webnovel

Gara-Gara Pria Itu.

Selamat membaca

¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶

Apartemen Moon Kota S

Keesokan harinya…

Pagi ini tidak ada kegiatan rutin dari pemilik butik Lilscarl, saat biasanya wanita berumur 25 tahun ini sudah selesai dengan olahraganya, kini justru masih asik bergelung di bawah selimut. Padahal matahari di luar sana sudah tampak menyinari dunia luas ini.

Wajah wanita muda itu tampak polos, dengan bibir tipis sedikit terbuka dan kelopak mata yang akhirnya bergerak pelan.

Oh…. Tampaknya si pemilik butik ini sudah mulai terjaga, karena setelahnya kelopak mata itu terbuka dan berkedip sambil melirik kiri-kanan ruangan tempatnya tidur saat ini.

"Pukul berapa ini?"

Pertanyaan ini ditunjukan entah untuk siapa. Karena yang jelas tidak akan ada yang menjawabnya, saat hanya ada ia sendiri di sana sambil perlahan menudukan dirinya, bersandar pada headbed di belakangnya.

Sambil mengusak surainya yang tetap lurus, Liliana, si pemilik kamar ini beranjak dari ranjang nyamanya dan berjalan terhuyung ke arah jendela, kemudian menyibak tirai dengan matahari yang menyinari wajahnya.

Ukh…, ini silau. Mataharinya sudah muncul ternya-

Deg!

Bola mata coklat itu seketika melotot, menoleh cepat ke arah jam digital di nakas yang kini menunjukan angka 9.

"Shit!"

Umpatan memenuhi kamar luas itu dengan si empu yang lari tunggang lenggang menuju kamar mandi.

Bisa-bisanya ia kesiangan di saat ada pertemuan dengan klien baru yang meminta bertemu untuk pembuatan jas.

Ini pasti karena semalam ia kelelahan diajak berkeliling seorang pria menyebalkan sepanjang abad. Lihat saja nanti, kalau ketemu lagi ia akan senang hati mengirim santet saat itu juga.

Eh!

Tiba-tiba ia berhenti saat sampai di depan kamar mandi, keningnya berkerut dengan apa yang baru saja dipikirkannya.

Ini, kenapa ia kesannya ingin kembali bertemu dengan pria itu? Seharusnya ia berkata tidak usah bertemu lagi, kan?

"Ck! Lili bodoh. Semoga tidak terlalu kesiangan dan hentikan pemikiranmu tentang pria itu, dasar menyebalkan!"

Blam!

Bersamaan dengan umpatan kesal terakhir dari Lilaian, debaman pintu terdengar memekakan telinga adalah penutup pagi Liliana yang berbeda.

Beberapa saat kemudian…

Butik Lilscarl Kota S

Jalan dengan heels menghentak tegas, Liliana akhirnya sampai di butiknya yang sudah ramai dengan pegawai dan beberapa pelanggan memilih serta melakukan transaksi.

Ia balas sapaan dengan kepala mengangguk, terkadang tersenyum dan berhenti saat merasa kurang pada display yang hari ini dipajang.

"Selamat siang, Bu Lili!"

"Hum, siang. Tolong yang ini dirapihkan lagi, bagian bawahnya melipat, tidak enak dilihat," sahutnya sambil memerintah.

"Baik Bu!"

Liliana mengangguk, kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangannya bekerja, dengan sang asisten menunggunya di depan pintu.

"Lili! Ya Tuhan, kok bisa kesiangan seperti ini? Kamu tahu kan kalau kita ada banyak kunjungan. Meeting, survey supplier bahan baku, cek mesin yang digunakan para tailor, belum lagi melihat pengeditan catalog untuk edisi bulan depan, bagaimana sih!"

Asistennya—Anya mengomel panjang lebar dengan tangan memijat pangkal hidung, merasa aneh dengan kedisiplinan Bosnya yang tiba-tiba saja berubah.

Baru ini Anya mendapati Liliana datang siang, mana bertepatan dengan banyak jadwal, membuatnya pusing karena hampir saja membatalkan survey bahan baku di supplier mereka.

"Handphonemu kemana, apakah dimuseumkan? Tahu tidak, aku tuh nelponin kamu berulang kali tahu," lanjutnya masih mengomel.

Liliana yang menjadi korban omelan mengusap lehernya kaku, ketika melihat wajah kesal asistennya. ia hanya bisa tersenyum canggung, karena hari ini jadwal mereka hampir berantakan karena ia bangun kesiangan.

"Sorry, Nya. Aku keasikan tidur, lalu sorry lagi karena handphoneku habis daya dan malas mengisinya."

"Ck!" Anya hanya bisa berdecak, kemudian menarik dan menghembuskan napasnya kasar, mencoba untuk tenang karena baginya yang penting Bosnya tidak apa-apa.

Ya, ia mengomel bukan hanya karena jadwal mereka yang hampir berantakan, tapi karena khawatir takut ada apa-apa terhadap temannya dari zaman masih main berbie ini.

Ia yang melihat bagaimana Liliana bisa sampai di sini, mulai dari jatuh, bangun dan jatuh lebih dalam lagi. Hingga akhirnya bisa sukses seperti saat ini dan ia merasa seperti punya kewajiban untuk melindungi si Bos yang tampak kuat dan galak, tapi sebenarnya ceroboh dan rapuh di dalamnya.

Kepalanya menggeleng, ketika bayangan masa lalu hampir saja menari indah di pelupuk mata.

"Ya sudahlah, lupakan. Lain kali hubungi aku jika datang telat lagi, oke?" tukas Anya setelah berhasil menenangkan diri.

"Sip!"

"Ck! Kemarikan handphonemu. Biar dicarger di ruanganmu saja, kita pergi ke bagian belakang dulu melihat para penjahit yang mengeluhkan mesin," putus Anya sambil menengadahkan tangannya, meminta apa yang disebutkannya kepada sang Bos.

Liliana hanya bisa menurut, memberikan handphonenya kepada asisten cerewetnya. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa asistennya ini cerewetnya melebihi mendiang ibunya? Bahkan, terkadang lebih tegas juga darinya.

Ia merasa seperti anak kecil yang ketahuan makan gula, kalau Anya sudah mengomel dengan kalimat panjang lebar.

Namun, meskipun ia terkadang mengusap daun telinganya karena polusi suara, ia tetap menerima suka cita kelebihan dan kekurangan asisten sekaligus teman rasa saudaranya ini.

Ia hanya memiliki Anya dan Felixia, tanpa ada orang lainnya yang memberikan perhatian serta kasih sayang kepadanya. Apalagi…, omelan panjang lebar di siang hari seperti ini.

"Nih! Kalau begitu langsung ke belakang kan?" sahut Liliana sambil menyerahkan handphonenya yang seharian dibiarkan mati, tinggal nunggu dikubur saja.

"Iya, kalau begitu aku carge dulu handphonemu. Kamu tidak usah ke dalam, bawa tas saja karena setelahnya kita ke supplier, sudah tidak ada waktu nih," jawab Anya kembali menjelaskan panjang lebar.

"Oh, oke deh!"

Setelahnya, Liliana membiarkan Anya memasuki ruangannya. Sedangkan ia kembali melihat sekitar, memperhatikan melalui cermin satu arah bagaimana kegiatan di depan sana, tepatnya kegiatan transaksi jual-beli produk buatan asli butiknya.

Tidak lama kemudian terdengar ajakan dari sampingnya, dari Anya yang sudah selesai dengan urusannya dengan mengisi daya si Bos.

"Yuk cus!"

"Cus!"

Dengan begitu, Liliana dan Anya jalan beriringan menuju area belakang butik, sambil membicarakan meeting nanti dan banyak yang berhubungan dengan pekerjaan serta jadwal padat mereka hari ini.

***

Cashel Group

Seorang pria tampak sedang sibuk dengan banyak dokumen di hadapannya. Ia menggulirkan manik birunya dari satu baris ke baris selanjutnya, ketika membaca lagi dengan teliti pekerjaan yang sudah diperiksa oleh asistennya, kemudian membubuhkan tanda tangan rumit di kolom paling bawah.

Ia baru saja ingin beralih ke map lainnya, tapi sayang sekali tertunda saat getaran dengan layar berkedip di samping laptop menginterupsi.

Ganggu saja, pikirnya.

Awalnya ia ingin mengabaikan panggilan jika itu dari temannya, tapi saat melihat nama sang mama ia pun menunda pekerjaan dan segera menerima panggilan tersebut.

Ia tidak mau sang mama bernyanyi dengan suara merdu, jadi lebih baik mendahulukan si bidadari cantik, ketimbang telinganya berdenging sakit.

Klik!

"Yes Mom? What happened?"

[Ken! Tebak, Mama menemukan wanita cantik yang cocok untukmu!]

Hah!?

Bersambung

Next chapter