webnovel

Mystic Boy

(50% horror/thriller, 50% romance) Sadewa Pamungkas, laki-laki tampan dengan penampilan urakan, serta suaranya yang keren. Namun, dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya memiliki indera keenam yang tak pernah ia inginkan.

Roy_Kiyowo · Horror
Not enough ratings
84 Chs

Sadewa (Chapter 58)

Dewa tiba di sebuah daerah perkampungan. Ia benar-benar merasa miris melihat pemandangan di sana. Banyak sekali rumah yang tidak layak ditempati. Selama ini, ia berpikir bahwa rumahnya adalah yang paling buruk. Tapi ternyata, masih ada yang lebih parah daripada rumahnya. Ia mengembuskan napas panjang, dan merasa prihatin dengan keadaan ini.

Akhirnya, ia tiba juga di sebuah rumah yang ingin ia tuju. Di rumah itu terdapat seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun sedang berada di depan tungku, dan juga beberapa orang anak-anak yang kemungkinan besar adalah cucunya.

"Permisi, apa benar ini rumah Pak Surya?" tanya Dewa dengan sopan. Wanita tua itu pun berdiri, dan mengangguk.

"Iya, benar. Tapi, beberapa hari ini suami saya tidak pernah pulang. Kamu siapa, Nak?" tanya wanita itu.

"Saya Dewa. Saya ke sini untuk menyampaikan pesan dari Pak Surya," sahut Dewa. Wanita tua itu pun mempersilakan Dewa masuk ke rumahnya yang sangat sederhana itu dan membuatkan Dewa minuman. Di rumah itu tidak ada meja dan juga kursi di bagian ruang tamu. Serta beberapa bagian atap yang berlubang, sehingga jika hujan, sudah bisa dipastikan air hujan itu akan masuk ke dalam rumah.

Selama menunggu wanita tua itu membuat minuman, Dewa melihat-lihat bingkai foto. Di dalam bingkai itu, terdapat sebuah foto kakek itu dan juga istrinya ketika masih muda. Melihat itu, Dewa pun tersenyum. Ia membayangkan, apakah dirinya dan juga Amor bisa selalu bersama sampai setua kakek dan nenek ini?

"Oh, nggak, nggak! Gue mikir apa'an sih?!" seru Dewa. Tak lama kemudian, wanita tua itu pun datang dengan secangkir teh.

"Maaf, Nak, nenek cuma punya ini," ujar wanita tua itu. Dewa pun tersenyum.

"Nggak apa-apa kok, Nek," sahut Dewa.

"Oh ya, kira-kira pesan apa ya yang mau disampaikan buat saya?" tanya nenek itu. Dewa pun mengambil kertas yang ada di dalam saku kemejanya. Kertas itu adalah pesan dari Pak Surya yang Dewa tulis semalaman.

"Oh ini, beliau menyuruh saya untuk membacakan isi surat ini buat nenek," sahut Dewa. Ia pun membuka lipatan surat itu, dan membacanya.

Teruntuk Suryani, istriku tercinta.

Maafkan aku. Karena, aku harus pergi lebih dulu meninggalkanmu dalam kemiskinan ini. Aku sangat menyesal, aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu, tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk anak-anak kita, dan juga tidak bisa menjadi kakek yang baik untuk cucu kita.

Untuk istriku, jangan bersedih. Meskipun aku telah pergi dari dunia ini, tapi, aku akan selalu ada di hatimu. Aku akan selalu hidup di pikiranmu, Istriku.

Hanya itu yang bisa kusampaikan. Sekali lagi, aku minta maaf karena aku harus pergi dari dunia ini. Tapi, kita pasti akan bertemu di surga nanti. Amin ...

Selamat tinggal, Istriku.

Surya.

Dewa pun mengakhiri membaca surat itu. Sedangkan wanita tua itu menangis tersedu-sedu di hadapannya.

"Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba pergi?" gumam wanita tua itu. Dewa sangat bingung. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menghiburnya.

"Tabrak lari. Beliau sudah meninggal sejak kurang lebih satu minggu yang lalu," ujar Dewa."Sebentar lagi, jenazahnya akan sampai di sini,"

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil ambulans tiba di depan rumah Suryani dengan membawa jenazah suaminya yang sudah dibalut kain kafan. Melihat jenazah sang suami, tangis Suryani pun semakin pecah. Ia benar-benar tak menyangka bahwa suaminya benar-benar meninggalkannya.

Beberapa saat kemudian, prosesi pemakaman pun digelar. Dewa benar-benar tak ingin melihat pemandangan menyedihkan itu. Meskipun dirinya sudah terbiasa melihat kematian, namun baginya, melihat tangisan kesedihan dari orang-orang yang ditinggalkan itu jauh lebih menyedihkan daripada kematian itu sendiri. Karena, ia sangat tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang benar-benar berharga dalam hidup.

Dewa pun mengeluarkan dompetnya, dan menyelipkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke dalam sebuah kotak yang tersedia di sana. Dewa tidak bisa berbuat apa-apa selain ini. Tapi setidaknya, ia sudah berusaha membantu mengurangi beban wanita tua itu.

Disaat ia hendak pulang, Dewa melihat kakek-kakek itu tengah memandanginya dari kejauhan. Kakek-kakek itu tersenyum padanya sembari melambaikan tangan seolah-olah mengucapkan salam perpisahan. Dewa pun tersenyum dan membalas lambaian itu. Beberapa saat kemudian, kakek itu menghilang dari hadapan Dewa. Benar, beliau sudah pergi untuk selamanya.

*****

1 years later

Dewa telah menabung untuk membeli sebuah rumah. Selain itu, ia juga telah membeli sebuah mobil yang meskipun sederhana, tapi itu juga merupakan hasil kerja kerasnya sendiri. Pria itu tampak begitu bahagia. Sebab, tabungannya telah mencukupi. Ia lalu menelepon Benny.

"Halo, Ben," sapanya.

"Oy, kenapa?" tanya Benny di seberang.

"Anterin gue cari rumah dong, please," pintanya.

"Hmmm ... Ok, tungguin!"

*****

Kedua pria itu tengah sibuk berkeliling kota dengan mobil Dewa sembari melirik ke kanan dan kiri.

"Sebenarnya, lo cari rumah yang kayak gimana sih?" tanya Benny.

"Simple, rumah yang menyenangkan dan juga ngga banyak hantunya," sahutnya. "Kalau hantunya kayak Belle sih, gue masih bisa handle,"

"Kenapa lo ngga nyoba kredit rumah aja? Kan asyik tuh biasanya," tanya Benny lagi sembari melihat kanan kiri.

"Enggak ah. Lo tahu kan kalau gue anti sama yang begituan," jawab Dewa yang mengendarai dengan pelan sembari mencari pandangan.

"Eh itu tuh!" seru Benny sembari menunjuk sebuah rumah. Dewa pun menghentikan mobilnya dan turun. Di sana terpampang nyata tulisan RUMAH DIJUAL. Rumah itu berbentik minimalist. Dan juga cukup besar untuk ditinggali sendiri oleh Dewa, karena, rumah itu memiliki dua lantai.

Dewa segera menelepon nomor pemilik rumah yang tertera di tulisan itu.

"Halo? Apa benar ini dengan Pak Ahmad?" tanya Dewa.

Rupanya benar. Orang yang ia telepon saat ini adalah pemilik rumah ini. Dewa bertanya sembari melihat-lihat sekitar rumah.

"Kalau gitu, apa kita bisa ketemu sekarang? Saya udah ada di depan rumahnya," tanya Dewa. Beberapa saat kemudian, ia pun menutup telepon.

"Gimana?" tanya Benny.

"Orangnya bentar lagi ke sini kok," jawab Dewa.

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil datang menghampiri mereka. Rupanya itu adalah pemilik rumah yang bernama Ahmad. Bapak-bapak itu tampak terkejut melihat Dewa.

"Loh, kamu kan penyanyi yang sering muncul di TV itu kan?!" tanya beliau. Dewa pun tersenyum sembari mengangguk dengan malu.

"Iya, itu saya," jawabnya.

*****

Para pemuda itu berkeliling ke dalam rumah sembari mendengarkan penjelasan Ahmad. Namun, Dewa tiba-tiba berhenti di sebuah kamar. Ia membuka pintu kamar itu perlahan-lahan.

Di sana, Dewa melihat sosok gadis  berdarah campuran Belanda-Indonesia dengan gaun pernikahan. Lengkap dengan bunganya. Namun anehnya, ia sama sekali tidak takut melihat sosok tak kasat mata itu, seperti saat dirinya melihat Belle.

"Kenapa, Nak?" tanya Ahmad hingga membuat Dewa terkejut.

"Oh enggak, nggak apa-apa," sahut Dewa sembari meringis.

"Jadi berapa harganya?" tanya Dewa.

"Oh, harganya lima ratus juta," jawab Ahmad.

Tanpa banyak tanya, Dewa segera mengeluarkan sebuah amplop besar dari dalam jaketnya yang sedaritadi ia tutup rapat. Sang pemilik rumah begitu terkejut melihat pemuda itu membayarnya secara kontan.

"Coba dihitung dulu, Pak, mungkin aja kurang," gumam Dewa.

Selagi Ahmad menghitung uang, Benny menarik lengan Dewa.

"Lo nggak coba pikir-pikir dulu?" tanya Benny. Namun, Dewa menggelengkan kepala.

"Gue udah betah di sini," sahutnya sembari tersenyum.

***** TBC *****