8 BERTEMU ARDHAM

Nadine dan Marvin menatap kagum kantor perusahaan yang cukup besar di mana perusahaan itu hanyalah sebagian dari anak cabang seorang CEO yang ternama yang tak lain adalah Ardham Devanka.

Nadine menoleh ke Marvin yang masih menelpon sekertaris Ardham.

"Gimana, jadi jam berapa kita bisa bertemu dengan Ardham?" tanya Nadine

"Sekitar jam empat sore, satu jam lagi, sebaiknya kita cepat-cepat mempersiapkan segala sesuatunya." jawab Marvin sambil menarik tangan Nadine memasuki area kantor Ardham.

Nadine mengikuti langkah Marvin dan membiarkan tangannya di genggam Marvin. Marvin mengajak Nadine naik lift ke lantai 25, di mana kantor Ardham berada.

Keluar dari lift Marvin segera menemui sekertaris Ardham.

"Maaf, saya adalah Marvin yang sudah ada janji akan memawancari Tuan Ardham untuk materi kuliah kami." jelas Marvin sembari menyalami sekertaris Ardham.

Nadinepun ikut memberi salam.

"Silahkan kalian masuk ke ruangan pertemuan yang di pojok sana, satu jam lagi Tuan Ardham akan menemui kalian." kata Sekertaris Ardham dengan sopan dan senyuman yang menghias di wajahnya. Marvin dan Nadine mengucapkan terimakasih , dan berjalan menuju ruang pertemuan yang berada di pojok ruangan.

Ruanganya terlihat cukup besar.

Marvin membuka pintu terlebih dahulu dan memberi jalan agar Nadine bisa masuk lebih dulu.

Nadine tersenyum tersanjung.

Langkah kaki Nadine begitu pelan, dengan matanya berkeliling menatap semua sudut ruangan.

Tepat di tengah dinding ruangan terpasang foto berpigora ukiran keemasan dengan ukuran yang sangat besar.

Foto seorang CEO ternama Ardham Devanka dengan posisinya yang berdiri menambah ketampanan dan kewibawaannya.

Nadine melihatnya tanpa berkedip, jantungnya terasa berlari, ingin membelai wajah tampan di foto pigora itu.

"Dengan melihat fotonya saja, jantungnya berlari cepat, apalagi bertemu dengan orangnya." Nadine menekan dadanya.

"Tampan sekali kan?" tanya Marvin mengagetkan Nadine dari lamunannya.

"Heeemm." Nadine tidak bisa berkomentar lebih, bibirnya terasa keluh.

"Ayo, sekarang kita persiapkan alat rekamnya dan beberapa foto untuk dokumentasinya nanti, serta beberapa skrip pertanyaan yang sudah aku buat, kamu yang mewawancarai atau aku?" tanya Marvin sambil mengeluarkan kameranya serta alat rekamnya.

"Kamu aja Marv, nanti biar aku yang memotretnya." jawab Nadine

"Oke, ayo kita kerja sekarang..waktu tinggal setengah jam lagi." ucap Marvin berjalan ke kursi paling depan dan meletakkan beberapa alat rekam di sana, dan menyerahkan kameranya pada Nadine.

Dengan sigap Nadine menerima kamera tersebut dan menyettingnya.

Dengan serius Marvin duduk di samping Nadine dan memilih beberapa pertanyaan yang lebih berbobot untuk berjaga-jaga sekiranya waktu yang di berikan Ardham hanya sedikit.

Nadine melihat Marvin yang fokus dengan catatannya, dan sesekali Nadine melirik ke arah pintu masuk berharap Ardham secepatnya datang.

Sungguh waktu setengah jam , serasa seperti seabad , terasa sangat lama.

Waktupun terus berjalan, dari menit ke menit, hingga tinggal detik ke detik.

Nadine memegang dadanya yang mulai berdebar-debar sedang Marvin merapikan kertas yang sudah di susunnya.

"Ceklek"

Pintu terbuka, nampak seorang laki-laki yang tampan bak dewa yunani, dengan wajah yang sangat tampan dan tatapannya yang dingin , rambutnya yang hitam tersisir rapi, dan alisnya yang panjang tebal, serta hidungnya yang mancung dan bibir yang tipis, sungguh nampak sangat sempurna seorang Ardham devanka.

Tidak ada yang akan percaya jika usia Ardham sudah berkepala tiga.

Nadine berdiri mengikuti Marvin yang langsung berdiri saat Ardham masuk.

Tangan dan kulit tubuh Nadine terasa dingin, jantungnya serasa berhenti berdetak, pandangannya tepat di manik mata Ardham yang juga menatapnya.

Namun dengan cepat Ardham mengalihkan pandangannya ke arah Marvin.

Segera Marvin menghampiri Ardham dan menyalaminya. Ardham sedikit tersenyum , dan menyilahkan Marvin untuk duduk kembali ke tempatnya.

Nadine masih berdiri terpaku tanpa bergerak, hingga Marvin menarik tangannya untuk segera duduk.

Nadine menjadi salah tingkah, tidak tahu harus berbuat apa, pikirannya kosong.

Hatinya merana dan terluka, tatapan mata dan sikap Ardham yang seolah tidak mengenalnya.

Sungguh sangat menyakiti hatinya. Nadine melepaskan nafasnya dengan kasar, dan menepis hatinya yang cengeng, dia harus kuat, harus kuat dan tidak boleh menampakkan kesedihannya.

Nadine membuka penutup cameranya dan memulai mengambil gambar Ardham yang akan di wawancarai Marvin.

Ardham duduk di kursi dengan santainya, namun pandangannya mengarah ke Marvin tanpa berkedip.

Marvin yang sudah bersiap-siap dengan beberapa pertanyaannya, mengalihkan pandangannya ke arah pintu karena ada seseorang yang membukanya tanpa mengetuknya.

Nadinepun mengikuti arah mata mata Marvin yang melihat ke pintu.

"Deg"

"Bibi Anna !" panggil Nadine dalam hati.

"Apakah aku mengejutkan kalian?" tanya Anna dengan senyuman yang sangat ramah. Anna bergantian menatap wajah Nadine, Marvin dan Ardham.

Anna menghampiri Marvin dan Nadine, dengan cepat Marvin menarik pundak Nadine untuk berdiri.

Dengan senyum hormat Marvin menyalami Anna. Nadine pun ikut menyalami Anna. Nadine berpikir pasti Anna juga akan bersikap seolah tidak mengenalnya seperti Ardham kepadanya. tapi sungguh di luar dugaan. Anna memeluk Nadine dengan sangat senang.

"Nadine? kamu benar Nadine kan?" cecar Anna dengan senyum mengembang.

Nadine yang masih dalam pelukan Anna, hanya bisa mengangguk hormat, bibirnya terasa keluh.

Marvin yang belum tahu hubungan Anna dengan Nadine, hanya menatap dengan pikiran yang penuh tanda tanya.

"Sini Nad, duduk dekat sama bibi." Anna menepuk kursi empuk di sampingnya, sedangkan Anna duduk di samping Ardham. Bagaikan anak anjing , Nadine hanya bisa menuruti apa kata bibinya.

Nadine duduk dengan hati yang tidak karuan. Marvin hanya bisa membuka mulutnya dengan pandangan yang tidak percaya.

"Bibi? berarti Nadine adalah ponakan Anna, lalu Anna siapanya Ardham?" pikiran Marvin berputar cepat.

Ardham yang melihat tingkah Marvin dari tadi, hanya bisa menarik nafas dalam, begitu sangat dalam.

"Bibi An, maaf saya tidak bisa duduk di sini, karena saya di sini dapat tugas dari dosen saya untuk mewawancarai Tuan Ardham sebagai CEO yang ternama di kota N." Nadine menjelaskan kedatangannya dengan hati yang sungguh terluka, melihat Bibinya Anna masih bersama dengan Pamannya Ardham.

"Jangan panggil Tuan pada Pamanmu sendiri Nadine." Anna menasihati Nadine.

Marvin yang mendengar ucapan Anna, semakin terkejut.

"Jadi Nadine keponakan Ardham? kenapa Nadine merahasiakannya, dan seolah tidak mengenal Ardham saat dia memperlihatkan foto Ardham?" Marvin menggaruk lehernya, ini sepertinya ada sesuatu yang sangat rumit.

"Baiklah Tuan Ardham, bisakah kita memulai wawancaranya?" Marvin mencoba mencairkan suasana dengan fokus pada wawancaranya.

"Silahkan." jawab Ardham dengan suara beratnya yang khas, yang bagi Nadine begitu terdengar sangat seksi dan menggetarkan hatinya.

avataravatar
Next chapter