5 Kembali kuliah

Mobil mewah warna hitam milik Panji berhenti di depan halaman kampus tempat di mana Algis menuntut ilmu, kampus terlihat bersih dan sejuk meskipun baru jam tujuh pagi tapi sudah banyak mahasiswa yang datang ada yang membawa mobil sendiri jika memang mereka berasal dari keluarga orang mampu. Ada yang datang naik motor atau diantar jemput oleh kerabatnya.

Algis melepas seatbelt yang melekat di tubuhnya.

"Terimakasih Mas, sudah di antar sampai sini," kata Algis, orang yang diajak bicara hanya menganggukkan kepala. Algis membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil.

Tak jauh dari mobil Panji, ada dua sahabat Algis, Bastian dan Maura. Melihat sosok Algis keluar dari mobil mereka berdua bergegas berjalan mendekati Algis.

"Algiiiiiissss ... bayik gue yang paling manis satu kampus! Kangen gue. Lama banget lo gak masuk kuliah, kakak lo yang nikah kok lo yang libur kuliah."

Teriak Maura sambil memeluk tubuh Algis erat-erat. Yang dipeluk hanya diam pasrah Algis sudah biasa dengan tingkah Maura yang lumayan aneh.

"Udah sih Ra ... lebay banget sih," kata Bastian cowok berperawakan lebih tinggi dari Algis, sambil melepaskan pelukan Maura dari tubuh pemuda manis teman baiknya.

"Apa sih lo, sirik banget!" sewot Maura.

"Algis!"

Algis menoleh ke sumber suara itu. Dia terheran ternyata Panji belum pergi. Panji berdiri di luar pintu mobil.

"Jam berapa kamu pulang?" tanya Panji.

"Emm ... Algis belum tau Mas."

Hari ini adalah hari pertama Algis masuk kuliah setelah dia tidak masuk berhari-hari, jadi dia tidak tau jam berapa akan pulang. Dia harus mengejar tugas yang tertinggal.

Panji berjalan mendekati Algis, sedangkan kedua temannya diam mereka sedang loading.

"Hp kamu mana?"

Algis merogoh kantong celananya lalu menyerahkan telepon genggam miliknya pada pria bertubuh tinggi di depannya. Panji meraih benda tipis itu dari tangan Algis lalu mengetik sesuatu.

 

"Kabarin aku kalau pulang," kata Panji datar sambil menyerahkan telepon genggam kembali pada pemiliknya.

Panji membalikkan badan lalu berjalan ke arah mobil. Tak lama mobil Panji mulai berjalan meninggalkan Algis, Bastian, dan Maura dalam keterdiaman.

"Busetttttttt ... itu siapa lo Gis. Gila ganteng banget. Oh ... God! Bisa sempurna kayak gitu. Tinggi, badan atletis, mukanya ganteng ganteng banget," kata Maura dengan suara gemas tertahan penuh damba.

"Ampun ... hottt banget dia. Bisa bikin..."

Plakkk.

Bastian memukul kepala Maura pelan.

"Kalo lo mau bilang RAHIM ANGET lagi, gue buang lo ke kolam ikan belakang kampus!" kesal Bastian.

"Apa sih lo, sirik banget sama gue!" teriak Maura tidak terima.

"Ya lo tuh ... cewek ngomong gak pakek sensor."

"Eh ... Bastian Anggara Putra, kalo tiba-tiba gue ngomongnya pakek sensor, itu justru warning buat lo, tandanya gue gak baik-baik aja paham gak lo!" kata Maura sambil menarik rambut Bastian.

"Aaauuuuu.....sa..kitttttttt ra.. sialan"

Bastian meringis kesakitan. Melihat kedua temannya Algis menggelengkan kepala. Bastian dan Maura tak pernah akur jika bertemu mereka pasti saling hujat saling pukul satu sama lain. Namun biarpun seperti itu keduanya tetap menyayangi tak jarang Maura mentraktir Bastian ataupun membantu tugas kuliah.

Panji menambah kecepatan mobil, jarinya menekan tombol power pada tape music di depannya. Lagu dari  Charlie Puth melantun

we dont talk anymore...

we dont talk anymore...

we dont talk anymore...

like we used to do...

Sebenarnya Panji tadi saat menghampiri Algis dia ingin bertanya apakah Algis membutuhkan sejumlah uang untuk keperluan kuliahnya, karena mamanya sempat menelpon Panji untuk memberikan sejumlah uang pada Algis. Kata mamanya, Algis sudah menjadi bagian dari keluarga Suryadi, jadi kebutuhan Algis pun akan ditanggung oleh keluarga Suryadi, dan kata mama Panji itu adalah tugas panji karena sekarang Panji adalah tulang punggung keluarga.

Panji sendiri setelah kejadian di kamar saat tanpa sadar ia memeluk bahkan menindih tubuh Algis membuat Panji merasa tak nyaman.

Dia takut Algis berpikir yang tidak-tidak. Sampai hari ini Panji masih pria lurus selurus-lurusnya. Dia adalah pria casanova banyak wanita yang mengantri untuk dijadikan miliknya dia tak pernah serius dengan sebuah hubungan dia berganti dari wanita satu ke wanita lain hanya untuk bersenang-senang. Berbeda dengan sahabatnya Radit yang menurut Panji jenis pria pemakan segala.

Panji hanya bercinta dengan wanita, tidak ada kamus nya Panji memeluk atau menindih seorang pria. Tapi yang tadi itu apa??!! Panji menghela nafas panjang.

Kebiasaan buruk itulah yang membuat kedua orang tuanya sibuk mencarikan Panji gadis dari keluarga baik-baik. Mereka percaya jika Panji menikah memiliki istri, sikap buruk Panji akan berubah. Sekalipun tak pernah ada wanita muda yang datang ke rumah untuk minta pertanggung jawaban tapi tetap saja kebiasaan Panji pulang larut malam bahkan pulang pagi buta membuat orang tua Panji cemas.

 xxxxx

Ketika jam makan siang Algis, Bastian, dan Maura berkumpul di meja kantin. Kantin tampak ramai sebagian mahasiswa menikmati makan siang mereka ada yang baru saja datang dan memesan makanan.

Algis dan teman-temannya duduk di meja dengan dua kursi di masing-masing sisi meja mereka bertiga duduk saling berhadapan.

"Bas ... sono lu pesen makanan," perintah Maura.

"Ogah... emang gue babu lu!" ketus Bastian.

"Lo mau gratisan gak? Kalau lo mau gratisan sono lo jalan usaha."

Akhirnya dengan terpaksa demi gratisan Bastian berdiri siap untuk memesan makanan.

"Lo mau pesan apa?" tanya Bastian pada Maura dengan nada suara sedikit kesal.

"Bakso aja sama es jeruk," jawab Maura sambil mengetik membalas pesan di ponselnya.

"Lo pesan apa Gis..." pada Algis suara Bastian melembut.

"Algis mau kwetiau goreng sama es teh."

Pemuda berbadan tinggi itu bergegas jalan untuk memesan makanan. Jika Algis selalu berpenampilan rapi dan stylish, hal itu tidak berlaku buat Bastian dia cuek pada penampilan sama seperti anak seni pada umumnya. Rambutnya yang sedikit panjang diikat kebelakang asal memakai celana jeans sobek-sobek dipadukan kaos dan jaket denim walau begitu tak mengurangi pesona Bastian. Yahh.... dia termasuk golongan cowok tampan yang diincar para mahasiswi, namun Bastian masih sendiri alias jomblo belum menemukan dambaan hati. Entah pada siapa hatinya akan berlabuh.

"Kok hari ini lu diam aja sih Gis?" tanya Maura pada Algis.

"Gak apa-apa kok," jawab Algis.

Bastian sudah kembali di tempat duduknya dia mengunyah kripik singkong, sebagian remahan kripik rontok dari mulutnya jatuh di atas celana jeans yang ia kenakan, ada juga yang tertinggal di sudut bibirnya. Melihat itu Algis merasa risih, dia itu suka kebersihan dan tidak suka sesuatu yang berantakan sekalipun dia anak seni. Algis mengambil tisu di depannya dan membersihkan sudut bibir Bastian.

"Jorok banget, kayak anak kecil makannya," kata Algis sambil terus membersihkan sudut bibir sahabatnya.

Bastian diam tertegun, dia menelan ludah menatap kearah Algis. Tatapan matanya sulit diartikan, sedangkan Maura...

"Cekrek..cekrek... cekrek"

Maura sudah sibuk mengambil foto Algis dan Bastian dari berbagai arah untuk mendapatkan angle yang pas. Gadis berambut sebahu itu tersenyum girang di bibirnya.

Menyadari itu kesadaran Bastian kembali ia berusaha menyambar ponsel Maura namun sang pemilik lebih cepat menghindar.

"Hapus gak Ra!!" teriak Bastian

"Yeeeee ... enak aja, susah-susah gue nunggu moment kayak gini kok di hapus. Gak sudi ya!"

"Gue gak mau foto gue lo jadiin bahan kegilaan lo sama temen-temen lo yang gila itu!"

"Terserah gue dong." Maura memasukan ponsel ke kantong celana jeans ketatnya. Aman!!

"Utu ... utu ... bayik gue makin gemesin sering sering kayak gitu ya hehhe." Maura mencubit gemas pipi Algis yang mulus dan kenyal dengan kedua tangannya seperti sedang gemas pada anak balita.

Algis hanya diam pasrah, dia tidak pernah protes seperti Bastian dengan perlakuan aneh Maura. Sejak pertama kali mereka bertiga bertemu sebagai mahasiswa baru, Maura memang sudah aneh seperti itu. Tapi dia gadis yang baik periang dan suka membantu jika ada orang lain dalam kesusahan, tepatnya jika Bastian yang kesusahan.

Tak lama setelah itu seseorang datang membawa pesanan yang dipesan Bastian tadi. Mereka bertiga mulai menikmati makan siang .

"Oh ya Gis, cowok ganteng tadi siapa kok lo belum cerita ke gue?" tanya Maura ingin tau.

"Harus ya kasih tau lu?" sela Bastian.

Maura melirik tajam ke arah Bastian, matanya seakan memerintah Bastian untuk diam.

Algis tak segera menjawab pertanyaan Maura. Tidak tau mau menjawab apa jika ada orang yang bertanya siapa Panji. Mau menjawab suami Kak Ajeng, bahkan kakaknya pergi kabur di hari pernikahan.

Mau menjawab teman, mungkinkah seorang Algis berteman dengan orang seperti Panji. Mau menjawab suamiku dia hanya duduk bersanding dan tanda tangan di buku nikah, bahkan dalam buku nikah itu bukan namanya bukan juga fotonya. Lalu siapa Panji untuknya?

Tunggu dulu, suami??? Kenapa kata itu terlintas dipikiran Algis bukankah Algis paham sejak awal semua yang terjadi hanyalah sandiwara. Lagi pula dirinya itu laki-laki, tidak mungkin mau main suami-suamian, main istri-istrian. Algis menggelengkan kepala berulang kali berusaha membuang pikiran yang tidak jelas itu.

"Heh ... lo kenapa?" Maura heran dengan sikap Algis.

"Hah, gak apa apa."

"So ... siapa cowok tadi?" Maura masih mengajukan pertanyaan yang sama.

"Sodara Algis," jawab Algis akhirnya.

"Gue kirain gebetan lu Gis hahhaha." Maura tertawa renyah.

"Kira kira dong Ra ... masa gebetan Algis cowok."

"Dih kenapa gue justru berharap Algis punya cowok keren kayak tadi kok. Algis kan manis, cantik, gak pantes dia jalan sama cewek. Yang ada cewek kalah cantik dari dia."

"Gila lu ya sesat banget jadi orang, makin aneh tiap hari berhenti lu jodoh-jodohin Algis sama cowok lain."

Maura mencebikkan bibir ke arah Bastian.

"Serah gue dong, Algis aja diam kenapa lu  yang rempong. Kenapa? lu ngiri? Tenang gue bakal cariin juga buat lo cowok yang lebih jantan dari lo hahha."

Cukup. Bastian sudah tak tahan dengan omong kosong temannya itu. Dia bangkit dari kursi lalu memiting kepala Maura.

"Auuuu.... lepas Bas... sakit aaaaa....."

"Terusin lo ngomong gak jelas lagi ya, gue masih suka cewek tau gak!"

"Gue lebih ridho liat lo sama cowok daripada sama cewek-cewek centil yang suka godain lo itu!"

"Rasain ini." Bastian makin mengerat kan lengannya di leher Maura.

"Aaaaaaa sakit Bas.....uhuk uhuk uhuk..." Maura terbatuk-batuk dia berusaha melepaskan tangan kekar Bastian namun Bastian tak mengampuni gadis itu.

Algis tersenyum geli melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Diam-diam dia bersyukur memiliki sahabat yang baik dan menyayangi dirinya. Dia yang tak mudah bergaul bisa diterima dengan baik oleh kedua sahabatnya, sejenak dia melupakan sesuatu yang sejak pagi mengganggu pikirannya.

"Hai...."

Tiba-tiba terdengar suara seseorang Bastian refleks melepas leher Maura, secara bersamaan ketiga nya Algis, Bastian, dan Maura menoleh ke arah datangnya suara itu.

Vanya, gadis cantik bertubuh langsing dengan rambut tergerai panjang berdiri di depan mereka. Di tangan kanannya ada beberapa tumpukan kertas berada dalam dekapan dadanya, sedangkan tangan kiri memegang botol minuman ringan. Bibir nya tersenyum indah cantik seperti bidadari kalau kata Bastian.

"Boleh duduk sini?" kata gadis itu meminta izin.

"Duduk aja, santai aja kalo sama kita-kita," jawab Maura.

Vanya duduk dengan anggun dekat Algis.

"Udah selesai makan siang ya" tanya Vanya.

"Ah ... gak juga, makanan juga belum habis kok," jawab Bastian.

Maura diam tak ikut menimpali obrolan lagi, ia melanjutkan makan tanpa minat memperhatikan sekitar lagi.

"Vanya gak pesan makanan?" Algis bertanya.

"Aku sudah makan tadi, kesini karena ada perlu. Eh liat kalian bertiga."

Gadis beriris coklat itu menatap ke arah Algis sambil tersenyum.

Meskipun berteman, namun Vanya jarang berkumpul dengan Algis dan yang lainnya karena dia beda fakultas. Kalau Algis, Bastian, dan Maura sama-sama anak seni bahkan satu kelas. Berbeda dengan Vanya, putri tunggal bapak Rektor itu menuntut ilmu di jurusan interior sesuai dengan sosoknya gadis cerdas, cantik, dan menarik.

Biarpun tidak satu fakultas, Vanya kerap sekali berkumpul dengan Algis dan yang lain. Dia tak jarang berkunjung ke fakultas seni dengan alasan macam-macam padahal nyatanya dia akan berkumpul dengan Algis Bastian dan Maura.

Drrrttttt drrttttttt

Algis merasakan ponsel nya bergetar. Ada pesan whatsapp masuk. Matanya membulat ketika membaca nama si pengirim pesan.

Ajeng: Apa kabar?

Algis: Kak ajeng... di mana sekarang kak???pulang kak kasian Bapak dan Ibu.

Tak ada balasan lagi setelah itu. Algis mulai gusar ia terus mengirim pesan ke nomor Ajeng namun sudah check list. Nomor kakaknya sudah tak bisa dihubungi lagi. Sejak pergi dari rumah nomor Ajeng memang tak bisa dihubungi. Teman-temannya ditanya, mereka tidak ada yang tau keberadaan Ajeng. Bapak dan ibunya sudah mencari kemana mana namun belum ada kabar. Mereka tidak mau melapor polisi demi menjaga nama baik keluarga Panji.

 

Bersambung.....

avataravatar
Next chapter