webnovel

Hujan Berkah?

Kata orang, hujan membawa berkah. Namun aku tak pasti apa yang mereka maksud soal "Berkah" itu. Yang pasti, hujan hanya membawa kesialan bagiku.

Aku, Michellia Iranindra Malhendra, seorang gadis SMA yang menjalani kehidupan seperti gadis SMA biasanya. Melihat namaku, orang berpikir kalau aku adalah blasteran. Jangan salah, kedua orangtuaku asli dari Indonesia. Ayahku besar di Jakarta sedangkan ibuku, dia lahir dan besar di Medan. Awalnya aku bingung, kenapa ayah dan ibu bisa bertemu padahal tempat tinggal mereka sangat jauh antara satu sama lain.

Keluarga kami memang jauh dari kata mewah. Kami memang berkecukupan tapi tidak sekaya itu. Orangtuaku hanya seorang karyawan di perusahaan besar dan mengakibatkan mereka sering dinas keluar kota maupun keluar negeri. Kami membuka satu usaha kecil-kecilan untuk menambah uang tabungan keluarga.

Aku melihat ke arah sepatuku yang basah terkena tetesan air hujan. Padahal aku sudah memakai payung, bagaimana bisa sepatuku kena tetesan hujan? Dasar hujan menyebalkan. Aku mencari tempat berteduh. And perfect, I got it.

Sebuah toko kue yang sudah tutup. Aku membaca keterangan yang tertempel di pintu toko roti itu.

"Buka 07.00 - 15.00."

Bahkan aku baru tahu ada toko roti disini. Aku sudah sering melewati jalan ini, namun tak tahu kalau ada toko roti seperti ini berada di jalan ini. Tapi ya sudahlah, mungkin aku yang kurang minum air. Aku melirik ke belakang, ada kursi panjang yang tersedia, mungkin memang disediakan oleh pemilik toko untuk umum. Aku duduk dengan tenang disitu. Mengeluarkan buku fisika dan mengerjakan beberapa soal bahasan.

Sesekali aku melihat ke arah hujan yang kian lama kian deras. Bukannya semakin reda, malah semakin deras. Ahh, pasti ibuku mencariku sejak tadi. Aku membuka ponselku, namun aneh. Kenapa ponselku mati? Aku sudah mengisi baterai tadi malam, kenapa bisa mati begini?

Aneh sekali. Aku tidak sedang dalam dunia orange kan? Aku tidak sedang dalam dunia fiksi kan? Tidak tidak, aku yakin aku masih berada di dunia nyata. Jangan melantur kamu, Lia.

"Kenapa hujannya lama banget sih?" gumamku gelisah. Apakah hanya aku yang merasa bahwa hawanya semakin dingin?

Ah iya, hanya aku sendiri disini.

Selang beberapa menit, sesuatu kembali membuatku terkejut. Bukan petir, bukan badai. Sebuah kepala menyembul dari balik dinding toko roti itu. Seorang lelaki, aku tak tahu pasti. Mukanya imut, tak mencerminkan seorang pria. Bahkan dia jauh lebih imut daripada diriku sendiri. Seketika, aku merasa gagal menjadi gadis.

Dia membungkuk dalam. Aku balas dengan anggukan kecil. Aku menatap dari atas hingga bawah, dia basah kuyup. Aku berdiri dan segera merapikan buku-bukuku. Lalu menunjuk bagian kursi yang kosong.

"Duduklah." lelaki itu tersenyun lalu duduk di kursi kosong itu. Ia mengacak-acak rambut hitam basahnya itu. Membuatku sedikit gemas, karena tingkahnya itu. Untung saja aku membawa handuk tadi, jaga-jaga jika hujan dan aku basah.

Aku mengambil handuk itu dari tasku, lalu memberikan handuk itu padanya dengan sedikit rasa ragu. "Eum, saya punya handuk. Kamu bisa pakai handuk ini. Keringkan rambutmu dengan handuk ini." ujarku kaku. Dia menatapku dengan kepala dimiringkan, ah iya mungkin dia bingung.

Namun dalam sekejap dia tersenyum kembali, "Terima kasih, nona." dia mengambil handuk itu dari tanganku lalu mulai mengeringkan rambutnya sendiri. Aku kembali duduk dengan memangku tas ranselku.

"Kita – satu sekolah ya?" aku melihat ke arah seragamnya. Persis dengan seragam yang aku pakai. Dia juga menatapku agak terkejut. Kenapa aku tak pernah bertemu dengannya di sekolah? Aku yang kurang bersosialisasi atau memang dia yang tak terlalu berpengaruh di sekolah? Hei, dia tampan sekali. Sebelas duabelas jika dibandingkan dengan Iqbal.

"I–iya, kenapa saya baru tahu, ya?" aku menyetujui ucapannya kikuk. Malu kurasa, bagaimana bisa kami tak mengenal satu sama lain padahal kami satu sekolah. Ya, tak masalah sih.

Dia menyodorkan tangannya padaku. Waw, sungguh random sekali pemuda ini. "Kenalkan, aku Arka. Anak IPA kelas XI2." tuturnya lembut. Astaga, dia seumuran denganku?

Aku membalas jabatan tangannya, "Aku Lia. Anak IPA kelas XI1. Satu kelas tepat di sebelah kelasmu." ujarku. Dia tertawa, dan suasana kembali canggung.

Kami tak membahas apapun. Kami juga belum terlalu dekat. Mau bagaimanapun, aku harus menjaga diriku dari pria tak dikenal kan?

Namun kecanggungan itu tak berselang lama. Aku menoleh kala mendengar suara seseorang tengah menggigil, Arka ternyata kedinginan. Wajar, baju serta rambutnya basah. Pantas dia kedinginan. Aku mengambil tasku lagi, mengeluarkan jaket kebesaran yang kebetulan aku bawa 2 tadi. Lalu memakaikannya pada Arka.

"Ini pakai saja. Kebetulan aku bawa 2 jaket kebesaran tadi." tuturku. Arka mengangguk singkat, lalu memakai jaket itu. Ukuran pakaian ayahku cocok dengan ukuran tubuhnya. Untunglah.

Aku memakai jaket kebesaran yang sisanya. Lalu mengusap kedua telapak tanganku, mencari kehangatan. Udara kota Medan ini dingin juga rupanya. Hujan saja hawanya sudah begini.

"Kamu itu–" aku menoleh kala mendengar Arka berbicara, "–Lia yang dicap kutu buku itu, kan?" tanyanya.

Wait. Aku dicap kutu buku? I never hear about that before. "Tidak tahu. Aku tak terlalu mempedulikan kata orang. Hidupku sendiri sudah rumit, untuk apa aku memperumit diriku sendiri dengan meladeni ucapan orang. Jadi aku tak tahu apapun tentang aku dicap kutu buku itu." jelasku panjang.

Arka mengangguk paham, "Aku juga jarang melihatmu di kantin. Apa kamu tak pernah ke kantin?" tanyanya. Aku menggeleng, "Aku tak punya teman yang dapat menemaniku ke kantin." jawabku.

"Ya sudah, aku akan menemanimu."

Tunggu. Apa-apaan? Aku tak mengerti maksud pemuda tampan yang satu ini. "Tunggu, maksudmu?" bingungku.

Dia tersenyum, "Mulai sekarang aku akan jadi temanmu. Biar ku tebak, kau tak dekat dengan teman sekelasmu, bukan?" aku mengangguk.

"Makanya jangan pintar-pintar banget, tak ada yang nyaman sama kamu karena minder dekat kamu." dia mendorong dahiku. Kurang ajar sekali tuan Arka yang terhormat ini.

Aku mengelus dahiku, "Pintar apaan coba? Masih proses belajar ya. Tak ada pintar-pintar." aku membantah ucapan Arka. Lagian, aku juga tidak sepintar itu. Dibandingkan Albert Einstein, otakku hanya seperduapuluhnya.

"Hello, nona juara paralel tiap semester! Jika otakmu dibandingkan dengan otakku, mungkin otakku hanyalah setitik dari bagian otakmu itu. Jangan merendahkan dirimu sendiri, hoy!" dia mendorong dahiku lagi.

"Berlebihan banget, Arka." aku mengelus lagi dahiku yang merah lama-lama.

"Lia, kamu tahu tidak?"

"Tidak."

Lagi dan lagi, kenapa dahi mulusku selalu dijadikan korban olehnya? Dasar tuan Arka tak ada sopan santun.

"Kata orang dulu, hujan itu berkah."

Aku mengernyit. Kenapa Arka tiba-tiba berubah jadi puitis begini nadanya?

"Terus? Hubungannya denganku apa?" tanyaku. Jujur, apa yang Arka bicarakan sejak tadi?

Dia menunjuk ke arahku, "Karena hujan, aku menemukan arti berkah yang mereka maksud."

Berkah itu adalah dirimu, Lia.

14 Septembe 2020

Salam,

Irene_shcrsth97