1 MSL - BAB 1

Pagi ini aku sengaja datang ke kampus sangat pagi, setelah masa orientasi, semangatku membara demi menempuh pendidikan strata satuku.

"Pagi Bell . . ." Sapa seorang gadis muda, beramput keriting, tentu saja usianya dibawahku. Aku sudah lebih dari duapuluh tahun sementara dia baru delapan belas tahun.

"Hai . . ." Kami berpelukan singkat.

"It's crazy heh, setelah penyiksaan selama berhari-hari akhirnya kita bisa juga hidup normal." Ungkap Stefanie.

"Yup . . . Aku sudah tidak sabar mengikuti mata kuliah pertama kita."

"Aku mendengar rumor bahwa salah satu dosen di fakultas ini begitu keren, dia seorang pengusaha kaya raya yang mendedikasikan waktunya demi tetap concern di dunia pendidikan. Jadi dia itu praktisi sekaligus akademisi."

"Kau terdengar tahu banyak tentang dosen itu Stef."

"Aku bahkan sudah menggogle namanya dan begitu melihat profil dan foto-fotonya, OMG . . . dia begitu mempesona." Ujar Stef dengan berbunga-bunga, matanya bahkan bersinar mendakan betapa besar kekagumannya.

"Kau sendiri, apa kau punya alasan yang sama denganku saat memilih fakultas ini?" Tanya Stef mendadak, membuatku sedikit kikuk tapi akhirnya aku menggeleng. Aku bahkan tidak bisa dengan mudahnya mengakses google karena aku tidak memiliki smartphone. Satu-satunya alat telekomunikasi yang kumiliki adalah sebuah ponsel tua yang hanya bisa menelepon dan mengirim pesan singkat dengan SMS.

"Jadi kau benar-benar gadis pintar yang ingin menguasai sistem bisnis dengan cara kuliah?" Tanya Stef dan itu membuat alisku bertaut.

"Aku hanya ingin merasakan menjadi orang terpelajar." Ujarku. Entahlah, aku memang tidak pernah memiliki mimpi yang terlalu tinggi, karena aku takut jika suatu saat aku terbangun dan kenyataan tidak semenyenangkan mimpiku.

"Oh, ternyata banyak hal menarik lainnya yang bisa kita temukan di sinin." Ujar Stef mengalihkan pembicaraan.

"Apa?" Tanyaku bingung.

"Kau lihat pria di ujung sana, He's so cool right." Ujar Stef. Kurasa dia masuk dalam kategori benar-benar remaja.

"Kupikir kau hanya tertarik pada dosen yang kau bicarakan tadi." Ujarku menggodanya.

"Oh, dia terlalu tua untukku sebenarnya. Jadi jika ada yang lebih muda tentu aku akan memilih opsi kedua." Stef menyeringai dan aku memutar mataku. Teman baruku ini terlalu curious kurasa.

Kaki kami terus melangkah dan saat melewati pria yang di tunjuk oleh Stef dia menoleh kea rah kami. Stef benar-benar gila karena dia benari mengerlingkan matanya padahal dia jelas-jelas adalah senior kami di kampus. Si pria entah siapa namanya menatapku, atau aku juga mulai tertular sifat Stef yang sering terlalu percaya diri. Aku menunduk untuk menghindari kontak mata di antara kami.

"Oh ya, apa kau akan tinggal di dorm." Tanya Stef.

"Kurasa begitu." Anggukku. Aku tidak mungkin tinggal di tempat lain saat ini. Karena paket beasiswaku termasuk biaya hidup dan tinggal di dorm.

"Aku juga akan tinggal di dorm walaupun rumah kami juga di tengah kota."

"Kenapa?"

"Aku tidak suka tinggal di rumah bersama ibu tiriku."

"Oh . . .kau masih jauh lebih bruntung." Ujarku lirih. Hidupku jauh lebih pahit dari hidupmu Stef. Kau bahkan memiliki telepon pintar keluaran terbaru, mobil yang bisa kau kendarai kemanapun kau inginkan. Kau punya keluarga yang kaya walaupun sekarang kau harus tinggal bersama ibu tirimu. Bagaimana denganku, aku bahkan tidak pernah mengenal siapa orang tuaku.

***

Kami masuk kedalam kelas, beberapa sibuk dengan geng baru mereka, beberapa juga reunited dengan temen SMA mereka dan menyisakan aku yang sedang duduk membaca buku yang sudah ku pinjam dari perpus beberapa hari lalu untuk mempersiapkan matakuliah pertamaku. Sementara Stef sibuk stalking akun instagram sang ketua BEM sambil cengar-cengir sendiri.

Kami harus menunggu lebih dari sepuluh menit untuk tahu siapa dosen kami. Karena setelah menunggu sepuluh menit dengan kegaduhan yang tak teratasi, semua mahasiswa mendadak diam ketika sang dosen dengan kemeja biru dan celana jeans itu masuk kedalam kelas kami.

Semua mata tertuju padanya, terutama pada senyumannya. Dia terlihat sangat santai, dengan rambut klimis belah pinggir berwarna coklat dan lesung pipit menawan, tubuh tinggi tegap dan hidung mancung. Sempurna. Pemandangan yang sempurna untuk mengawali smester ini.

"Ok, welcome to my class." Kalimat pembukaannya seolah menyihir kami para kaum hawa di kelas itu. Sementara anak laki-laki tampak biasa saja dengan dosen itu, beberapa tampak cuek.

"My name is Christhopher Hudson, you can call me Chris."

"Hai Mr. Chris . . ." Sapa Lolita, mahasiswa paling centil di kelas kami sambil mengangkat tangannya, dia tampak mengenakan gaun pendek berwarna pink yang lebih cocok dikenakan ke pesta daripada ke kampus. Maklum karena kampus kami adalah kampus swasta, jadi soal pakaian tidak menjadi masalah besar.

Aku menoleh ke arah Stef dan dia memutar matanya. Kupikir Stef merasa jengah karena ada saingan dirinya yang sama-sama mengidolakan dosen itu. Dan sialnya Lolita benar-benar menawan dengan rambut blonde, bibir pink muda yang sempurna dan juga wajah merona. Dadanya juga proporsional untuk tubuh indahnya.

"Hai . . . what's your name?"

"Lolita Shayk." Jawabnya genit.

Mr. Christ menaikkan alisnya sambil tersenyum, "Wow . . . kau masih saudara Irina Shayk." Selorohnya.

"Mungkin kami memiliki nenek moyang yang sama, itulah mengapa aku secantik dirinya." Senyum Lolita kembali mengembang, tapi tatapannya jelas mengandung maksud lain.

"Can I aks you something?" Lolita bertanya dengan sauara manjanya.

"Go on." Ujarnya dengan suara berat dan terdengar sangat berwibawa. Aku bahkan harus mengusap leherku karena entah mengapa mendengar suaranya membuatku merinding mendadak.

"Bagaimana anda bisa menjadi seorang praktisi sekaligus akademisi yang tampan?" Godanya genit. Dan entah mengapa itu mengulas sedikit senyum di wajah Mr. Christ, dia bahkan tampak menggaruk ujung alisnya mungkin menurutnya pertanyaan itu benar-benar nakal atau sejenisnya.

"Aku akan membahas soal mengapa aku menjadi praktisi dan akademisi tanpa embel-embel apapun. Dan jawabannya sederhana, karena aku mencintai keduanya." Ujar pria itu dengan tatapan mematikan. Aku jelas tidak nyaman sekali ketika tidak sengaja mata kami bertemu. Dia tampak biasa saja, tapi aku tidak bisa sebiasa itu.

"Tanyakan apa yang kalian ingin tanyakan." Katanya sambil berjalan ke arah meja dan menyandarkan dirinya di meja, membuatnya seolah duduk tapi tidak benar-benar duduk di atas meja. Tangannya terlipat didada dan ekspersinya membiusku, rasanya aku bahkan tidak sanggup mengalihkan perhatianku darinya. Dan entah mengapa aku menjadi kikuk begitu tatapan kami bertemu.

"You . . ." Dia menunjuk ke arahku.

"Me?" Aku jelas gelagapan dibuatnya. "I have no idea Sir." Aku bergidik, jelas tidak siap untuk diajak bicara soal apapun.

"Come on, ask me something." Ujarnya sambil terus menatapku, oh God rasanya aku akan mengalami henti nafas dalam hitungan detik jika dia terus menatapku seperti ini.

"Em . . ." Aku memutar otakku, mencoba menemukan pertanyaan rasional yang terlihat berbobot untuk ditanyakan. "Bagaimana anda bisa membagi waktu antara bisnis dan mengajar Sir?" Tanyaku sangat normative.

Dia tersenyum. "I love my job, and I'll do everything I love with all of my heart. Aku punya jadwal rutin mengajarku dan ini kuanggap sebagai liburan, meninggalkan sejenak dunia bisnis dan bertemu anak-anak muda seperti kalian yang masih sangat innocent. But I believe one day, one of you or maybe more will be my partner of business or mybe my enemy." Ujarnya dengan tatapan yang fokus padaku, aku tertunduk dan hanya berani menatap matanya dari balik bulu mataku.

"So what's your name?" Tanyanya sambil menatap tajam ke arahku.

"Isabella." Jawabku lirih sambil meliriknya sekilas.

"Thanks for your question Bella."

"Yes Sir." Anggukku malu.

"Any other question?" Dia membuka kesempatan lagi dan tentu saja Lolita tidak menyia-nyiakan kesempatan.

"Apakah anda sudah menikah Sir?" Tanya Lolita dengan suara genit khasnya.

Mr. Christ tersenyum untuk dirinya sendiri. "What a curious question." Katanya. "Sould I answer this one?" Dia melempar ke forum dan semua anak perempuan menjawab dengan serempak "Yes!!!" Aku hanya tersenyum menebar pandangan ke sekeliling, meski aku juga ikut berteriak dalam hati.

"Isabella, menurutmu apakah aku sudah menikah?" Pertanyaan Mr. Christ ditujukan padaku dan lagi-lagi aku tidak siap menerimanya.

Aku menggeleng ragu. "May be not yet." Jawabku asal, sebenarnya itu lebih kepada aku berharap dia belum menikah.

"How do you know that?"

"You don't use the ring on your finger" Jawabku lagi.

"Good analyze." Katanya kemudian berjalan ke tengah kelas. "Dalam dunia bisnis, kita juga harus menjadi analis handal dalam membaca segala peluang. Karena bagi pebisnis, tidak ada peluang yang akan datang dua kali. Semua peluang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Analisa dan insting, semua berperan sangat penting untuk menentukan target-target kedepan. Dan kau, nona Isabella, You're good analyzer."

Dia sangat cerdas, bahkan ketika kelas melenceng jauh dari apa yang dibahas olehnya hingga masuk ke ranah sangat pribadi, dia bisa mengembalikan alurnya ke rel semula. Dan tanpa menjawab secara langsung pertanyaan Lolita, dia bisa membungkam semua pertanyaan yang bernada sangat priabadi di kelas ini.

"It's a good warming up. Aku ingin membuat kelasku terasa sangat santai tapi juga memastikan kalian mengerti mengapa kalian memilih jurusan ini. Sebagian mahasiswa masuk ke jurusan yang sebenarnya not fit with them, and this is the big mistakes they ever made."

"Mss. Shyank, berikan alasan mengapa kau memilih masuk jurusan bisnis?"

"Sederhana, ayahku pengusaha dan dia butuh penerus." Jawabnya sombong.

"Apa semua begitu?" Tany Mr. Christ dan sebagian anak berteriak mengiyakan. Menyisakan aku yang tertunduk malu.

"You . . . apa alasanmu masuk ke jurusan ini?"

"Ayahku seorang bankir, kurasa aku akan meneruskan profesinya."

"Good."

"You." Stefanie di tunjuk.

"Seperti Mss. Shyank, aku juga harus meneruskan bisnis keluargaku."

"And you Bella?"

Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, tertunduk untuk beberapa detik, rasanya ingin menghilang dari kelas ini seketika, tapi tatapan semua orang tertuju ke arahku. Oh God.

"Aku . . ." Aku menghela nafas dalam, cepat atau lambat orang akan kenal siapa aku. Lagi pula tidak ada yang harus ku sembunyikan. "Aku yatim piatu, aku tidak punya orang tua, apalagi bisnis keluarga." Imbuhku tanpa berani menatap Mr. Christ. "Aku penerima beasiswa di jurusan bisnis dan akan magang setelah selesai kuliah, jika pekerjaanku baik mungkin aku akan diangkat sebagai staf di perusahaan itu." Ujarku jujur, dan aku mengangkat wajahku menatap Mr. Christ saat mengucapkan kalimat terakhirku.

"Good . . . Jadi semua punya tujuan, semua punya alasan. Pertahankan alasan kalian hingga kalian menyelesaikan pendidikan dan bisa mencapai tujuan kalian." Ujarnya. Dia bahkan tidak menilai jawaban masing-masing mahasiswanya, dia membahasnya in general. Dan itu membuatku mengaguminya tiba-tiba karena dia tidak memandangku berbeda dari teman-temanku yang untuk kuliah di tempat ini harus membayar sangat mahal sementara aku gratis. Dua jam terasa begitu cepat, hingga akhirnya dia berhenti di titik kesimpulan.

"Jika kalian punya pertanyaan lain yang belum semat tersampaikan di kelas ini, kalian bisa mengirimkan email padaku. Aku akan meninggalkan kartunamaku di meja." Kata Mr. Christ.

"Thank you Sir." Sahut Lolita dengan mata berbinar. Kelas usai dan semua mahasiswa menghambur keluar kelas setelah Mr. Christ meninggalkan ruangan. Menyisakan aku dan Stef yang berdiri di depan papan pengumuman untuk memilih ekstrakurikuler yang sesuai dengan kami.

"Aku ingin ikut teater." Kata Stef.

"Wow itu sangat keren." Kataku masih mendongak melihat pilihan lainnya.

"Kenapa kau lama sekali Bell." Tanya Stef.

"Aku tidak memiliki hobi apapun Stef, dan itu menyulitkanku memilih pelajaran ekstrakurikuler.

"Katakan padaku apa alasanmu ikut teater?" Tanyaku, karena aku butuh contoh.

"Ada nama Nicholas di sana."

"Who's Nicholas?" Tanyaku bingung.

"Pria berambut pirang yang berdiri di ujung lorong tadi." Senyum Stef.

"Dari mana kau tahu pria itu bernama Nicolas?"

"Aku menemukannya di sini." Stef menunjukan sebuah akun media sosial dengan foto-foto pria itu.

"Oh God . . ." Aku menggeleng tak percaya.

"Mungkin aku akan memilih kelas majalah kampus atau sejenisnya." Kataku asal.

"Ok, terserah padamu. By the way, bagaimana kalau kita ke club malam ini, merayakan hari pertama kita di kampus."

"Sorry Stef, tapi aku harus bekerja. Kau tahu kan aku bisa jadi mahasiswa di kampus ini karena beasiswa."

"Aku akan mentraktirmu."

"Thanks, tapi aku harus bekerja."

"Ok, katakan padaku jika kau sedang libur bekerja."Stef bisa menerima meski dia terlihat sedikit kecewa.

"Tentu."

Kami berpisah setelah supir pribadi Stefanie datang dan membawanya pergi. Meski sempat ditawari tumpangan, aku merasa aku bisa pulang sendiri dengan berjalann kaki. Lagipula memanjakan diri adalah hal yang paling dilarang dalam seluruh kehidupanku.

Sesampai di asrama, aku bergegas mandi dan mengganti pakaianku, tak banyak waktu tersisa untukku, karena pekerjaan paruh waktuku sudah menunggu.

avataravatar
Next chapter