90 Bab 90

Soully masuk ke dalam ruang pengambilan uang tunai yang ada di depan gedung kantornya. Ia memasukkan kartu tipis pipih itu ke dalam sebuah mesin lalu menekan angka-angka yang diyakini sebagai password juga nominal yang akan ia ambil uangnya dalam mesin otomatis tersebut. Setelah beberapa menit melakukan transaksi, Soully segera keluar dari dalam ruangan tersebut, tak lupa ia memasukkan kartu dan uang yang sudah ia ambil ke dalam dompet.

Soully merasa terkejut dengan saldo yang tercetak dalam slip setelah pengambilan uangnya tadi. Berulang kali ia menghitung angka nol yang berada di belakang angka awal saldonya. Matanya membulat tak percaya. Ini kali pertama ia mendapat penghasilan di luar ekspektasinya. Dengan angka dua digit yang ia dapat baginya cukup besar mengingat dulu bagaimana ia berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus.

Walaupun, jumlah yang ia terima dari suaminya memang lebih besar daripada gaji yang ia terima saat ini. Mengingat hal tersebut, membuat Soully sejenak menghela nafasnya. Ia mengamati black card pemberian suaminya dengan kartu perusahaannya. Bagaimana kabar suaminya saat ini?

Soully keluar dari ruang pengambilan uang dan seketika tubuhnya terjingkat kaget karena seseorang yang berada di hadapannya.

"T-tuan Miller..." lirih Soully merasa jantungnya hampir terlepas dari tempatnya. Sedang pria yang ada di hadapannya itu hanya terkekeh seakan tak punya dosa.

"Kenapa melamun?" tanya Miller.

"Tidak," tukas Soully.

"Bagaimana kabarmu, sayang?" tatapan Miller menjadi sendu. Pertanyaan Miller membuat Soully mengerlingkan matanya dan itu terlihat gemas di mata Miller.

"Aku bukan sayangmu, Tuan. Sudah berapa kali kuingatkan kau kalau aku..."

"Sudah menikah. Dan suamimu cukup berbahaya," potong Miller. Dia tersenyum sakartis. "Aku sudah tahu, kau sudah berulang kali mengucapkannya."

Soully merasa tak enak ketika melihat tatapan sendu itu. Tatapan kesedihan sekaligus...kerinduan.

"Maaf." Soully menundukkan pandangannya.

Miller mengulurkan tangannya, mengajak Soully untuk masuk ke tempat kerja bersama. Ragu-ragu Soully melihat ke arah uluran tangan itu, ia tak ingin orang salah paham. Dengan pelan ia melewati Miller dan berjalan mendahuluinya. Miller menarik kembali uluran tangan yang tak bersambut itu lalu memasukkannya ke dalam saku celanananya. Dengan senyum yang penuh ironi ia berjalan menyusul Soully yang meninggalkannya.

Sedang di sebrang sana, di balik kaca jendela mobil gelapnya. Dua pasang mata memperhatikan kedua insan yang sedang berinteraksi di depan ruang pengambilan uang tunai.

Good job, Honey!

Entah mengapa dalam hatinya membuncah bahagia tatkala melihat Soully yang tak menerima uluran tangan Miller. Dia yang tadinya mengurungkan niatnya kembali untuk keluar dalam mobil, kini semakin bersemangat untuk segera masuk ke dalam kantornya.

Setidaknya ia tahu, jika perempuan yang selalu menghantui hari-harinya bekerja di tempat yang sama.

Jauh dari bayangan Rona ketika melihat ekspresi wajah tuan mudanya. Dia fikir, dengan begitu interaksi yang akan sering terjadi antara keduanya akan membuat Yafizan cepat sadar serta mengingat siapa Soully sebenarnya.

***

Suasana pagi ini dihebohkan dengan kedatangan pemilik perusahaan gedung tempat mereka bekerja. Terutama kaum hawa yang memang mengagumi sosok tersebut. Keberadaannya yang hilang secara tiba-tiba dan kini kembali secara tiba-tiba pula serasa kejutan tersendiri bagi mereka.

Tatapan yang dingin dan datar tetap tak melunturkan kharisma yang ada dalam dirinya. Malah, terlihat semakin...tampan.

Miller dan Soully yang sedang hendak masuk ke dalam lift, terhenti sejenak akan kehebohan yang terjadi. Mereka memutar kepala, lalu ketegangan terjadi pada diri mereka masing-masing. Sosok yang tak ingin Soully lihat saat ini, namun ia sangat merindukannya.

Miller dan Soully terpaku di tempatnya. Hanya menatap sosok yang mendekat ke arah mereka. Sedang seseorang yang berada di samping sosok tersebut hanya tersenyum tulus pada Soully dengan menundukkan sedikit kepalanya. Rona tetap menghormati Soully yang memang istri tuan mudanya.

Suara bunyi lift berdenting. Membuat Miller dan Soully untuk segera masuk ke dalamnya. Hal tak terduga, Yafizan serta Rona mengikuti mereka setelahnya. Pintu lift tertutup, kotak pengangkut itu bergerak menuju tempat tujuan masing-masing.

Tak ada suara di dalam ruang sempit itu. Nafas Soully seakan tercekat. Ia bisa melihat dengan jelas bayangan suaminya di pintu lift tersebut. Soully menatap sosok tampan itu. Sungguh ia sangat merindukan suaminya.

"Apa kabar, Tuan Yafizan dan...kau, Rona?" Miller memecah keheningan.

Yafizan membalikkan badannya, menoleh pada Miller yang bertanya padanya. "Anda, siapa ya?"

Pertanyaan Yafizan membuat semua mata membulat padanya. Tak terkecuali Miller yang dibuat terkesiap akan ucapan Yafizan.

"Kami baik-baik saja, Tuan Miller." Rona menyela untuk meredakan suasana yang ia rasa menjadi kurang baik.

Tak mungkin Rona mengatakan jika Yafizan sedang hilang ingatan, bukan? Terlebih pada Miller yang jelas-jelas saingan bosnya - dalam mengambil hati Soully.

Soully hanya terdiam menyimak interaksi yang dilakukan oleh tiga pria "aneh" yang ada di hadapannya saat ini. Hingga bunyi denting lift di lantai yang tadi Miller tekan berhenti dan membuka pintunya.

"Sepertinya lain kali kita mengobrol lagi dengan santai. Kami permisi dulu," pamit Miller. "Ayo, sayang. Kita sudah terlambat." Miller memegang pergelangan tangan Soully, menariknya keluar dari lift hingga melewati Rona dan suaminya yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Soully tak sempat menolak karena gerakan Miller yang cepat tak bisa Soully kendalikan. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang menarik tangan Soully yang satunya lagi.

Soully membalikkan badan sehingga ia begitu terkesiap ketika ia mengetahui siapa yang menariknya.

"Lepas dan jauhkan tanganmu itu dari tangan istriku!" suara dingin dan tegas itu membuat Soully berkaca-kaca.

Rona yang mendengarnya pun bahkan merasa sangat terkejut karena bosnya itu sama sekali tidak menunjukkan jika ia mengingat Soully adalah istrinya.

Begitu pun dengan Miller yang tadi sudah beranggapan terjadi sesuatu pada Yafizan.

"Aku peringatkan, jangan pernah sekali pun kau menyentuh atau mendekati istriku lagi!" tegasnya lalu ia menggenggam telapak tangan Soully dan menariknya.

.

.

.

Yafizan melepaskan genggaman tangannya ketika Soully menarik untuk segera dilepaskan. Mereka kini sudah ada diruangan Yafizan. Suasananya masih sama. Dan Soully bisa melihat jelas foto pernikahannya itu masih terpajang di dinding dan tertata rapi di atas meja kerjanya. Orang-orang selama ini tak pernah tahu jika Soully adalah istrinya. Padahal foto pernikahan itu terpampang sangat jelas. Orang-orang akan tahu, hanya dengan sekali melihat. Tapi tidak, karena ruang kantornya itu sangatlah privat.

Jika ada yang ingin bertemu dengannya, Yafizan selalu menemuinya di ruang meeting. Atau hanya sebatas pintu masuk saja dengan tatapan menunduk sehingga tak bisa mengedarkan pandangannya.

Hanya Tamara saja yang sudah sering melihatnya. Maka dari itu ia begitu murka saat melihat foto pernikahan itu. Dan ada Sisca sang receptionist yang pernah mengantarkan ponsel Soully kepada Rona. Itupun sepertinya ia tak melihat karena terlalu sibuk menundukkan kepalanya.

Ruangannya yang bersih karena sebelumnya Rona sudah membersihkannya dengan kekuatan supernya. Rona tahu, tuan mudanya itu tak ingin ada campur tangan orang lain apalagi berurusan dengan barang-barang pribadinya.

Benak Soully terus bertanya, apa ingatan suaminya kini sudah kembali? Apa Yafizan mengingatnya?

"Ya, aku mengingatmu. Sangat mengingatmu. Dan aku begitu merindukanmu..." Yafizan menghambur memeluk Soully yang terdiam mematung di tempatnya.

Kenapa Yafizan bisa tahu isi hatinya?

Bahkan Rona yang sedari tadi sudah berada dekat dengan mereka pun merasa tercengang. Apa bosnya telah kembali?

"Ya, Panglima Rona. Ingatanku sudah kembali."

Mata Rona membulat, "Benarkah?"

Yafizan mengangguk membenarkan.

Yafizan memeluk Soully dengan erat. Seakan tak ingin tubuh itu terlepas darinya.

Soully tak bergeming. Segera ia melepas pelukan suaminya. "Bohong."

"Hei, sayang...kenapa kau berfikir aku membohongimu?" Yafizan berusaha mendekati.

"Bohong!" Soully mengangkat tangannya tak ingin Yafizan mendekat. Ia yakin Yafizan memang membohonginya. "Kau belum mengingatnya!" Soully mendesah pelan, suaranya bergetar. "Jika kau mengingatku, lalu kenapa tidak mencariku?" air matanya menetes, tangannya mengusap cepat secara bergantian saat air mata itu terus mengalir tanpa permisi.

Hati Yafizan terasa teriris ketika melihat air mata yang menetes begitu saja pada wajah sendu itu. Yafizan terus berusaha mendekati Soully. Namun Soully tetap menolak, Soully malah bersembunyi di belakang Rona seolah meminta perlindungan.

Yafizan menghentikan langkahnya. Tetiba ia tertawa dengan sakartis, membuat Rona dan Soully tercengang akan tingkahnya.

"Ya, awalnya aku mengira kau adalah istriku. Tapi melihat interaksimu dengan pria tadi membuatku meragukan jika kau istriku. Melihatmu berinteraksi dekat dengannya, sudah menjelaskan kalau kau...terlalu gampangan," ucap Yafizan dengan ponggah. Membuat Rona mengepalkan erat kedua tangannya. Begitu pun dengan Soully, air matanya kering seketika. Sungguh menyebalkan mulut suaminya itu.

"Bos!" Rona tak bisa mengontrol emosinya. Hampir saja ia menghajar bosnya itu jika Soully tak menahannya.

"Tinggalkan kami berdua, Rona!" tatapannya menjadi dingin. Soully menegang, dengan cekalan erat pada ujung jas yang Rona kenakan, Soully menggeleng keras agar Rona tidak pergi.

"Apa kau tuli? Apa sekarang kau menjadi pembangkang tuanmu sendiri?" Yafizan menggeram pelan namun penuh penekanan.

Rona menatap Soully, melepaskan cengkraman tangan mungil itu pada jasnya. Dari tatapan matanya Rona seolah meminta maaf pada Soully. Soully tetap menggeleng agar Rona tidak meninggalkannya. Rona pun melangkah keluar dengan enggan, hingga pintu ruang kantor itu tertutup rapat.

Ruangan kantor itu hening, meninggalkan dua orang yang saling bertentangan. Yang satu dingin, yang satu menahan kegugupannya. Kaki Soully bergerak hendak keluar dari ruangan yang terasa menyesakkannya.

"Satu langkah saja kau keluar dari sini, maka kau memang seperti yang aku fikirkan."

***

Maaf yaa, baru up lagi đŸ™đŸ»

avataravatar
Next chapter