14 Sadewa (Chapter 14)

Dewa tersadar dari tidurnya, ia memandangi sekelilingnya yang serba putih dengan penuh kebingungan. Rupanya, ia berada di rumah sakit. Baju yang ia kenakan pun telah berganti menjadi baju pasien. Kedua tangannya juga telah diperban dengan rapi. Di sampingnya, terlihat Amor yang begitu senang melihat Dewa yang sudah bangun.

"Akhirnya, kamu sadar juga," ucap Amor sembari tersenyum. Dewa pun menatap Amor.

"Berapa lama aku pingsan?" tanya Dewa, gadis itu pun menjawab.

"Tiga hari dua malam," sahutnya. Dewa pun melepaskan semua selang yang menempel di tubuhnya, Amor menjadi kebingungan melihat yang dilakukan oleh Dewa. Laki-laki itu pun mengambil bajunya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Amor, Dewa pun menatapnya.

"Aku mau pulang, aku nggak mau di sini terus," sahut Dewa. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi yang sudah tersedia di sana, dan mengganti pakaiannya.

Ya, Dewa tak pernah menyukai yang namanya rumah sakit. Sebab, di rumah sakit, ia bisa melihat dan merasakan semua penderitaan yang ada di sana. Seperti kesakitan, duka, ketakutan, kesedihan, dan masih banyak lagi yang semuanya berada di satu tempat, yaitu rumah sakit.

Ia tak peduli, apakah dokter sudah mengizinkannya untuk pulang atau tidak, dia tetap harus pulang.

*****

Mereka berdua telah sampai di rumah Dewa. Lalu, Dewa tiba-tiba teringat sesuatu.

"Terus, gimana cowok itu?" tanya Dewa lagi. Amor pun menjawab sembari tersenyum.

"Andre udah di bawa ke psikiatri. Mereka bilang, dia mengidap kepribadian ganda," cerita Amor. Dewa tersenyum lega mendengar kabar itu. Setidaknya, Andre mendapatkan penanganan yang tepat. Lalu, Amor pun bertanya kepada Dewa.

"Oh ya, aku penasaran. Waktu kamu keluar dari dalam lemari, dan Andre nyerang kamu, sebenarnya apa yang kamu lakukan sampai-sampai dia teriak-teriak kayak gitu?" tanya Amor. Mendengar pertanyaannya, Dewa pun mengembuskan napas panjang. Ia sudah menduga bahwa Amor akan menanyakan hal itu.

"Nggak ada, aku cuma mempengaruhi pikirannya," sahut Dewa dengan entengnya. Tentu saja Amor sedikit bingung dengan penjelasan Dewa.

"Mempengaruhi gimana?" tanya Amor lagi. Dewa pun menatap Amor sembari tersenyum.

"Aku bilang ke dia melalui pikiran, kalau kamu bukan jodohnya dia," sahut Dewa. Lagi-lagi pemuda itu menjawab dengan gampangnya, tentu saja Amor sangat terkejut mendengar jawaban Dewa.

"Jahat banget sih! Gimana kalau otaknya dia jadi down?!" seru gadis itu sembari memukul lengan Dewa.

"Terus, apa kamu punya cara lain? Apa aku harus memujinya setelah semua yang ia lakukan terhadapmu?!" balas Dewa sembari memegangi lengannya yang barusan dipukul Amor.

Buset dah! keras juga nih cewek kalo mukul.

"Kamu kan bisa pakai cara yang lebih lembut lagi," sahut Amor sembari memanyunkan bibirnya. Raut wajah Amor yang seperti itu sungguh sangat menggemaskan bagi Dewa.

"Nggak ada cara yang lembut. Hidup ini keras, dia harus bisa terima kenyataan itu," gumam Dewa. Laki-laki itu melipat kedua tangannya, ia juga mengerutkan alisnya. Entah kenapa, Dewa jadi sangat kesal melihat Amor yang seolah-olah sangat memedulikan Andre.

*****

Dewa, Amor,dan Benny makan bersama di kantin. Amor memandangi Dewa yang terlihat kesulitan saat memegang sendok dan garpu akibat kedua tangannya yang diperban.

"Em ... mau disuapin?" Amor menawarkan itu kepada Dewa. Namun, Dewa menggelengkan kepalanya.

"Nggak, aku bisa sendiri," sahut Dewa dengan senyuman, ia pun kembali melanjutkan makan dengan pelan-pelan.

"Bilangnya nggak mau, padahal dalam hati mau tuh," goda Benny dengan menyunggingkan senyum licik. Raut wajah Amor langsung merah merekah, sedangkan Dewa langsung tersedak begitu mendengar ucapan Benny. Amor pun langsung meminumkan minuman Dewa ke bibir pemuda itu.

"Tuh kan, Ben. Lo sih," ucap Amor sembari memanyunkan bibirnya. "Kamu nggak apa-apa, Wa?"

Dewa hanya menjawab dengan anggukan serta senyuman tipis, sedangkan Benny justru tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.

Setelah suasana kembali menjadi tenang, Benny pun bertanya kepada Dewa.

"Wa, lo jadi ikut audisi itu?" tanya Benny. Dewa terdiam sejenak. Lalu, ia menggelengkan kepala.

"Nggak," sahut Dewa dengan singkat. Benny dan Amor pun kaget bersamaan.

"Hah?! Kenapa?!" tanya mereka berdua bersamaan. Dewa pun mengembuskan napas panjangnya, dan menjawab.

"Gue pikir, di sini lebih enak. Kalau misalkan gue masuk dan harus pergi ke Seoul, gue harus kembali menyesuaikan diri dengan kehidupan yang ada di sana. Sedangkan buat orang-orang kayak gue, menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan baru itu sama sekali nggak gampang," sahut Dewa. Ia pun menatap kedua orang di hadapannya secara bergantian.

"Hidup di sana itu nggak seindah drama korea yang sering kita tonton. Gue nggak mau kejadian di masa kecil gue terulang lagi," imbuhnya. Ia menatap Amor yang juga tengah menatapnya. Sejujurnya, alasan yang ia ungkapkan itu bukan alasan utamanya. Alasan utamanya adalah, Dewa tidak ingin berpisah dengan Amor. Ia tidak ingin berpisah dengan gadis itu. Apalagi setelah kejadian kemarin, ia bertekad untuk melindungi Amor dengan segenap kemampuan yang ia miliki.

"Emang, masa kecil kamu kayak gimana?" tanya Amor. Benny pun memandangi Dewa dengan penasaran. Sebab, ia juga tidak tahu masa kecil Dewa.

"Yang jelas, nggak seindah masa kecil kalian berdua ..."

***** TBC *****

avataravatar
Next chapter