1 Lab Bahasa

Langit cerah bak lautan samudera dengan hiasan awan yang menari-nari diatas langit seakan menjadi penyemangat awalnya hari pagi yang cerah ini. Kecuali untuk seorang gadis cantik itu yang malah harap-harap cemas didepan sebuah ruangan.

Seorang gadis berambut panjang sepunggung itu tengah berdiri dengan gelisah didepan ruang guru. Ia meneguk salivanya kasar dengan sesekali meremas jari-jari tangannya cemas. Memantapkan hati untuk yang kesekian kalinya, akhirnya ia mulai memberanikan diri memasuki ruang guru.

Fiana namanya, gadis cantik itu menatap Bu Rika—guru administrasi disana dengan perasaan yang campur aduk. Menunduk dalam tak berani menatap Bu Rika tepat.

"Ada apa Fiana?"Tanya Bu Rika penuh keheranan. "Eumm... a-anu... i-itu Bu..."Penuh kebingungan saat berucap, gadis itu kali ini malah mengigit bibir bawahnya kuat.

"Ada masalah?"Tanya Bu Rika sekali lagi, kali ini kedua tangannya melambai ringan mengisyaratkan agar Fiana terduduk santai diseberang kursinya yang terhalang oleh meja kerja.

Fiana menghela nafas berat, kembali merutuki diri akibat malah gugup begini saat mulutnya ingin mengucapkan tujuannya memasuki ruang guru.

"Ayo Fiana! lo pasti bisa!"Batinnya mencoba menyemangati diri sendiri.

"Saya belum bisa membayar SPP Bu. Orang tua saya belum mampu membayarnya."Jelas Fiana yang segera menutup rapat bibirnya, kedua sudut matanya bahkan sudah mulai berair walau ia tetap berusaha menahannya.

"Tidak masalah, tapi kamu harus mengerjakan ujian di Lab Bahasa sampai SPP kamu bisa dibayar. Tapi bila masih belum bisa dibayar juga ya terpaksa seminggu ini kamu harus mengerjakan ujian di Lab Bahasa."Balas Bu Rika dengan senyum maklum nya.

Fiana mengangguk singkat dan segera pamit undur diri untuk menuju Lab Bahasa mengingat bel baru saja berbunyi nyaring.

Tap! Tap! Tap!

Langkah kaki ringan diantara koridor yang sudah sepi tak membuat seorang gadis cantik itu menghentikan langkahnya. Berbagai kalimat penyemangat ia ucapkan sebisa mungkin semoga ia tak mendapatkan masalah selama seminggu ini di Lab Bahasa.

"Fiana!"

Gadis yang baru saja dipanggil itu menolehkan kepalanya mencari-cari seseorang yang baru saja meneriaki namanya. Ia mengerjab kecil saat mengetahui Guru mapel Bahasa Indonesia lah yang memanggilnya, Pak Ali namanya.

"Kamu mau ujian di Lab Bahasa kan?"Tanya Pak Ali berbasa-basi sedikit. "Iya pak."Jawab Fiana seadanya sambil menunduk kecil tak berani menatap tepat kedepan wajah Pak Ali.

"Kalau begitu sekalian bareng saya saja."Kata Pak Ali yang berjalan terlebih dahulu dan segera diikuti oleh Fiana dari belakang.

Diantara keheningan suasa tak membuat keduanya dilanda kecanggungan. Sesekali Pak Ali melontarkan pertanyaan seputar pelajaran yang segera dibalas cepat oleh Fiana.

Singkat cerita, sesampainya di Lab Bahasa, Fiana segera memasuki Lab Bahasa dengan perasaan takut akan murid yang juga mengikuti ujian disatu ruangan bersamanya selama seminggu ini. Gadis itu masih berdiri didepan kelas akibat permintaan Pak Ali.

Dia menatap kikuk kearah murid-murid yang juga mengerjakan ujian di Lab Bahasa. Bukannya apa, masalahnya mereka semua adalah para siswa yang terkenal akan kenakalan yang mereka buat disekolah. Fiana hanya takut bila menjadi bahan bully-an para siswa nakal sekolah.

Apalagi dengan Ziano.

Salah satu bos geng dikelasnya yang berada di 9A. Pemuda itu selalu menindas bawahannya, mau yang pendiam ataupun yang dekat dengannya. Semuanya Ziano tindas, tapi anehnya, dia tetap memiliki banyak teman.

Fiana tak pernah menyukai sifat Ziano bila berada di kelas, walaupun Ziano tak pernah mengusiknya, tapi tetap saja, Fiana jadi risih sendiri melihat teman laki-lakinya sering ditindas oleh Ziano.

Salah satu dari siswa yang Fiana kenal berdiri dari bangkunya dengan mengembangkan senyum lebarnya.

"YESSS! ADA FIANA WUHUI!"Teriak seorang siswa yang baru saja berdiri itu dengan heboh membuat semua siswa menatapnya dengan heran. Panggil saja Ilyan.

"Fiana yang pernah jadi juara 1 di kelas 8D kan? Yang sampai jadi juara umum rangking 2?"Tanya siswa lain memastikan merasa kurang yakin dengan ucapan Ilyan.

"Ho'oh, temen sekelas gue dulu waktu di kelas 8D."Jawab Ilyan sambil membusungkan dadanya merasa bangga memiliki teman seperti Fiana.

"WIDIH...! MERDEKA NIH PARA SISWA YANG ADA DI KELAS LAB BAHASA!"Celetuk Ziano dengan riang, tak memperdulikan tatapan tak ikhlas dari wajah Fiana.

Sorakan heboh mulai terdengar dimana-mana membuat suasana Lab Bahasa menjadi ricuh tak terkendali. Fiana yang awalnya tegang menjadi tertawa kecil melihat kehebohan para murid nakalnya sekolah ini.

"Sudah-sudah diam!"Tegur Pak Ali sambil menepuk kedua tangannya, mencoba menghentikan semua siswa yang bersorak ramai. "Silahkan kamu duduk Fiana."Kata Pak Ali mempersilahkan.

Gadis cantik dengan wajah bak model itu mengangguk singkat dan berjalan menuju bangku deretan tengah barisan ke 3. Di Lab Bahasa ada 5 deret bangku dan 5 deret barisan dengan satu meja dan satu kursi.

Rata-rata para siswanya memilih bangku dibelakang—walau masih ada yang  duduk didepan. Dibarisan yang diduduki Fiana, paling depan ada Geon, lalu dibelakang Geon ada Ilyan, baru Fiana duduk dibelakang Ilyan.

Pak Ali langsung membagikan kertas ujian dan LJK. Kelas yang awalnya tenang kembali ricuh disebabkan oleh Treno dan Arfan yang mencari contekan.

Beberapa siswa yang mencoba berkonsentrasi terang-terangan mendecak kasar, saat mendengar bisikan tak bermutu dari Treno dan Arfan.

Duk!

Fiana agak tersentak saat bangkunya ditendang kecil dari belakang, ia segera berbalik dan menatap Ziano yang berada tepat dibelakangnya.

"Nomor 1 dan 2 apa?"Tanya Ziano sambil tersenyum meringis. Gadis itu sedikit mengalihkan perhatiannya. Sebenarnya ia tak rela memberikan contekan kepada Ziano, tapi ia tak mungkin melawan karena Fiana tak akan berani dengan pemuda itu.

"A dan C."Jawab Fiana terkesan memaksa, Ziano yang mendengarnya sedikit merasa aneh, tapi ia tak menghiraukannya, yang terpenting sekarang, ia sudah mendapatkan jawaban.

Deno—salah satu siswa yang melihat Ziano sudah mendapatkan jawaban langsung menendang kaki pemuda itu kasar karena bangku Deno memang berada disamping kanan Ziano.

|•|•|•|

Dalam kurang waktu 1 jam 30 menit lamanya, Fiana sudah berhasil menyelesaikan ujian. Sekarang ia malah disibukkan memberikan jawaban kepada para siswa yang sudah rusuh tak karuan, walau hatinya memberontak tak ingin memberikan contekan, tapi apa daya, ia tak akan berani melawan.

Reyhan yang terduduk tepat di sisi kiri Fiana menolehkan kepalanya. Ia sedikit menimang sesuatu yang pada akhirnya memantapkan keinginannya.

"Fin,"Panggil Reyhan terkesan lirih membuat yang memang peka segera mengalihkan atensinya. "Apa?"Tanya Fiana yang sudah bisa mengartikan panggilan dari pemuda di sisi kirinya itu.

"Nomer 11 sampai 20 apa?"Tanya Reyhan sambil tersenyum bodoh bak orang tak tau malu. "A, A, A, C, B, D, D, A, A, B."Jawab Fiana dengan pelan yang kali ini menghela nafas berat.

"Berhentilah... gue capek kalau gini terus."Batin gadis cantik itu yang terus merapalkan doa agar tak ditindas selama seminggu ini.

"Ok-ok."Balas Reyhan yang langsung menulis jawabannya.

Pak Ali yang tengah terduduk dikursi guru menghela nafas berat. Para siswa nakal ini sangat susah bila ditegur memang, diam sebentar lalu nanti pasti ramai lagi.

30 menit kemudian...

KRING~KRING~KRING~

"WOI GUE BELUM INI! FIANA!"Teriak Treno terkesan amat heboh karena dirinya belum selesai mengerjakan soal ujian.

"Nomer berapa yang belum?"Tanya Fiana sembari menatap malas kearah Treno. Pemuda itu bahkan sudah berdiri dari bangkunya yang berada dibelakang Deno dengan tangan mengibarkan LJK.

"FIANA LO PAHLAWAN GUE~ NOMER 40 SAMPAI 50 DONG!"Teriak Treno sambil berjalan menuju bangku Arfan yang memang berada disamping kanan Fiana.

"C, C, C, B, A, D, A, D, B, A."Tak ikhlas dan tatapan penuh kelemahan. Itulah yang bisa dideskripsikan saat melihat wajah Fiana sekarang ini. Gadis cantik dengan perawakan manis itu bahkan benar-benar sudah pasrah sekali menjadi contekan para anak nakalnya Lab Bahasa.

Treno segera menulisnya dengan cepat, tak ingin ketinggalan waktu, tanpa pikiran lebih matang, dia langsung mencoret jawabannya diatas kertas penuh pilihan itu. Salah seorang siswa, panggil saja Rivan segera berdiri dari bangkunya yang berada dibelakang Reyhan.

Pemuda jangkung yang memiliki lesung pipit itu tersenyum manis kearah Fiana yang terlihat sudah berwajah tak bersahabat sama sekali.

"Coba deh liat."Kata Rivan yang meletakkan LJK nya di meja Fiana, gadis itu mengerjab pelan dan semakin menggenggam erat LJK miliknya. Kedua tangannya bergetar kecil, tapi tak lama kemudian, ia juga ikut meletakkan LJK nya di meja.

Benar dugaannya, Rivan tanpa sopan segera menyalin jawaban Fiana tanpa memikirkan perasaan gadis itu. Dan lagi, dua orang siswa yang melihat itu juga langsung ikut merapat dan mencontek bersama.

"Kenapa jadi begini... gue gak mau jadi alat contekan mereka... gue... harus bagaimana...?"Batin gadis itu dengan sudut mata yang samar-samar sudah mengeluarkan air.

"GUE DAH SELESAI!!"Teriak salah satu siswa pemilik gigi kelinci lucu yang sering dipanggil dengan nama Juna. Pemuda itu melompat dari bangkunya yang berada tepat dibelakang Ziano dan berniat segera mengumpulkan LJK-nya ke meja guru.

Tapi naas, saat melewati bangku Indra yang letaknya berada disebelah kiri bangku Geon, pemuda pemilik bibir tipis itu dengan sengaja menendang Juna dengan kesal, dan refleks, membuat sang korban langsung tersungkur kedepan dengan alay-nya.

Siswa lain yang terduduk disebelah kanan bangku Geon tertawa dengan keras, alih-alih menolong, pemuda bernama Alvin itu malah menghebohkan suasana dengan memukul mejanya berkali-kali melihat Juna yang terjatuh dengan tidak elitnya.

"Ni anak kenapa sih?"Tanya seorang siswa yang dikenal sebagai bos geng terkuat di SMP Negeri 1 Jaya ini, Jihan namanya, berandal nomer 1 disekolah yang langsung ikutan menendang bokong Juna tanpa dosa.

Tak memperdulikan teman yang tengah tersiksa, Alvin dan Treno malah guling-gulingan didepan kelas melihat bagaimana nistanya Juna saat ditendang oleh Indra dan Jihan.

"LEON! GUE DIBULLY NIH!"Adu Juna terkesan merengek dengan memanggil nama Leon, salah satu teman sekelasnya yang begitu dekat dengannya, walau pada nyatanya, Leon jarang sekali berbaik hati kepada pemuda bergigi kelinci itu.

Pemuda yang namanya barusan terpanggil itu membalikkan badan, sehabis mengumpulkan LJK, ia tanpa minatnya menatap datar kearah Juna yang sudah memegangi kaki kirinya.

"Minggir sana lo!"Pengusiran terdengar ketus dan tak banyak menaruh kepedulian itu malah melangkah lebar dan menuju bangkunya yang berada disebelah kiri Ken, seorang siswa yang dikenal sebagai kembaran Sai di Naruto.

Juna yang memang memiliki jiwa keras kepala dan pantang menyerah itu segera memeluk kaki kiri Leon dengan erat. Tak peduli bahwa tubuhnya terseret sekarang, ia tetap kekeuh dengan pendiriannya, ingin dibela oleh teman terdekatnya ini.

"Gue kasian sama Juna, hidupnya senista ini ternyata."Bukannya membantu, Ken malah mengeluarkan komentarnya, tak peduli lagi, pemuda itu berdiri dari bangkunya dan mengumpulkan LJK miliknya.

"WOI LEON! KASIAN TUH JODOH LO KOK DISERET-SERET!"Celetuk Hendri terdengar malah ikut menistakan, sambil tertawa kencang, ia menunjuk-nunjuk tak sopan kearah Leon.

"APA? JODOH? NAJIS!"Judes Leon dengan mata mendelik sinis. Kembali pemuda itu berjalan yang kali ini semakin melebarkan langkahnya mengingat Juna tak ringan dan semakin mengeratkan pelukannya di kaki Leon.

"HENDRIKUH...!"Melepaskan pelukan dari kaki Leon, pemuda pemilik gigi kelinci itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar mengisyaratkan agar Hendri membantunya berdiri.

Siswa yang terkenal akan senyum ramahnya itu terkekeh pelan dan mendekat kearah Juna untuk membantunya berdiri.

"HENDRI! KAU PAHLAWANKU...!"Memuji Hendri bak seorang penyelamat, Juna tanpa basa-basi segera memeluk Hendri dengan erat ala-ala teman cowok seperjuangan.

"Dasar homo."Cibir seorang siswa yang baru saja melewati tempat berdirinya Hendri dan Juna sambil bergidik ngeri, tak mengerti bagaimana bisa mereka malah berpelukan sambil melompat ria bak anak gadis.

Fiana yang awalnya merasa tertekan dikelas kali ini tertawa geli melihat tingkah Juna dan Hendri yang sangat mirip dengan anak SD. Setidaknya ada beberapa hiburan yang menurutnya berlebihan, tapi bisa membuat dirinya tertawa seperti ini.

Setelah dirasa semua sudah selesai, Fiana langsung mengambil LJK nya yang berada diatas meja dan mulai melangkah untuk mengumpulkannya.

Pak Ali hanya menggeleng kecil melihat  tingkah laku para siswa yang mendapat gelar Nakalnya Sekolah ini. Ia menghela nafas lalu mulai menatap LJK yang tertumpuk dihadapannya, setelah semua LJK terkumpul, Pak Ali segera pamit undur diri mengingat beliau sudah sangat telat keluar dari kelas Lab Bahasa.

"FIANA! TERIMA KASIH UDAH MAU KASIH CONTEKAN!!"Teriak Arfan dengan semangat sembari berlari riang kearah Fiana.

"Masih ada yang mau berterima kasih ternyata."Batin gadis cantik itu dengan bibir yang melengkung tipis.

Belum juga sampai ditempat, Arfan sudah terlebih dahulu ditendang oleh Jihan dari belakang dengan tampang tak berdosa. Tak peduli melihat Arfan yang sudah menabrak beberapa kursi dan berakhir tersungkur ke lantai, dengan cuek, sang pelaku tendangan maut tadi melangkah melewati Arfan begitu saja.

"Berteman?"Tanya Jihan sambil mengulurkan tangannya dihadapan Fiana yang hanya menatapnya dalam diam.

Ragu?

Tentu saja, Fiana amat ragu, menerima pertemanan ini pun, gadis itu pasti tak akan bisa menerimanya dengan lapang dada. Atau bisa kita artikan, masih setengah ikhlas karena merasa hanya dijadikan alat contekan.

"Kenapa?"Keberanian yang terkumpul akhirnya muncul, tak peduli apapun yang terjadi selanjutnya, Fiana hanya ingin bertanya.

"Kenapa apanya? Gue gak suka basa-basi, berteman apa enggak?"Tanya balik Jihan, terdengar memaksa di telinga Fiana, tapi sebenarnya tidak, memang seperti itu sifat Jihan.

Tangan kecil itu sedikit bergetar saat diulurkan, disaat telapak tangannya sudah menyatu dengan milik Jihan, ia akhirnya mengangguk. "Hm, berteman."

"Gue mau istirahat dulu bro! Takut kelewat entar!"Pamit Alvin yang sudah keluar kelas bersama Arfan. "Oh iya, he Wil ayo!"Ajak Indra yang kali ini juga ikut berjalan keluar kelas bersama William.

Beberapa siswa mulai membubarkan diri dan keluar dari kelas. Fiana melepaskan tangannya dengan cepat dan mengalihkan perhatiannya. Tanpa pamit, gadis itu segera keluar dari kelas membuat Jihan menatapnya aneh.

"Kenapa si Fiana itu? Aneh."

|•|•|•|

Drap! Drap! Drap!

Hentakan kaki yang terdengar nyaring akibat gesekan antara sepasang sepatu dan lantai koridor sekolah membuat beberapa siswa yang tengah berjalan santai mencibir kecil.

Siapa lagi kalau bukan Fiana pelakunya. Gadis berambut panjang sepunggung itu berharap bisa berlari sejauh-jauhnya dari Lab Bahasa. Ia amat takut, sangat takut dengan keadaan yang menimpanya ini.

Tapi ia tak bisa menyerah disini, karena seperti ucapan ayahnya.

"Menyerah bukanlah sikap yang terpuji, sesulit apapun masalah kamu, tak baik kamu menyerah begitu saja, jalanilah! Hadapilah dengan lapang dada! Karena Ayah percaya! Anak Ayah adalah gadis yang amat kuat!"

Benar.

Fiana adalah gadis yang kuat. Tak peduli walau sebenarnya ia sangat rapuh, tapi Fiana harus bisa menjalani masalahnya ini. Satu saja keinginannya! Jangan sampai dia terbully, atau Ayahnya akan merasa amat sedih.

Bertujuan menuju kelas 9A yang notabenenya adalah kelas aslinya, ia berlari lebih cepat dari tadi dengan beberapa umpatan kasar dari siswa ataupun siswi yang lolos begitu saja untuk menghujatnya.

Singkat cerita, sesampainya di kelas 9A, Fiana segera mendudukkan dirinya disalah satu bangku panjang didepan setiap kelas bersama ke-4 sahabatnya yang tengah menunggu terlebih dahulu.

"Lama amat dah."Celetuk Celsi yang baru saja mengetahui Fiana sudah terduduk disampingnya. "Maaf-maaf,"Sesal gadis cantik itu dengan senyum yang amat canggung.

"Kenapa gak ujian dikelas? kan ruangan kita sama?"Tanya Aila dengan curiga, kedua matanya bahkan sudah menyipit kecil seakan mengintrogasi Fiana. "I-itu... gue belum bisa bayar SPP."Jelas Fiana dengan suara yang semakin melirih.

"Lah? gimana sih orang tua lo?"Tanya Esie dengan mata yang mendelik tak suka. "Seharusnya orang tua lo itu kerja lebih keras lagi, untung aja lo masih bisa ikut ujian, kalau enggak? mau ujiannya gimana lo?"Serobot Mira tanpa dosa yang langsung membuat Fiana menggigit bibir bawahnya.

"Orang tua macam apa sih ini?"Tanya Aila disertai kekehan tak percayanya. "Orang tua kok gak bertanggung jawab banget sih!"Timpal Celsi disertai gelengan kecil kepalanya.

"Keliatan banget tuh kalau malas cari uang."Tambah Esie dengan dengusan kesalnya. "Cih! kelihatan miskin banget kalau gini ceritanya."Cibir Mira dengan pedas, tangan kanannya bahkan sudah menepuk keningnya merasa heran sendiri mendengar cerita Fiana.

Gadis cantik yang penuh dengan wajah polos itu mengepalkan kedua tangannya erat saat mendengar segala cemoohan yang sahabatnya lontarkan kepada kedua orang tuanya. Mereka ini sebenarnya sadar gak sih apa yang sedang mereka bicarakan itu?

"Kalian kalau gak tau apa-apa mending diem aja deh,"Kata Fiana dengan dingin sambil berdiri dari duduknya dan menatap nanar kearah ke-4 sahabatnya.

"Sadar gak apa yang baru saja kalian bicarakan ini!?"Tanya Fiana dengan sarkas dan emosi yang semakin memuncak.

"Punya otak tuh dipake! mikir gak kalau ucapan kalian itu bikin gue sakit hati! mikir gak kalian!?!?"Lanjut Fiana sambil mengusap sudut matanya yang mulai berair.

"NGOTAK! KALIAN PIKIR HATI GUE GAK SAKIT APA DENGER KALIAN JELEK-JELEKIN ORANG TUA GUE KEK GINI HAH!?!?"Nafas yang memburu dan setetes air mata berhasil lolos begitu saja.

"GUE KECEWA SAMA KALIAN!"Berbalik pergi dengan berlarian. Kembali ia dilontarkan umpatan kasar oleh beberapa siswa yang tak menyukai tindakannya. Tapi tak apa, dia hanya ingin menuju Lab Bahasa sekarang ini.

Aila, Mira, Celsi dan Esie tertegun mendengar teriakkan Fiana. Sebelumnya, gadis cantik itu tidak pernah berani membentak semua sahabatnya dengan alasan tidak ingin menyakiti hati sahabatnya, tapi lihatlah sekarang, dia benar-benar amat kecewa.

"Apa kita terlalu berlebihan tadi...?"

Singkat cerita, sesampainya di Lab Bahasa, Fiana langsung berjalan dengan cepat menuju mejanya. Ia menunduk dengan tangisan yang mulai pecah. Tak tahan dengan perasaan yang menyesakkan dadanya, gadis itu segera menyembunyikan wajah diantara lipatan tangannya.

Jihan yang melihat itu melebarkan matanya dan langsung memilih mendekat kedepan meja Fiana. Samar-samar Jihan dapat mendengar suara isak tangis dari mulut Fiana, segera saja ia berjongkok didepan meja gadis cantik itu dengan kening berkerut penuh keheranan.

"Ada apa Fin? ada yang ganggu? siapa? coba cerita biar gue kasih perhitungan sama mereka."Tanya Jihan terkesan menuntut penuh. Leon yang juga melihatnya segera ikut mendekat dan berjongkok tepat disamping Jihan. "Siapa yang lakuin ini?"Tanya Leon dengan lembut, pemuda itu beradu pandang dengan Jihan sambil sama-sama mengendikkan bahu tak mengerti.

Indra, William dan Geon yang baru saja memasuki kelas segera ikut merapat ketempat Jihan dan Leon  dengan perasaan keheranan.

"Ada apa?"Tanya William yang berdiri disamping Jihan yang masih berjongkok. "Ada yang buat Fiana nangis."Jawab Jihan dengan gigi yang menggertak geram.

"Siapa?"Tanya Indra dengan cepat yang langsung ikut berjongkok disamping kiri Jihan. Pemuda jangkung itu menggeleng lemah sebagai jawaban. "Fiana belum cerita."

"Gue tau siapa orangnya!"Kata Geon sambil mengepalkan kedua tangannya dengan erat dan mata yang mengkilat menahan amarah. "Siapa orangnya?"Tanya Leon segera.

"Sa—"

"HELLO RAKYATKUH...! PANGERANMU DATANG!"Teriak Juna yang baru saja memasuki kelas dengan semangat.

"YO WHATS APSS! MOST WANTED DISINI!"Lanjut Hendri yang juga memasuki kelas dengan melompat riang.

"COGAN SEANTERO SEKOLAH KEMBALI!"Sambung Treno yang langsung melompat heboh bareng Juna dan Hendri yang memasuki kelas terlebih dahulu.

Memang pada dasarnya, ketiga pemuda itu paling hobi melompat kesana-kemari tanpa henti. Leon menggeram tertahan dan menatap tajam kearah Juna, Hendri dan Treno yang baru saja mendekat.

"Eitssss... ada apa ini? aura mas Leon kok horor?"Tanya Juna dengan ngeri yang diangguki setuju oleh Hendri dan Treno.

"Kalian bertiga mau gue gantung hah!?"Ketus Leon dengan galak yang membuat Juna, Hendri dan Treno kompak terlompat kecil mendengar suaranya yang begitu mengerikan.

"Buset! galak bet kek cewek PMS..."

"Bisa diem gak!?"Geram William dengan tangan menunjuk kearah Hendri, Treno dan Juna secara bergantian. "Ngeri bor...!"Celetuk mereka bertiga secara bersamaan.

"A-A-A-DOH...! LEON...! S-SAKIT WOI!"Teriak Juna setelah Leon menerjangnya dengan cekikikan maut.

"HUWAAAA...! INDRA...! G-GUE GAK B-BISA NAPAS!"Bahkan keadaan Hendri tak jauh beda dari Juna, karena ia sendiri juga dicekik oleh Indra dengan sadis.

"G-GEON LO MAU B-BUNUH GUE A-APA!?!?"Dan kali ini suara Treno yang menyahut akibat Geon yang juga maju mencekiknya dengan perasaan geram.

Jadi, Kubu Leon yang berisikan anggota dirinya, Indra dan Geon sebagai pencekik karena perasaan mereka yang sudah sangat geram mendengar kerusuhan yang diperbuat oleh Team Hendri. Sedangkan Juna, Hendri dan Treno menggeliat dan berteriak dengan keras saat merasakan leher mereka yang sebentar lagi bisa saja diputus oleh Kubu Leon.

William melengos kasar saat merasakan telinganya berdengung mendengar teriakkan cempreng dari anak buah Hendri. Jihan hanya cuek saja dan malah mengetukkan jari tangannya dimeja Fiana.

Ziano, Ilyan, Arfan dan Deno ternganga dengan lebar diambang pintu melihat bagaimana penyiksaan sadis yang dilakukan oleh Leon, Indra dan juga Geon.

"Sadis bener..."Celetuk Arfan dengan lirih sambil bergidik. "Indra mah dari dulu juga udah sadis,"Timpal Deno yang juga ikutan bergidik.

"Ho'oh, sampai dapat julukan psikopat segala lagi!"Lanjut Ziano sambil menelan salivanya kasar. "Ya tapi walau julukan psikopat terlalu berlebihan sih bagi gue, mau gimana lagi, Indra itu udah sadis, gila lagi kalau udah lawan musuh, ketawanya itu lo... ngeri..."Tambah Ilyan yang langsung mendapat tatapan horor dari Arfan, Deno dan juga Ziano.

"Untungnya setia kawan kan?"Serobot Ken dengan senyum manisnya dan lambaian kecil menyapa Ilyan, Arfan, Ziano dan Deno.

"ALLAHUAKBAR!!"Latah Deno yang refleks menatabok wajah Ken dengan kasar.

Ken meringis sambil terkekeh kecil memegangi jidatnya yang terasa berdenyut. Tanpa buang waktu, Reyhan, Rivan dan Alvin langsung memasuki kelas dan ikut bergabung dengan yang lainnya.

"Ada apa ini?"Tanya Rivan dengan kening berkerut melihat Jihan dan William menatap khawatir kearah Fiana. "Enggak tau, tadi tiba-tiba Fiana masuk kelas langsung nangis."Jelas Jihan sembari menghela berat.

"Siapa yang buat Fiana nangis?"Tanya Ilyan yang mensejajarkan tubuhnya disamping William.

"Sahabatnya,"Jawab Geon yang sudah melepaskan cekikannya dari Treno. Semua orang mengalihkan perhatian menatap kearah Geon meminta penjelasan lebih. "Tadi saat gue mau ke kelas 9C, gue denger Fiana marah dan bentak sahabatnya, intinya sahabat Fiana itu jelek-jelekin orang tuanya."

"Siapa nama sahabat Fiana?"Tanya Jihan dengan dingin. "Celsi, Aila, Esie dan Mira."Jawab Ilyan dan Ziano dengan kompak.

"Beraninya mereka!"Geram Leon dengan tangan yang mengepal sempurna. "Setelah ini jangan biarkan Fiana keluar kelas sendirian, siapapun harus ada yang menemani Fiana, urusan sahabatnya kita urus nanti."Jelas Jihan dengan tegas membuat semua temannya mengangguk paham.

"K-kalian semua t-tidak perlu melakukan i-ini."Ucap Fiana yang mulai menghapus air matanya dengan kasar.

"Tidak ada protes Fiana."Jawab Ilyan dengan lembut.

"T-tapi—"

"Tidak ada bantahan!"Tegas Jihan membuat Fiana merunduk kecil. "Sudahlah Fin, percaya sama kami."Jelas Ziano dengan senyum manisnya.

Fiana ternganga kecil saat melihat Ziano juga ikut menyemangatinya. Kenapa bos geng yang penuh dengan sikap egois sepertinya bisa seperti ini?

"K-kalian..."Fiana menggigit bibir bawahnya dan tersenyum haru. Jadi seperti ini rasanya berteman dengan anak laki-laki. Menjadi yang paling disayangi dan dilindungi.

Walau ia harus menelan pahit ingatannya akan menjadi alat contekan. Tapi tak apa, kali ini biarkan dia mencoba untuk percaya, hanya kali ini, jangan lagi ada ucapan buruk seperti yang sahabatnya katakan padanya.

"Terima Kasih."

avataravatar
Next chapter