webnovel

My Silly Lady [02]

Daisy kembali melambatkan langkah kudanya ketika kediaman Hemelton sudah tak terlihat di belakang sana. Gadis itu menghela nafas lelah. Ibunya begitu menggilai derajat dan strata dalam kehidupan sehari-hari. Wanita itu akan sangat antusias jika melihat ada pemuda dari kalangan atas yang memiliki ketertarikan terhadap keenam anak gadisnya. Ibunya berpikir, jika sudah ada kedudukan dan derajat yang tinggi, maka kehidupan mereka pasti akan terjamin.

Namun untunglah sosok ibunya itu masih mementingkan perasaan anak-anaknya. Ibu akan menanyakan pendapat anaknya terhadap lamaran para pemuda yang datang. Ibu tak akan segan untuk menolak jika putrinya memang tak suka, meski pada kenyataannya, air liur wanita itu nyaris menetes ketika melihat seserahan 'sederhana' yang dibawa serta para calon menantunya itu.

Ibunya memang materialistis, namun dia bukanlah seorang ibu yang egois. Ibu selalu menempatkan kebahagian putri-putrinya di posisi pertama. Di posisi kedua, sudah bisa dipastikan harta menempati posisinya dengan baik tentu saja.

Di sisi lain, Daisy sama sekali tak pernah bermimpi menikahi seorang pemuda dari kalangan bangsawan. Yang ia inginkan justru sesuatu yang benar-benar sederhana. Menikah dengan pemuda yang sederhana, membangun rumah tangga yang sederhana dengan rumah yang tak kalah sederhana juga. Daisy berharap suaminya kelak akan memiliki hobi dan pandangan hidup yang sama dengannya.

Daisy bahkan pernah berhayal, ia akan bertemu pujaan hatinya ketika berburu di hutan. Mereka akan menghabiskan waktu berkencan dengan membidik tupai-tupai yang merusak sarang-sarang burung hanya untuk mendapatkan beberapa butir telur. Bahkan ketika mereka akhirnya menikah, mereka akan menghabiskan bulan madu di dalam rindangnya hutan. Benar-benar mimpi yang jelas tidak lasim diimpikan oleh gadis seusianya.

Daisy menghentikan langkah kudanya ketika melewati sebuah kediaman yang terlihat sangat megah dan mewah berdiri dengan kokoh di depannya. Kediaman Vermouth. Salah satu keluarga yang menyandang predikat sepuluh besar keluarga terkaya di Skotlandia bahkan di seluruh Britania Raya. Well... bisa terlihat jelas dari tempat kediaman mereka.

Putra bungsu keluarga Vermouth baru saja pulang setelah delapan tahun menjalani pendidikan formal di Edinburgh, salah satu kota terbesar di Skotlandia yang Daisy sendiripun belum sempat menjejakkan kakinya di sana. Bahkan dalam kurun waktu dua puluh satu tahun kehidupannya.

Daisy bahkan sudah lupa bagaimana wajah pria itu. Tentu saja, karena memang sejak pria itu masih di desa sekalipun, mereka tak pernah bergaul sebelumnya. Daisy lebih suka menghabiskan waktunya dengan membaca atau menyendiri di hutan. Sedangkan anak lelaki itu... entahlah ia menjalani pergaulan yang seperti apa. Daisy bahkan sangsi mereka pernah bertemu sebelumnya.

Hiruk pikuk terdengar dari dalam, sepertinya pemuda putra mahkota Vermouth itu memang sudah tiba di kediamannya. Menurut kabar yang tersiar, sang putra mahkota akan menghabiskan waktu libur tenangnya dengan mengelilingi desa ini, mendatangi setiap rumah yang memang masih properti kepunyaan keluarga Vermouth atau mungkin sekedar melihat perubahan apa saja yang telah terjadi selama delapan tahun ini di desa kelahirannya.

Kediaman keluarga Hemelton misalnya. Rumah mereka memang di bangun di atas tanah yang masih tertulis nama Vermouth di setiap surat-surat kepemilikannya. Mungkin karena itulah Mrs. Hemelton berharap salah satu putrinya akan menjerat hati sang putra mahkota. Sehingga kemungkinan besar status mereka dalam rumah ini yang saat ini masih berstatus menumpang, kelak akan benar-benar menjadi milik mereka seutuhnya.

Daisy kembali menyentakkan tali kekang kudanya. Tak ingin terlalu memikirkan hal itu karena salah satu dari kelima saudarinya yang cantik pasti akan berhasil meraih hati sang pangeran Vermouth. Dengan begitu, kehidupan keluarga Hemelton tentu tak akan terusik oleh apapun juga.

*****

Ashley Damian Vermouth meneguk air putih di gelasnya dengan pelan. Mata pemuda itu tak lepas dari wanita paruh baya yang tengah tersenyum anggun di depannya. Sang ibu, Velisya Anabella Vermouth. Wanita yang masih terlihat begitu menawan bahkan di usianya yang bahkan tak lagi muda. Wanita itu tampak anggun dengan gaun berwarna peace dan rambut yang digelung sempurna. Benar-benar menggambarkan seorang nyonya besar dari kalangan keluarga terpandang.

"Jangan lupa berkunjung di kediaman Forester. Gracia sudah menunggu kedatanganmu sejak bertahun-tahun yang lalu. Jangan membuatnya menunggu lebih lama lagi." Ujar Velisya sambil meletakkan sendok dan garpunya dengan posisi menyilang.

Ash hanya mengangkat bahunya tak acuh. "Aku tak akan berjanji Ma," ujar pria itu kemudian mengikuti gerakan Ibunya menyilangkan sendok dan garpu di atas piring. "Aku bahkan tak ingat keluarga Forester itu yang mana. Apalagi kediaman mereka."

"Mama akan pergi bersamamu kalau begitu. Kau tahu sayang? Gracia benar-benar gadis yang cantik. Sangat menawan dan memiliki kepribadian yang baik. Mama yakin kau tak akan menyesal mengenal gadis seperti itu." Velisya berujar dengan semangat. Sepertinya Gracia merupakan calon menantu idaman bagi wanita paruh baya itu.

"Sayang, Ashley bahkan baru tiba pagi ini. Setidaknya biarkan dia beristirahat sejenak sebelum akhirnya kau seret ke sana kemari untuk menemui calon menantu pilihanmu." Douglas menatap istrinya dari kursi utama dengan pandangan mengingatkan. Sedangkan Velisya menatap suaminya dengan pandangan protes.

"Thanks Pa, Papa memang yang terbaik." Ash memandang ayahnya dengan pandangan berterima kasih sebelum akhirnya bangkit dan meregangkan tubuhnya yang terasa lelah. "Aku benar-benar lelah, aku akan istirahat sebentar di atas. Sore nanti, aku akan ikut kemanapun Mama mau." Ujar pria itu sebelum mengecup pipi ibunya dengan sayang.

Velisya menatap putranya yang telah menaiki anak tangga menuju kamarnya dengan ekspresi merajuk. Namun sesaat kemudian, tangannya menyentuh bekas kecupan Ash sambil tersenyum bahagia. "Dasar anak nakal. Kalau sudah begini, siapa yang bisa marah padanya?"

Ashley masuk kekamar dan menatap ruangan yang sudah delapan tahun ini ditinggalkannya. Tak ada yang berubah. Penataan ruangan ini masih sama seperti terakhir kali dilihatnya dulu. Ranjang, lemari, meja belajar. Semuanya masih berada di tempatnya. Hanya warna seprai dan gorden yang lebih memperlihatkan nuansa maskulin, membuatnya semakin betah berada di dalam kamarnya ini.

Ashley melangkah ke arah jendela kaca yang berhadapan langsung dengan taman belakang kediaman Vermouth. Memperlihatkan hamparan bunga-bunga mawar dan jenis bunga lainnya yang terlihat begitu menawan. Sepertinya hobi ibu menanam bunga tak pernah surut sejak delapan tahun yang lalu. Ash tersenyum membayangkan ibunya yang berpeluh dan kotor namun dengan semangat menggemburkan tanah dan menaburkan bibit-bibit bunga dengan tangannya sendiri. Memberikan pupuk, mencabuti rumput liar dan memotong-motong cabang yang tak berguna sambil tersenyum ceria.

Ah... betapa Ash sangat mencintai sosok ibunya itu. Ia rela memberikan apa saja demi membuat senyuman itu akan senantiasa melengkung di bibir ibunya.

Kaca jendela itu memang memperlihatkan pemandangan di taman belakang, namun Ash juga bisa melihat dengan jelas pantulan dirinya di sana. Pemuda tampan, berbadan tinggi dan tegap balas menatapnya dari pantulan kaca. Ash menyingkirkan helaian rambut yang menutupi dahinya, memperlihatkan bekas luka memanjang yang menodai wajah tampannya.

Tak terlalu berpengaruh tentu saja, karena bekas luka itu selalu ia tutupi dengan helaian rambutnya. Namun tetap saja, Ash akan menuntut pertanggung jawaban kepada pelakunya. Anak perempuan ugal-ugalan yang dulu selalu mengabaikan kehadirannya. Ashley benar-benar tak sabar. Ia begitu penasaran akan bagaimana penampilan anak perempuan itu sekarang.

Mendengus pelan, Ashley mengacak rambutnya dengan kesal. Kemudian menjatuhkan badannya di atas kasur dengan gusar. Entah mengapa, setiap kali mengingat cengiran jahil gadis kecil itu, membuat luka di kening Ashley terasa berdenyut menyebalkan.