webnovel

Wawancara

Dengan wajah cantik dan make-up tipis yang natural, wanita yang usianya sebentar lagi dua puluh tiga tahun itu duduk di ruang tunggu yang tepatnya di lantai sepuluh Kitten Group. Rambutnya sudah disanggul sedemikian rupa agar terlihat mempesona. Lehernya yang putih dan panjang membuat Kensky terlihat semakin anggun.

Tapi pikiran yang selalu menghantui membuat dirinya terlihat gelisah. "Ya Tuhan, bagaimana aku bisa mendapatkan handphone baru? Semoga saja aku akan diterima di kantor ini agar bisa membeli handphone baru."

Sejak ibunya masih hidup, Kensky tidak pernah meminta uang pada ayahnya untuk membeli segala keperluan, karena sang ibu selalu menyediakan semua kebutuhan dan keperluannya. Sejak kecil Kensky memang berbeda dari anak-anak gadis pada umumnya yang lebih dekat dengan orang tua laki-laki daripada orang tua perempuan. Kensky sejak lahir lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya.

Namun sejak ibunya meninggal, mau tidak mau Kensky harus menjadi pengemis pada ayahnya sendiri untuk membiayai kebutuhannya. Ia bahkan rela diperlakukan hardik oleh ayahnya demi mendapatkan uang jajan.

Lebih sangat disayangkan lagi, sejak memiliki Ibu Tiri yang serakah, uang jajan yang diberikan ayahnya selalu dikorting oleh wanita itu. Kensky kesal dan ingin memprotes, tapi ayahnya justru membela istri barunya dan mengancam Kensky untuk tidak memberikan uang jajan lagi kalau membantah.

Dengan begitu Kensky memutuskan untuk hidup hemat dan menabung dua puluh lima persen dari sebagian uang yang Eduardus berikan padanya. Karena hanya dengan cara itu ia bisa memenuhi keperluannya sendiri.

"Sky, sedang apa kau di sini?" Suara dari arah belakang membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.

"Soraya?" Ia terkejut. "Kau sendiri sedang apa di sini?"

Rambut Soraya panjang. Warnanya cokelat dengan tubuh yang lebih tinggi dari Kensky. Dan ia pun langsung mengambil posisi tepat di sampingnya. Gadis berwajah cantik yang menggunakan lipstik merah itu terlihat lebih tua lima tahun dari Kensky, padahal normalnya mereka hanya selisih satu tahun. Soraya semakin merapatkan tubuh dan berbisik pada Kensky, "Aku ada jadwal wawancara. Kau sendiri sedang apa, hah?" ketusnya.

"Aku juga ada wawancara," balas Kensky tak kalah sinis.

Soraya terkejut. "Tidak mungkin. Kau itu tidak pantas bekerja di sini. Sebaiknya kau pulang saja karena percuma kau ikut wawancara. Aku yakin, kau pasti tidak akan diterima di perusahaan ini."

Kensky balas meremehkan. Dengan santai ia berkata, "Oh, iya? Tapi sayangnya tim HRD dari perusahaan inilah yang mengirimkan email padaku dan memberitahukan bahwa hari ini aku akan diwawancara."

Soraya tertawa seakan mengejek. "Kita lihat saja nanti. Kau pasti tidak akan diterima."

"Miss Oxley?"

"Suara pegawai wanita dari arah pintu membuat Kensky dan Soraya sama-sama berdiri. "Ya, saya sendiri?" Mereka sama-sama menjawab.

Wanita yang merupakan sekertaris CEO di Kitten Group itu menatap bingung. Dilihatnya berkas yang ada di tangannya. "Kensky Revina Oxley?" katanya sambil menatap Kensky dan Soraya secara bergantian.

"Saya!" Dengan cepat Kensky mengangkat tangan.

Soraya menatap kesal karena Kensky mendapat giliran lebih dulu.

"Mari ikut saya," kata si sekertaris.

Kensky tersenyum puas. Sambil membetulkan dandannya ia berkata, "Aku duluan, ya?" katanya pada Soraya dengan nada mengejek.

Sekertaris itu pun membawa Kensky masuk ke ruangan CEO, sementara Soraya menatap tajam dan langsung meraih ponsel untuk menghubungi seseorang.

"Halo?" sapanya begitu panggilan terhubung. "Ma, ternyata Kensky hari ini ikut wawancara juga! Namanya bahkan lebih dulu dariku."

"Masa, sih? Memangnya dia mengajukan permohonan di perusahan itu?"

"Aku tidak tahu! Tapi yang jelas jika dia berada di sini, itu berarti dia telah mengajukan permohonan. Mama tidak menjodohkan dia juga dengan Dean, kan?"

"Kau sudah gila, ya? Mana mungkin Mama menjodohkan satu laki-laki untuk dua perempuan? Jelas tidaklah."

"Tapi kenapa dia bisa ada di sini? Di waktu yang bersamaan, lagi. Memang sih, tadi dia sempat bilang kalau pihak perusahan mengirim email padanya, tapi kan aneh, masa jadwalnya harus bertabrakkan denganku?"

"Kau tenang saja, meski kalian bersama-sama di waktu yang sama, meski kau memiliki nama belakang yang sama, tapi mama yakin kalau kau akan diperlakukan spesial di kantor itu. Lihat saja nanti, kau pasti akan mendapatkan posisi yang lebih tinggi daripada dia."

"Mama yakin? Pendidikanku kan tak setinggi dia."

"Pendidikan boleh di bawah, tapi status kalian beda. Kau lebih tinggi darinya."

"Status, maksud Mama?"

"Dia kan hanya pegawai biasa, sedangkan kau adalah calon istri dari pemilik perusahan itu. Jadi tidak mungkin kalau Dean akan memberikanmu jabatan rendah."

"Aku tidak yakin, Mama."

Suara tawa di balik telepon terdengar. "Kau tidak perlu susah-susah memikirkan hal itu, mama sudah mengatur semuanya. Percayalah. Sekarang tugasmu hanyalah bekerja di sana dan menuruti semua perintah calon suamimu. Oke?"

"Tapi kalau aku tidak diterima bagaimana? Kan Dean belum pernah melihatku."

"Kau ini bicara apa, sih? Kau pikir aku membuatmu menunggu lama di gedung itu saat ini dengan alasan apa, hah? Dean sendiri yang menghubungiku tadi dan menyuruhmu agar datang ke Kitten Group untuk wawancara jam sembilan nanti. Sekarang sudah jam berapa?"

"Jam sembilan lebih."

"Ya sudah, kalau begitu tunggu saja sampai tiba giliranmu. Mama rasa Dean melakukan ini dengan tujuan agar bisa mengenalmu lebih dekat. Jadi sebaiknya kau turuti saja dan jangan membuatnya kecewa. Paham?"

"Iya, iya, aku paham." Diputuskannya panggilan telepon karena tak ingin mendengarkan omelan ibunya. Soraya menarik napas panjang lalu menatap pintu cokelat di mana terdapat papan ukir yang tergantung dan bertuliskan CEO Room. "Semoga saja apa yang dikatakan Mama benar."

Di sisi lain.

"Silahkan duduk, Miss Oxley," perintah si sekertaris saat melihat sang atasan sedang berbicara via telepon. "Setelah menelepon, beliau pasti akan langsung mewawancarai Anda."

Kensky mengangguk paham. "Terima kasih, tapi aku di sini saja." Ia berdiri di depan meja CEO untuk menunggu sampai sosok berjas hitam yang berdiri membelakanginya selesai.

"Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu. Semoga berhasil."

Kensky tersenyum lembut. "Terima kasih. Tapi, sumpah, aku sangat gugup."

"Tenanglah. Aku yakin Anda pasti akan diterima." Sekertaris itu meremas tangan Kensky yang dingin lalu menunduk pamit.

Kensky pun ditinggal sendirian bersama sosok pria yang sedang berdiri di balik dinding jendela kaca. Tubuh lelaki yang tinggi dan kekar itu membuatnya terpana.

"Baiklah, aku akan menghubungi Mom nanti setelah makan siang." Diputuskannya panggilan telepon lalu memutar tubuh menghadap peserta wawancara yang pertama. "Kau?"

Kensky sama terkejut. "Ka-kau?"

Lelaki yang bernama lengkap Dean Bernardus Stewart itu adalah CEO sekaligus pewaris tunggal di Kitten Group. Lelaki yang sering disapa Bernar dan Dean itu tertawa.

"Ternyata kita memang jodoh, ya? Tak kusangka kalau kita akan bertemu untuk kedua kalinya pagi ini." Ia memborong semua tubuh Kensky yang sudah mengenakan pakaian bersih dan rapi. Tatapannya tajam dari atas hingga bawah dan berhenti tepat di dadanya. "Tapi sepertinya ada yang berubah di tubuhmu setelah kejadian tadi," katanya lalu berjalan mengintari meja. Dean berdiri tak jauh dari tubuh Kensky. "Apa kau sengaja menambahkan ukurannya agar aku lebih terpikat dan menerimamu di kantor ini?"

Kensky yang melihat arah pandang Dean dan dengan cepat menutupi dadanya. "I-ini bukan ukuran aslinya. A-aku hanya .... "

Dean lebih mendekatkan dirinya pada Kensky. Wanita itu terlihat gugup dan ia menyeringai puas. "Kau tidak perlu menjelaskannya. Aku justru menyukai wanita yang dadanya berisi."

Mata Kensky terbelalak. "Ini bukan pelindungku! Ukuranku bukan sebesar ini. A-aku .... " Saat itulah Kensky sadar akan kata-katanya yang tidak sopan. Ia menelan kembali sisa penjelasannya dan menatap lelaki yang sedang menahan tawa.

Tapi Dean segera melontarkan pertanyaan agar Kensky mau membahas topik yang sengaja dimulainya sejak awal. "Kalau bukan punyamu, lantas itu punya siapa?" Tawa Dean hampir meledak, tapi dengan cepat ia berbalik dan membelakangi Kensky untuk menatap ke luar jendela.

Kensky yang merasa harus jujur pun langsung berkata, "Karena Anda tidak mau bertanggung jawab atas insiden tadi pagi, mau tidak mau aku meminjam kemeja, rok juga pakaian dalam temanku." Perkataan Kensky sengaja dibuat jelas agar Dean kasihan padanya dan mau ganti rugi.

Dan dengan cepat lelaki itu berbalik menghadap Kensky. "Kau memakai pakaian dalam temanmu?" tanyanya parau dengan alis berkerut-kerut.

Kensky menunduk sambil mengangguk sehingga tak sempat melihat senyum Dean yang begitu cepat. "Aku tidak punya waktu banyak untuk pulang ke rumah." Seandainya ia tak membutuhkan pekerjaan ini, seandainya Dean bukan CEO di perusahan ini, sudah pasti ia tak akan sudi menjelaskan panjang lebar dan berkata jujur pada lelaki itu. Toh ini bukan urusannya.

Namun dengan terpaksa ia harus memasang muka kasihan agar Dean mau menerimanya. "Jadi aku terpaksa ke apartemen temanku untuk meminjam pakaian padanya."

Dean mendekatinya lagi dan posisi mereka kali ini sangat dekat. "Maafkan aku, tapi aku tidak mau calon istriku meminjam atau memakai pakaian orang lain."

Spontan Kensky marah saat mendorongnya. "Aku bukan calon istrimu!" bentaknya.

Dean tersenyum. "Baiklah, mungkin ayahmu belum menceritakannya padamu. Tapi sebagai laki-laki yang profesional, aku akan tetap bersikap wajar sampai kau mau mengakui bahwa aku adalah calon suamimu. Oke?"

"Kau gila!"

"Ya, aku gila karenamu, Sky." Tatapan Dean tajam dan dingin.

Hampir saja Kensky meledakkan emosinya, tapi lagi-lagi ia kembali disadarkan oleh pekerjaan yang sangat ia butuhkan itu. "Terserah Anda saja, yang jelas ayahku tidak pernah mengatakan bahwa diriku sudah dijodohkan."

"Mungkin ayahmu sengaja belum mengatakannya karena ingin memberimu kejutan," katanya pelan. "Baiklah, aku tidak ingin calon istriku berdiri lama." Dean bergerak dan masuk ke balik mejanya.

Mata Kensky mengikuti dan melihat Dean sedang membuka map berwarna biru tepat di atas meja. Lelaki itu membalik-balikkan lembar kertas yang ada di dalam. Ia yakin kalau map itu adalah miliknya.

"Kensky Revina Stewart," kata Dean lalu mendongak menatap gadis yang kini sedang menatapnya tajam. Ia tertawa melihat ekpresi gadis itu. "Maaf, tapi sebentar lagi nama belakangmu akan berubah seperti itu. "Kensky Revina Stewart. Atau kau mau disapa Mrs. Stewart?"

Kensky tak menggubris dan tak ingin membatah agar proses wawancaranya cepat selesai.

"Miss Oxley, selamat, Anda diterima dan bisa mulai bekerja di perusahaan ini."

Mata Kensky terbelalak. "Diterima? Aku diterima? Tapi Anda belum mewawancarai saya, Pak?"

Dean duduk lalu menyandarkan punggungnya di kursi. Ia menautkan kesepuluh jemarinya di atas perut. "Apa aku kurang jelas, Sayang? Kalau begitu kemarilah, aku akan menciummu agar kau percaya bahwa kau diterima."

Mata Kensky melotot. Emosinya nyaris meledak atas ketidaksopanan Dean. Tapi demi pekerjaan penting itu, lagi-lagi Kensky harus pasrah dengan perkataan yang dilontarkan Dean untuknya. "Tidak perlu. Tapi jika itu benar, aku sangat berterima kasih."

Dean tersenyum samar. "Besok kau bisa mulai bekerja di kantor ini. Kau ingin di posisi mana, menjadi asisten kepala keuangan atau menjadi sekertaris pribadiku?"

Kensky dengan cepat menjawab, "Asisten saja. A-aku ingin menjadi asisten di bagian keuangan."

Jawaban terbata-bata Kensky membuat Dean menunduk menahan tawa. "Kau yakin tidak ingin bekerja sama dengan calon suamimu?"

Seandainya bukan CEO, Kensky pasti sudah melabrak mulut lelaki itu. Ia pun tak ingin membantah soal apa yang dikatakan Dean tentang keterkaitan mereka. Yang terpenting baginya sekarang adalah, ia diterima dan resmi bergabung di Kitten Group.

"Lebih baik seperti itu. Aku ..." Ia bingung menyebutkan nama Dean. Dilihatnya papan nama dari marmer hitam bertuliskan Dean Bernardus Stewart. "Aku rasa lebih baik seperti itu, Pak Dean."

Lelaki itu dengan cepat berdiri. Ia berjalan melewati meja dan mendekati Kensky. Ia berdiri tepat di hadapan gadis itu. Jarak yang sangat dekat membuat Kensky bisa menghirup parfum aroma woody dari tubuhnya. Pria itu meraup sebelah pipinya dan mengelus lembut.

Lutut Kensky nyaris lemas. Ditatapnya mata Dean yang begitu indah. Bibirnya yang tipis dan merah begitu menggoda. Rahangnya yang tegas dan berbulu membuat Kensky ingin sekali menempelkan tangannya di sana. Dalam hati Kensky berkata, "Apa benar Daddy telah menjodohkanku dengannya? Ya Tuhan, aku sangat senang jika itu benar. Dia tampan sekali. Mom, sepertinya gadismu sudah jatuh cinta."

Dean menyadari respon positif lewat tatapan Kensky. Diusapnya pipi lembut gadis dengan jempol. "Kau sekarang milikku. Sekarang dan selamanya," bisiknya parau.

Kensky bisa merasakan tubuhnya mulai merespon. Dengan cepat ia menepiskan tangan dan membelakangi Dean. "A-aku tahu, tapi tolong beri aku waktu sampai aku percaya bahwa kau benar-benar adalah calon suamiku."

Dean mendekatinya lagi. Dilingkarkannya kedua tangan di perut Kensky. Gadis itu terkejut dan hendak melepaskan diri, tapi Dean langsung mengeratkan pelukannya dan meletakkan dagunya di bahu Kensky. "Aku akan setia menunggumu. Percayalah padaku. Aku adalah lelaki masa depanmu." Ia mengecup leher Kensky. Aroma buah dari tubuh gadis itu membuatnya mabuk dan tak mau menjauhkan hidungnya dari sana. Ketika lidah Dean menyapu leher itu, saat itulah keperkasaannya mengeras.

Kensky mengeluarkan desahan saat rasa dingin dan nikmat menyentuh lehernya, tapi dengan cepat ia melepaskan diri dan menjauhi Dean. "Aku akan percaya jika semua bukti sudah kuat. Dan aku harap Anda bisa bersikap lebih sopan terhadap karyawan lain, termasuk saya, Mr. Stewart." Wajahnya berubah datar saat menatap Dean.

Sikap tegas Kensky membuat Dean terkesan. Dilihatnya dada gadis itu yang naik turun. Dean tahu kalau Kensky merasakan hal yang sama: bergairah. "Aku mengerti. Jadi kau ingin kita berpura-pura untuk sementara waktu?"

"Ya, setidaknya begitulah sikap antara atasan dan bawahan jika sedang berada di kantor."

"Baiklah, Sayang, aku akan menuruti semua kemauanmu." Ia mendekati Kensky dan memeluknya lagi.

Ingin sekali Kensky membalas pelukan itu, tapi di satu sisi ia juga ingin melabrak Dean karena sikapnya yang kurang ajar. Pengakuan pria itu sebagai calon suami membuat Kensky cukup terkejut. Tapi meski terlihat sepuluh tahun lebih tua darinya, wajah Dean sangat mempesona. Kriteria seperti itulah yang dicari Kensky.

Tapi Kensky tak ingin senang dulu, ia harus mengumpulkan bukti nyata untuk meyakinkan pengakuan itu, termasuk menanyakan perjodohan itu secara langsung pada ayahnya. Kensky ragu, tapi ia harus meberanikan diri demi masa depannya.

Continued___