38 Sadewa (Chapter 38)

Dewa berlutut di hadapan Rusdiana,dan menangis tersedu-sedu. Laki-laki itu bahkan tak bisa mengangkat wajahnya, karena ia tak sanggup memandang wajah sang ibu yang samar-samar.

"Maafkan aku, Bu ..." ucap Dewa sembari menangis. Rusdiana benar-benar tak menyangka bahwa anak yang selama ini ia cari ada di hadapannya. Arwah itu meneteskan air matanya sembari tersenyum.

"Nak ... bangunlah, lihatlah ibu ..." pinta Rusdiana. Tetapi, Dewa menggelengkan kepalanya. Ia sungguh tak sanggup menatap Rusdiana. Laki-laki itu masih menangis sembari terus meminta ma'af.

"Kamu benar-benar nggak mau menuruti permintaan ibu?" tanya wanita itu. Dewa terdiam untuk sejenak. Hingga akhirnya, ia berdiri sembari menghapus air matanya.

"Nggak perlu terus-terusan meminta maaf, ini bukan salahmu, Sayang," ujar wanita itu sembari tersenyum. "Oh ... ibu sangat lega. Akhirnya, ibu bisa melihatmu,"

"Kamu tumbuh dengan baik, kamu sangat tampan. Ibu kesal sekali. Karena, ibu nggak bisa melihat pertumbuhanmu," lanjut wanita itu. Dewa menatap mata Rusdiana dengan sayu, ia sangat pasrah jika wanita itu harus pergi.

"Seharusnya, ibu yang meminta maaf. Karena ibu telah menelantarkanmu. Maafkan ibu, Nak," ucap wanita itu sembari menangis. Dewa mencoba untuk menghapus air mata Rusdiana, namun tidak bisa. Ia tidak bisa menyentuh wanita itu. Ini terasa sangat menyakitkan untuknya.

Beberapa saat kemudian, mereka melihat ada cahaya di hadapan mereka. Melihat itu, Rusdiana pun tersenyum dan menghapus air matanya.

"Akhirnya, aku bisa pergi dengan tenang," ucap wanita itu. Ia pun menatap Dewa. "Tolong, tetaplah menjadi anak yang baik. Dan juga, kamu harus bisa merelakan kepergian ibu. Karena, ini yang terbaik,"

Dewa memalingkan wajahnya sejenak, ia tidak yakin, bisakah ia merelakan kepergian ibunya? Namun bagaimanapun juga, ia harus bisa. Ia pun hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan amat pelan. Rusdiana tersenyum penuh haru melihat anaknya yang begitu tegar.

"Kalau begitu, ibu pergi sekarang," Rusdiana berpamitan, dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan Dewa dengan penuh rasa bahagia. Selama ini, ia menjadi arwah penasaran karena sangat ingin bertemu dengan putranya. Dan sekarang, keinginannya benar-benar terwujud, ia sangat bahagia.

Dewa hanya bisa memandangi kepergian Rusdiana hingga tubuh wanita itu benar-benar menghilang bersamaan dengan cahaya itu. Ia juga melambaikan tangan dengan penuh ketidakberdayaan.

"Selamat jalan, Bu," Dewa berucap dengan sangat lirih. Ia sekarang merasa sangat kehilangan. Dewa tak pernah menyangka bahwa ia akan kehilangan sesuatu, dan ini amatlah berat. Namun, tak ada gunanya menyalahkan takdir. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah mengirimkan do'a untuk sang ibu. Benar, hanya itu yang bisa ia lakukan.

*****

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Yaitu, study tour in Bali! Semua orang begitu bersemangat di hari itu, tak terkecuali dengan Dewa, ia terlihat sedikit lebih bersemangat dari biasanya. Ya, itu karena ia bisa bersama dengan Amor dalam waktu yang cukup lama, yaitu tujuh hari. Oh, rasanya tak ada yang lebih menyenangkan lagi selain bersama-sama dengan orang yang kita cintai.

Semua orang telah berada di dalam bus, mereka pun langsung berangkat. Dewa duduk di samping Amor, sedangkan Benny berada di belakang dan sedang mengintip mereka.

"Cieee ... lengket banget sih kalian berdua? Awas, ntar diganggu setan," goda Benny. Ah, laki-laki itu sangat mengganggu.

"Iya, kan setannya elo," sahut Dewa, sedangkan Amor tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan mereka berdua.

Beberapa saat kemudian, Benny tak lagi menunjukkan suaranya. Tampaknya, laki-laki itu telah tertidur. Begitu juga dengan Amor. Kepala wanita itu bersandar pada bahu Dewa yang tak bisa tidur. Ya, dia memang jarang sekali bisa tertidur jika di dalam suatu perjalanan. Apalagi di sampingnya ada Amor. Ia menatap gadis itu, dan mengusap pipi perempuan itu dengan lembut.

"Selamat tidur, Sayang ..."

*****

Setelah perjalanan selama puluhan jam, mereka beristirahat sejenak di hotel, dan mengunjungi tempat tujuan pertama, yaitu sebuah bunker yang sangat terkenal di sana dan menjadi tempat pariwisata.

Begitu sampai di sana, semua murid memasuki bunker itu dengan senang hati. Terkecuali Dewa, ia hanya bisa berdiri di luar sembari menutup hidungnya. Ia bisa mencium aroma menyengat yang orang lain takkan bisa menciumnya. Ia bahkan melihat masa lalu tempat itu yang begitu mengerikan. Masa di mana para penjajah Jepang memerintahkan kepada penduduk sekitar untuk melakukan kerja paksa. Dewa melihat pembantaian di mana-mana, mulai dari memenggal kepala penduduk, hingga penyiksaan dengan cara membunuh secara perlahan-lahan. Dewa bahkan merasa sangat mual melihat semua kekejaman itu.

"Gue tunggu di bus aja ya?" pinta Dewa, Amor dan Benny pun menatapnya dengan sedikit kecewa.

"Ya udah, Ben, lo aja yang masuk. Gue bakalan temenin Dewa," ucap Amor.

"Yah, nggak seru dong," ucap Benny dengan kecewa. Wajah Dewa terlihat sangat pucat. Tapi, ia merasa tak enak dengan Benny.

"Sorry, Ben, gue bener-bener nggak kuat," ucap Dewa. Dan pada akhirnya, ia pun pingsan.

"Dewa ...!"

***** TBC *****

avataravatar
Next chapter