2 Yang Terpendam Selama Lima Tahun (1)

Duduk di atas sofa dalam sebuah kamar. Seorang laki-laki dengan rambut tanggung acak-acakan, mengenakan kacamata berlensa bundar yang ditemukannya di lemari. Laki-laki tersebut duduk dengan rokok di tangan menghadap ke suatu sosok wanita berbaju putih di depannya.

"Huuu... fiuuu~"

Laki-laki tersebut, Abimanyu menghirup lalu mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. Mencoba menenangkan hatinya yang masih agak panik, dan deru jantung yang berdetak tidak karuan.

Keheningan di kamar tersebut, membuat Bima dapat merasakan dan mendengar setiap detak jantung di kepalanya.

Kembali ke beberapa menit sebelumnya.

Pada saat Bima tidak sengaja memukul wajah dari sosok yang ada di belakangnya. Dengan hati yang gusar, dia perhatikan seksama sosok wanita yang kini tersungkur di lantai.

Berbaju putih dari leher hingga ke kaki, kain putih yang kucel dan robek di beberapa bagian. Rambut panjang yang terlihat tidak pernah dicuci bertahun-tahun telah menutupi mayoritas wajah dari sosok tersebut.

Kuku-kuku panjang nan kotor. Kedua betis kaki yang agak terekspos memperlihatkan banyak sayatan busuk dan luka yang menghitam.

Mau menyanggah seperti apapun logika dari Bima kala itu, simpulan yang tiba di kepalanya setelah melihat sosok itu adalah hantu kuntilanak.

Tapi, apa hantu bisa dipukul?

Logika dan rasa takut semerta berkecamuk dalam diri Bima. Karena siapa tahu kalau sosok itu bukanlah hantu, melainkan seorang gelandangan yang menyamar menjadi hantu dan telah tinggal di rumah terbengkalai tersebut.

Namun, harapan akan pikiran itu nyata seketika sirna. Ketika Bima menyaksikan sosok tersebut mengeluarkan suara cekikikan yang melengking. Lalu terbang melayang, memperlihatkan separuh wajahnya yang tiada berkulit. Hanya daging busuk berselimut belatung yang merayap.

Dari sosoknya yang melayang saja. Kemungkinan sosok itu adalah makhluk hidup sudah tidak memungkinkan.

"Kikkkkkk!"

Dengan teriakan yang memekikkan telinga. Kuntilanak itu langsung terbang menerjang Bima.

"Uwaaaa!"

Bima tersentak kaget. Dalam panik dia melangkah mundur, yang semerta menabrak lemari di belakangnya.

Melihat Kunti itu telah tiba satu meter di depannya. Bima pejamkan mata dan mencoba melindungi diri dengan menyilangkan tangan di depan kepala.

Tapi ketika tangannya sedang bergerak, kembali dengan tidak sengaja, tangan kanannya malah menampar pipi dari si Kunti.

Pak!

"Akh!"

"Hm?"

Merasakan tangannya menampar sesuatu. Perlahan Bima membuka mata. Memandangi wajah sosok Kunti yang membuang muka ke kanan.

Kunti tersebut sedikit demi sedikit menggerakkan kepalanya. Dua pasang mata pun bertemu. Saling tatap dalam keheningan.

Bima dapat melihat tatapan heran dari wanita di depannya.

Jangankan sosok astral itu, Bima sendiri bingung dengan kejadian yang baru saja terjadi.

Pak!

Entah mengapa, untuk mengusir rasa bingung tersebut. Bima kembali melayangkan satu tamparan ke wajah Kunti di depannya.

"!"

Bima terkejut karena tangannya benar-benar mengenai wajah hantu tersebut. Di lain pihak, Kunti yang tidak mengira kalau dirinya akan ditampar lagi. Melihat Bima dengan penuh kebingungan.

Bima yang semerta melihat raut kebingungan dari sosok di depannya itu, langsung merubah rasa takut dalam dirinya menjadi amukan.

Pak! Pak! Pak! Pak!

Dia tampar Kunti itu berkali-kali. Melampiaskan emosi pada sosok yang memberikan teror kepadanya tadi.

Setelah dirasa puas, Bima pandangi Kunti yang kini terduduk di lantai dengan kedua tangan menutupi kepala. Dada lelaki itu terlihat kembang kempis dengan cepat setelah puas melampiaskan kekesalannya.

Tetapi, seketika dia merasakan sesuatu hal yang menggelitik di bagian tangan kanannya. Bima melirik, mendapati beberapa belatung merayap. Tubuhnya langsung terperanjat. Rasa takut yang tadi telah sirna kembali muncul.

"Uwaaaa!"

Bima melangkah mundur dengan cepat ke pojok ruangan.

Brak!

Punggungnya membentur sisi lemari, membuat Bima serta merta bersujud meringis kesakitan.

"Arrrggg..."

Satu manusia lelaki hampir menangis menahan rasa sakit di punggungnya dan satu hantu perempuan menangis tersedu merasakan perih di pipinya. Ruangan kamar tersebut baru saja menyaksikan suatu adegan yang terlihat absurd.

Setelah rasa sakit itu reda, Bima duduk di sudut ruangan menatapi Kunti yang terduduk di sudut seberang.

Bima masih merasakan jantungnya berdebar kencang. Mau tidak mau, rasa takut pada hantu sudah tertanam pada dirinya, bahkan seluruh orang sejak kecil karena berbagai cerita seram. Melihat hal nyata di depannya, tubuh Bima merinding membeku.

Berharap hantu di depannya itu segera pergi.

Tapi...

Beberapa menit kemudian, hantu itu masih ada di pojok ruangan sana. Menatapnya curiga dan waspada.

Bima yang mulai terbiasa dengan rasa takutnya, semerta heran.

Dari film atau cerita yang diketahuinya. Penampakan hantu itu biasanya hanya sekilas. Tidak memakan waktu hingga tiga apalagi lima menit!

Ada hal yang salah!

Dengan kaki bergetar, Bima seraya berdiri. Dia dapat melihat sosok Kunti itu agak terperanjat ketika Bima bergerak.

"..."

"..."

Keduanya saling tatap dalam hening kembali.

Bima perlahan mulai berjalan ke arah sofa. Semakin mendekat, jantungnya terdengar semakin kencang. Takut-takut hantu di depannya tiba-tiba terbang ke arahnya.

Setelah sampai, Bima langsung duduk. Mengambil rokok dan korek gas dari saku. Mulai menyulut dan menghirupnya. Berharap dapat menenangkan hati, walau kedua matanya masih bergetar melihat wajah tak karuan sosok wanita di depannya.

Kembali ke masa sekarang.

Bima yang telah menghabiskan dua batang rokok. Kini mulai mengambil satu batang baru dari bungkusnya.

Namun rokok itu tidak disulutnya, melainkan dimainkan di tangannya. Dia putar-putar di antara jari sambil merenungi kejadian dan sosok penampakan yang tak kunjung pergi.

Rasa takut memang masih ada. Namun tidak sebesar sebelumnya, Bima kini dapat memendam dan menatap langsung tanpa gentar sosok penampakan yang sedari tadi hanya berdiri diam terus melototi dirinya.

"Kau... apa kau ini benar hantu?"

Tanya Bima dengan suara yang pelan bercampur ragu. Masih ada secercah harapan dalam dirinya, kalau wanita itu adalah manusia. Sehingga mudah mengurusnya, dia hanya tinggal menelpon polisi. Kalau hantu... dia tidak tahu harus apa.

"...Siapa kau?"

Bukannya menerima jawaban, Bima malah mendapatkan pertanyaan. Memicing ke arah hantu perempuan tersebut, Bima tidak tahu apakah harus menjawab atau tidak. Dia takut dikutuk bila memberikan namanya ke sosok astral mistis nan mencurigakan. Jadi, Bima memilih diam.

"Bagaimana kau bisa menyentuhku?"

"...Kau bukan manusia?"

Perempuan itu mengangguk.

"Terus bagaimana aku bisa memukulmu?"

"..."

Keadaan hening kembali. Suasana berubah canggung. Rasa takut dalam diri Bima pun kini telah reda.

Lelaki itu sekarang lebih memikirkan tentang apa yang terjadi pada dirinya. Kenapa tiba-tiba dia bisa melihat wujud tak kasatmata. Apalagi menyentuhnya! Hal ini belum pernah dialaminya.

Bima semerta memijit-mijit batang hidungnya, mencoba berpikir, namun kemudian jari-jemarinya menyentuh frame kacamata yang menyangkut di hidung.

"Hm? Kacamata... jangan-jangan..."

Bima lepas kacamatanya. Lalu melihat ke lokasi hantu itu berada. Tidak ada. Dia tidak melihat apapun di sana.

Ketika dia pakai kembali kacamatanya, sosok perempuan itu kembali muncul.

'Karena ini kahhhh!!'

Bima semerta mengutuk dirinya yang berperilaku impulsif memakai kacamata dari kotak yang mencurigakan.

"Ugh, ini benar-benar konyol."

Gumamnya, lalu melempar kacamata itu ke atas kasur. Tanpa melihat sosok wanita tersebut, perasaannya sejenak lega.

"Sigh..."

Bima berusaha menyingkirkan dan melupakan sosok yang dilihatnya tadi keluar dari kepalanya. Dia mencoba melanjutkan aktivitas membersihkan kamarnya. Mengelap permukaan lemari pakaian hingga kinclong.

Namun, tidak sampai sepuluh menit kemudian. Mengetahui kalau ada sosok lain tak terlihat yang menontonnya di balik punggung, malah membuat perasaannya cemas dan kalut.

Lama kelamaan, gambaran wajah menyeramkan dari wanita yang ingin dilupakannya itu malah kembali teringat. Membuat bulu kuduknya bergetar dan matanya berair.

Perlahan Bima mengambil lagi kacamata yang tergeletak di atas kasur. Memakainya, dan menemukan hantu itu masih berdiri di tempat yang sama seperti sebelumnya. Memandangi dirinya tanpa berkedip.

"Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan dengan ini..." lirih Bima, menutup muka dengan kedua tangannya.

Setelah beberapa saat, Bima mengangkat mukanya. Menatap langsung ke hantu yang bergeming. Lalu memintanya untuk pergi dari rumahnya, kalau tidak, maka Bima akan memukulnya hingga wajah itu semakin berantakan.

"Mustahil. Saya tidak bisa keluar dari area rumah ini. Jadi mau kau mengusir atau memukulku hingga benyek pun, aku akan tetap ada di sini."

"...Damn."

Pada akhirnya, Bima walau dengan emosi tak karuan meminta kompromi dari si Kunti untuk tidak hadir di dekatnya.

Perempuan tersebut menerima permintaan dari Bima namun tidak berjanji kalau keduanya tidak akan saling bertemu. Karena mau tidak mau, keduanya akan tinggal di tempat yang sama.

Hantu perempuan itu kembali bertanya tentang identitas Bima, yang dijawab oleh lelaki itu sebagai cucu dari pemilik rumah terbengkalai ini.

"Rumah ini sudah kosong setidaknya selama sepuluh tahun."

"Hee, jadi kau sudah ada di sini selama sepuluh tahun."

Perempuan itu menggeleng di balik punggung Bima yang mulai berjalan menuruni tangga ke lantai satu.

"Tidak. Aku ada di sini sekitar lima tahun yang lalu. Aku mendengar tentang rumah ini dari hantu lainnya."

"Hmm, begitukah. Eh, hantu lainnya?!"

Bima langsung berbalik menoleh ke Kunti dengan wajah yang panik. Siapa sangka, ketika dia menoleh, dia mendapati sosok anak kecil laki-laki yang bersembunyi di balik tubuh si Kunti. Untuk kesekian kalinya, bulu kuduk Bima kembali bergidik.

"Mungkin nyewa kos memang lebih baik."

avataravatar
Next chapter