webnovel

Sosok Di Balik Telepon.

Sesorang di balik telepon diam tak menjawab.

"Halo, Ceo?" panggil Kensky dengan nada pelan.

"Halo, Cantik." Suara laki-laki dari balik telepon akhirnya menyapa. "Selamat ulang tahun, Ratuku."

Kensky terkejut, yang pertama karena orang itu ternyata laki-laki, yang kedua karena lelaki itu tahu kalau hari ini adalah ulang tahunnya. "Siapa kau? Kenapa kau tahu tanggal lahirku?" Kensky merasa senang, karena ada orang yang memberikannya selamat untuk pertama kali, tapi di satu sisi ia penasaran.

"Kau pasti akan tahu siapa aku. Percayalah, aku ini orang baik. Aku orang yang akan selalu menjaga dan melindungimu. Ngomong-ngomong kau ingin merayakan ulang tahun di mana? Katakan saja, biar aku yang akan menyiapkan tempat dan segala keperluannya. Kau juga ingin hadiah apa? Aku pasti akan memberikan apapun yang___"

"Dari mana kau mengenal mommy?" sergah Kensky yang dipenuhi rasa penarasan oleh sosok lelaki di balik telepon itu. Nada suaranya pelan namun penuh penekanan.

"Aku sangat mengenal ibumu, Sky. Nama ibumu Barbara, kan? Kau tenang saja, aku tidak jahat. Ibumu justru senang kalau tahu kita seperti ini."

Dalam hati Kensky sangat bersyukur karena lelaki itu ternyata mengenal ibunya, tapi lagi-lagi rasa penasaran yang tinggi membuat Kensky tak henti-hentinya melontarkan pertanyaan. "Apakah kau salah satu keluarga mommy?"

"Bisa dikatakan seperti itu. Yang jelas aku dan almarhumah ibumu sangat dekat. Saking dekatnya beliau memintaku untuk menjagamu seumur hidupku."

Mata Kensky nanar. Rasa bahagia semakin menyelimutinya. "A-aku tak menyangka, ternyata mom selalu bersamaku. Siapapun dirimu, aku sangat berterima kasih padamu."

"Kau tidak perlu berterima kasih, itu sudah tanggung jawabku untuk menjaga dan memberikan semua yang kau inginkan."

Mata Kensky menyipit. "Memberikan? Oh iya, kenapa kau memberikanku ponsel?"

"Karena kau membutuhkannya. Bukan begitu?"

Mata Kensky melotot. "Berarti kau tahu kalau ponselku rusak?!"

Lelaki itu terkekeh. "Jangankan ponselmu rusak, apa yang sekarang kau lakukan pun aku bisa tahu. Kau sedang bicara di telepon, kan?"

Kensky tertawa. "Yah ialah, kan kita memang sedang bicara. Tapi aku serius, dari mana kau tahu ponselku rusak?"

"Aku selalu memantaumu, Sky. Sejak kau dilahirkan aku sudah mengenalmu, bahkan setelah Barbara meninggal, kau tak pernah luput dari pantauanku."

Kensky semakin penasaran. "Siapa kau sebenarnya? Dan apa hubunganmu dengan mom?"

"Suatu saat nanti kau pasti akan tahu siapa aku. Kau___ "

"Kenapa harus nanti? Kenapa tidak malam ini? Kau bisa mengatakan padaku sekarang siapa kau sebenarnya dan apa hubunganmu dengan ibuku. Kau tadi bertanya kalau diriku menginginkan hadiah apa, bukan?"

"Iya katakanlah, aku akan memberikannya."

"Aku ingin kau menjawab siapa dirimu dan apa hubunganmu dengan ibuku?"

Pria itu terkekeh. "Maafkan aku, Sky, tapi ini permintaan ibumu. Beliau memintaku untuk tidak mengatakannya padamu sampai kau berusia dua puluh tiga tahun."

"Tapi sekarang aku sudah genap dua puluh tiga tahun."

"Apa kau sudah membuka kotak yang ibumu berikan sehari sebelum dia meninggal?"

Sky tampak berpikir. "Kotak?" Ia terkejut. "Dari mana kau tahu kotak itu?! Dan siapa kau sebenarnya."

"Saat itu aku juga mendapatkan kotak yang sama. Malam itu juga aku langsung membuka kotak itu dan melihat isinya."

"Apa isinya?"

"Isinya adalah surat di mana aku harus menjaga dan melindungimu."

"Surat? Mom memberikanmu surat?"

"Iya. Kau pasti akan mengerti setelah membuka isi kotak itu. Ya sudah, karena malam sudah larut, sebaiknya kau kembali tidur. Oh iya, jika kau ingin merayakan acara ulang tahun di mana pun kau mau, katakan saja padaku. Aku akan menyiapkan semuanya untukmu."

Kensky menggeleng pelan. "Tidak, terima kasih. Boleh aku bertanya lagi?"

"Silahkan," balasnya dengan suara parau yang mampu membuat dada Kensky ikut bergetar.

"Siapa namamu?"

"Panggil aku Ceo."

"Apa itu namamu?"

"Bukan, tapi aku seorang CEO."

Kensky terkejut. "CEO? CEO di perusahan apa?"

"Kau pasti akan tahu. Baiklah, selamat malam, Sky. Selamat tidur dan mimpi indah."

Tut! Tut!

Pria itu memutuskan panggilannya.

"Halo?! Halo?!" Kensky kesal karena dibuat penasaran. Ditekannya tombol radial untuk menghubungi kontak itu lagi.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah___"

Tut! Tut!

Kensky berdecak lidah. "Pakai mematikan ponsel segala, lagi." Ia menatap angka-angka yang ada di kontak bernama Ceo itu. "Siapa sih kau sebenarnya?" Ia menarik napas panjang. "Mom, siapa dia, Mom? Siapa orang yang Mom tugaskan untuk melindungiku? Siapa dia, Mom?"

Kensky duduk dan bersandar di sandaran kasur. Sambil meluruskan kedua kaki ia terus merangsang pikirannya untuk mengaitkan semua keterangan yang dikatakan lelaki tadi berdasarkan masa lalunya. "Katanya dia mengenalku sejak aku lahir. Apa itu benar, Mom?" Kensky semakin berpikir. "Pantasan saja dia tahu ulang tahunku. Tapi ... " Kenksy mengerutkan alis. "Mom, apa dia saudaramu? Atau mungkin dia sahabatmu?" Kensky menggeleng kepala. "Tidak, itu tidak mungkin. Kalau dia benar keluarga Mommy, lantas kenapa dia tidak menampakkan diri saat hari kematian Mommy?"

Kensky kembali mengingat kejadian enam belas tahun lalu, saat hari di mana Barbara dikabarkan tewas dalam kecelakaan. Malam itu saking frustasi karena kehilangan ibunya, Kensky tidak pernah meninggalkan Barbara sampai jenazah dimakamkan. Namun seingat Kensky saat itu tidak ada satu pun kerabat maupun keluarga Barbara yang datang untuk melayat.

"Siapa dia, Mom? Siapa lelaki misterius itu?"

***

Keesokan harinya Dean sedang berada di salah satu mension yang mewah. Mension yang tak lain adalah tempat untuk diadakannya pesta ulang tahun kantor. Dekorasi yang sudah dikerjakan oleh pekerja-pekerja profesional membuat Dean sangat puas dengan hasilnya.

"Bos, apa sebaiknya tamu lain kita arahkan ke dalam mension saja?" kata lelaki yang berdiri tepat di belakang Dean. Ia hanya memberi saran, karena pria yang merupakan supir pribadi Dean itu sangat tahu jika atasannya pasti akan minta pendapat atau ide. Jadi, sebelum Dean bertanya, Matt lebih dulu menyuarakan idenya itu.

"Tidak, Matt, aku memang ingin semua tamu berada di luar, karena udara musim semi sangat menyenangkan untuk dinikmati malam hari."

Mereka sekarang sedang berada di halaman luas yang ukurannya masih bisa dibangun lima rumah kelas ekonomi. Halaman itu sudah didekorasi dengan lampu-lampu bentuk bulat kecil berwarna kuning yang melingkar di batang-batang pohon cemara juga pagar. Beberapa meja makan yang sudah dihiasi taplak putih dan alat makan pun sudah tertata rapi. Lampu-lampu yang melingkar juga sudah menyala di padu dengan hiasan-hiasan ranting kering yang membuat suasana makan jadi lebih romantis. Kursi para tamu juga sudah dilapisi dengan kain yang senada dan diatur dengan jarak yang tidak terlalu dekat agar para undangan tidak saling berhimpitan saat makan nanti.

Sementara di posisi yang tak jauh dari meja makan, terdapat satu meja bulat yang dikhususkan untuk berbagai macam minuman. Dari air putih, jus buah dan minuman yang kadar alkoholnya rendah sampai level tinggi. Meja itu dihiasi dengan taplak berwarna putih juga lampu kuning yang melinggar di pinggirannya.

Karena temanya putih, Dean menyuruh para dekorator untuk memasang balon berwarna putih di sepanjang jalur pintu masuk sampai halaman dan beberapa terlihat menjuntai dari atas pohon.

"Aku suka dekorasinya, Matt."

"Apa ada yang ingin Anda tambahkan?" tanya Matt yang sudah mengenakan pakaian yang serba putih.

Dean yang juga sudah siap menyambut para tamu undangan terlihat tampan dengan kemeja hitam dibalut jas putih mahal dan celana panjang berwarna senada yang pas di badannya. Rambut cokelatnya yang disisir acak justru membuatnya mempesona dengan beberapa kancing kemeja yang sengaja dibuka untuk menambah kesan maskulin seorang Dean Bernardus.

Ia menggeleng lalu melirik jam tangan. "Apa kuenya sudah kau ambil?" tanya Dean saat melihat jam tangan sudah pukul tujuh malam.

"Sudah, Bos. Kuenya ada di meja itu." Matt menunjuk meja berukuran sedang yang sudah dihiasi taplak putih dan lilin.

Meja itu berbentuk persegi panjang yang sengaja disediakan untuk menampung semua kue dari pada relasi Kitten Group.

"Kenapa kuenya banyak sekali?" tanya Dean begitu melihat macam-macam kue yang memenuhi meja itu.

"Kue lain datangnya dari beberapa pelanggan Kitten Group dan sebagian lagi diberikan oleh beberapa divisi Kitten Group sebagai ucapan. Mereka mengantarkan kue itu saat Bos sedang mandi tadi. Dan kue yang ukurannya paling besar itu, dibawa langsung oleh Mrs. Stewart untuk acara ini."

"Mommy? Lalu mana ibuku?" Dean mengedarkan pandangan.

"Nyonya besar sudah pulang, Bos. Katanya nyonya tidak bisa mengikuti pesta, karena beliau tidak boleh terkena angin malam terlalu lama."

"Ya, mom memang tidak boleh masuk angin."

Drtt... Drtt...

Getaran ponsel membuat Dean terkejut. Ia merogoh ponsel dari saku jas lalu menyuruh Matt untuk memeriksa dan menambahkan apabila ada yang kurang sebelum para tamu undangan berdatangan.

Setelah si supir menjauh, Dean segera menghubungkan panggilannya. "Ada apa?" tanyanya datar.

"Dean, tangan kiri Eduardus sudah tidak bisa digerakan. Kedua kakinya juga sangat sulit untuk berjalan. Dia harus dibantu kalau mau ke toilet. Menurutku kakinya sudah tak mampu lagi menahan bobot tubuhnya yang besar." Wanita di balik telepon itu ternyata adalah Rebecca.

"Kalau begitu malam ini juga kau harus paksa dia untuk menandatangani persetujuan penjualan perusahannya. Kau buat seakan-seakan dia yang mau menjual perusahan itu agar Kensky tidak akan menuntut."

"Apa harus malam ini?"

"Ya. Aku khawatir kalau menundanya besok, kedua tangannya sudah tidak akan berfungsi lagi. Yang ada aku malah gagal mendapatkan perusahaan itu dan kau sendiri juga tidak akan bisa menikmati uang dari hasil penjualan perusahan tersebut."

"Tapi, Dean ... apa kau yakin ada yang mau membelinya?"

"Aku yang akan membelinya, Rebecca. Uang itu akan kuberikan padamu. Lumayan bukan jika kau dan Soraya gunakan uang itu untuk bersenang-senang?"

"Kau benar. Baik, aku akan mendesaknya untuk menandatanganinya malam ini. Tapi, Dean .... "

"Apalagi?"

"Kensky ada di rumah. Aku takut dia akan tahu dan membatalkan rencana kita."

"Malam ini ada pesta kantor di mensionku. Pastikan dia harus datang agar kau bisa menjalankan tugasmu dengan baik."

"Baiklah, tapi bagiamana dengan rumah ini, apa kau akan membelinya juga?"

"Apa pun yang menyangkut harta dan kekayaan Eduardus, sudah pasti akan kubeli, Rebecca. Kau tenang saja. Aku memang sudah berniat akan membuat suamimu itu jatuh miskin dan tinggal di jalanan seperti yang dia lakukan dulu terhadap aku dan ibuku dulu."

"Ba-baiklah, sampai nanti. Aku akan mengabarimu kalau aku sudah berhasil mendapatkan tanda tanganya. Malam ini juga adalah kesempatanku untuk mencari sertifikat rumah ini jika aku ingin menjualnya. Kuharap kau bisa mengulur waktu untuk pesta itu, agar aku bisa mencari sertifikat itu tanpa sepengetahuan Kensky."

"Kau tenang saja, aku sudah memikirkan hal itu jauh sebelum kau katakan."

Tut! Tut!

Dean memutuskan panggilannya. Dengan tatapan tajam ia menatap kosong dan berkata, "Aku akan membuatmu hidup di jalanan, Eduardus, hidup di jalan seperti yang pernah kau lakukan pada kami dulu."

Continued___