-orang yang masih memburunya saat ini.

Kenapa hidupku begini.

Ia menatap langit biru bersih yang membentang luas di atas, ia merasa hidup sangat tidak adil. Apakah sepanjang usianya dia akan terus hidup dalam pelarian, ia hanya ingin hidup damai, apa itu sulit?

Ia menghembuskan napas berat lalu memaksa kakinya untuk berdiri dan melanjutkan pencaria n.

Di lain tempat, di atas sebuah pohon, Naara sudah kesal setengah mati karena merasa kepanasan. Meskipun sudah di naungi oleh bayangan daun-daun pohon yang dalam kondisi wajar seharusnya bisa membuat sejuk tapi itu tidak berguna. Ia merasa kulitnya akan terbakar, dia yakin semua ada sangkut pautnya dengan boneka yang dibuat gadis sialan itu. Sumpah demi apa, rasanya dia ingin mengamuk.

**

Kembali ke Niin, ia tiba di daerah perkebunan kakao yang cukup luas, di sana ia terdiam memerhatikan para pekerja membersihkan. Selang beberapa detik, ia mendekati salah satu dari mereka dan berinisiatif untuk bertanya walau ia sendiri tidak yakin tapi tidak ada salahnya mencoba. Dengan ragu ia pun bertanya tentang Naarabo yang membuat bingung si pekerja.

" ... bukan boneka seperti itu. Boneka yang kumaksud itu terbuat dari rumput kering," jelas Niin kesulitan membuat pak tua di depannya itu mengerti.

"A. Oh. Tidak, aku tidak pernah melihatnya."

"Begitu yah ...." Ia tertunduk lesu.

"Maaf, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian, tadi aku menemukan boneka yang sama seperti yang kau sebutkan," ucap seorang nenek menghampiri.

"Be-benarkah?! Tolong kembalikan padaku, nyawaku ada di sana," ucap Niin melirihkan kalimat terakhirnya.

"Heum. Iya, tapi sekarang sudah tidak ada padaku."

"A-apa maksudnya tidak ada?"

"Karena bentuknya aneh, jadi aku buang di tempat pembakaran," ujar si nenek yang membuat Niin shock.

"Ne-Nenek bercandakan ...?" Wajahnya memucat biru, tapi si nenek malah tersenyum dan berkata, "Jangan khawatir, tempat itu belum dibakar ja—" Kalimatnya terpotong saat asap tiba-tiba terlihat dari barat. "O'oh, sepertinya sudah dibakar."

Yoloh kampret!

Tanpa menunda lagi, Niin berlari ke sumber asap, dia harap hal buruk yang ia bayangkan tidak terjadi. Sesampainya di tujuan, ia terbelalak saat melihat Naarabo berada di antara daun-daun yang disapu seorang bocah menuju perapian.

"Tu-tunggu, berhenti!!"

avataravatar
Next chapter