1 Prolog

Kehidupan bertetangga sudah lumrah ada disekitar kita, bahkan tetangga adalah salah satu makhluk penting bagi keberlangsungan hidup kita. Kenapa? Karena saat kita butuh pertolongan orang yang pertama kali kita minta pertolongan adalah tetangga.

Namun, tetangga itu semacam undian, kadang tetangga ada yang baiknya melebihi malaikat, bahkan ada juga tetangga yang julidnya ngalahin emak Lambe Turah.

Tapi jujur, tetangga dan kita adalah simbiosis mutualisme, jadi saling membutuhkan.

Cuma dari sekian banyak tetangga yang aku miliki, cuma satu yang buat aku mempertanyakan ini sama Tuhan. Kenapa aku harus bertetangga sama orang yang super nyebelin? Atau aku harus tanya langit? Mengapa dia harus menjadi tetanggaku? Bisakah kau pindahkan rumahnya dari depan rumahku? Atau kalau perlu buat dia jauh dariku.

Sebenarnya bukan aku nggak mau untuk bertetangga, tapi sikap rese dan super nyebelin dari satu makhluk itu membuat aku ingin sekali membuangnya ke laut. Nggak peduli pagi, siang bahkan malam saat bertemu, dia akan selalu meledekku.

Kadang mengataiku atau dia akan membuat namaku berubah menjadi nama-nama makhluk yang lain.

Aku heran, apa dia nggak ada kerjaan lain selain bikin aku kesel? rasanya nggak ada seharipun dia lewatin tanpa membuat aku marah. Membuat aku kesal adalah satu kesenangan tersendiri untuknya. Dia akan merasa bangga kalau aku sudah mengubah mimik wajahku menjadi masam. Kecut kayak buah jeruk.

Lucu sekali, tiap kita bertemu, maka akan timbul keributan, setiap pagi ia akan mencuci mobil kesayangannya didepan rumah, dan rumahnya berada tepat didepan rumahku, maka setiap aku baru keluar dari rumah makhluk Tuhan yang nyebelin ini akan bercuap-cuap meneriakkan namaku.

"Hai lukisan berjalan," itu adalah kalimat khas yang selalu ia ucapkan.

Oh Ya kenalin namaku Monalisa, semua orang memanggilku Mona, sekarang aku udah hampir lulus sekolah SMA, dan sedang berjuang mati-matian untuk menghadapi ujian.

Aku bukan anak sultan yang dengan gampang memilih universitas mana yang bisa aku inginkan. Jadi aku harus benar-benar berusaha agar dapat nilai sempurna dan bisa masuk perguruan tinggi yang aku impikan.

Bapak ibu cuma mengandalkan sawah peninggalan almarhum kakek, sedang aku juga bukan satu-satunya anak mereka masih ada Abangku, yang kini sedang kuliah, sudah hampir semester akhir dan demi bisa meringankan beban kedua orang tua, dia bekerja paruh waktu di sebuah Cafe di dekat kampusnya.

Semanis itu Abang aku, kalau lagi bener. Tapi kalau lagi kumat penyakitnya, dia sama nyebelinnya kayak tetangga satu itu.

"Pagi lukisan abstrak," sapa sesemahkluk yang udah gatel pingin ditimpuk.

Aku diam, males banget buat ngladenin omongan nggak bermutu.

"Sombong bener disapa nggak nyahut," ucapnya lagi, karena aku nggak berniat menjawab sapaannya tadi. Dia membuat moodku turun pagi ini.

Begitulah setiap pagi, jika aku ladenin, aku akan uring-uringan sepanjang hari. Karena Supri tetangga yang super nyebelin itu, sudah membuat pagiku tidak menyenangkan.

"Eh Mon, cewek jaman now banyak yang rada soang ya! Eh ini orang bukan patung Pancoran,ah elah di ajakin ngobrol bukannya jawab, diem-diem bae," lagi dia berkata.

"Eh Supri, situ ngajak ngomong? sorry nama gue Mona, bukan Mon apalagi lukisan abstrak." sungutku, sumpah pingin kukarungin nih orang.

"Lah, nama gue juga bukan Supri, Restu ini Restu." ucapnya tak terima.

"Mohon doa restu ye?" ledekku.

"Eh ngledek ya? Awas jangan suka ngledekin orang tua, bahaya!" Supri mulai tak terima.

"Nggak, lo ngerasa emangnya?" elakku.

"Enggak."

"Ya udah, kenapa sewot?" Aku kira dengan begini Supri akan diam. Ternyata tidak masih dengan tangan yang basah dengan mengelap mobilnya, Supri tetep ngomel panjang lebar.

Namanya Restu, Haidar Restu Bumi.

Aku doang yang panggil dia Supri. Dialah tetangga rese dan nyebelin sejagat komplek ini. Dia anak tunggal, dan sudah menjadi tetanggaku sejak aku masih SMP dulu. Usianya terpaut lima tahun lebih tua dariku. Dan Supri itu makhluk jomblo lumutan yang nggak doyan perempuan.

Dia udah kerja disalah satu bank swasta yang ada di kotaku. Sebenarnya jika Supri mau sedikit mengubah cara memanggilku dengan sebutan-sebutan aneh, mungkin ia akan masuk daftar cowok terkeren dan terkece kedua dalam barisan cowok idamanku. Sayang kelakuan Supri yang ajaib bikin aku ilfeel sama dia.

Supri adalah golongan cowok langka, karena dia jarang sekali bahkan nggak pernah bawa pulang cewek ke rumahnya. Dibilang nggak laku, dia nggak mau, dibilang nggak punya pacar dia bilang pacaran unfaedah. Dibilang punya calon, nggak ada satupun yang dikenalin buat jadi calon istrinya.

Au ah, pusing amat mikirin Supri.

Biarlah dia dengan ruwetnya dunianya.Yang penting nggak di gangguin selama sehari saja aku sudah bisa bernapas lega. Kalau aku jangankan pacaran, sampai pulang sama cowok berduaan aja bisa di gampar sama bapak. Hampir senasib sama Supri.

Tapi bukan Mona namanya kalau nggak bisa menikmati masa-masa remaja yang penuh dengan keindahan dan beraneka warna. Dan aku nggak mau kalau sebutan jomblo lumutan itu juga disematkan padaku.

Pacar? punya dong, biar nggak ketahuan bapak, ya maennya bareng-bareng sama yang lain. Kalau mau jalan? tinggal ajak Siska. Teman sekaligus sahabat aku dari kecil sampai sekarang. Dia bisa diajak bekerjasama apalagi kalau ada imbalannya.

Satu porsi martabak manis pakai kacang sama coklat. Rahasia dijamin aman. Dengan alasan ada tugas tambahan. Yah, begitulah aku memang sudah melanggar aturan yang sudah bapak tetapkan. Tapi, aku juga sudah bosan jika teman-teman mengataiku dengan sebutan jomblowati. Maka dari itu, aku nekat pacaran secara diam-diam. Dan untungnya pacarku mau jika kuajak pacaran secara diam-diam.

Semua berjalan aman-aman saja. Dan sebagai wanita yang baik dan bijaksana aku sudah menyusun rencana indah dengan Rian pacarku yang super uwu.Kita nanti akan kuliah di tempat yang sama. Kemudian cari kerja, kalau bisa di perusahaan yang sama pula, setelah itu kami akan membina keluarga yang bahagia. Membayangkannya saja membuat aku senyum-senyum sendiri. Memang ya penyakit otak itu bisa menyerang siapa saja.

Ya, menikah punya suami ganteng dan mapan terus punya anak dan jadilah keluarga kecil bahagia sejahtera. Itulah janji dan cita-citaku bersama Rian. Rian merupakan salah satu cowok populer disekolah. Tidak kusangka, jika dia memiliki rasa yang sama padaku.

Dulu aku hanya bisa mengaguminya dari jauh. Namun karena sekolah mengadakan bakti sosial dan aku menjadi panitianya, disitulah akhirnya benih-benih cinta diantara kita mulai tumbuh. Seiring berjalannya waktu kedekatan kami berubah menjadi rasa saling sayang dan terus kami pupuk hingga akhirnya menjadi rasa cinta. Uwu banget kan.

"Na, pulang sekolah, nonton yuk," ajak Rian siang itu saat aku hendak pergi ke kantin.

"Harus banget siang ini?" tanyaku memastikan.

"Iya dong, kan sekalian mau rayain anniversary kita yang keenam bulan. Lagian kita jalan udah lama, tapi kita nggak pernah ngedate berdua, selalu saja ada Siska." Rian sepertinya mulai keberatan.

"Ya kan, kamu juga tahu kalau aku harus sembunyikan hubungan kita," aku mencoba mengingatkan kembali janji Rian yang bersedia untuk backstreet.

"Iya, aku tahu dan aku inget kok, cuma please sekali ini saja kita pergi berdua, cuma aku sama kamu," pinta Rian dengan tangan memohon di depan mukanya.

"Aku takut, kalau nanti Bapak tahu, Siska udah pulang dan aku belum, terus dia nanya ke Siska, terus Siska harus jawab apa?" ucapku bingung, dan aku mulai frustasi dengan permasalahanku ini.

"Nanti biar aku yang bilang Siska, kalau kamu sedang ada rapat OSIS, nah biar nanti aku beliin Siska coklat sebagai imbalannya, gimana?" tawar Rian,"Ayo dong Na, kita nggak pernah lho jalan berdua, lagian kan kita cuma nonton. Cuma nonton!"

Aku mencoba mencerna kata-kata Rian, tidak salah kan jika aku pergi sekali ini saja? Aku juga tidak akan berbuat yang aneh-aneh. Toh kami cuma nonton doang dan nggak ngapa-ngapain.

"Sayang, gimana? Masa kita udah enam bulan cuma gini-gini aja, bentar lagi kita juga ujian udah nggak ada waktu buat kita berdua pacaran. Pasti orang tua kamu bakalan nyuruh kamu untuk belajar dan nggak boleh kemana-mana." tangan Rian terulur membelai lembut pipiku, "sayang please kali ini aja ya," pintanya lagi.

Kini bahkan kedua tangannya yang menangkup pipiku. Hal ini membuat aku malu dan pipiku pasti sudah seperti udang rebus.

Dan aku luluh, aku menyanggupi permintaan Rian. Aku sayang banget sama Rian, aku nggak mau ngecewain dia. Rian sudah banyak mengalah untukku.

"Ya udah, aku beli coklat sekalian nyariin Siska dulu, kita ketemu di sini pas bel pulang sekolah nanti. Ok," ucap Rian seraya ia berlalu dari hadapanku.

Bel sekolah berbunyi, itu tandanya selesai sudah sekolah hari ini. Rian menghampiriku yang sedang memasukkan bukuku ke dalam tas.

"Ayo sayang," ajak Rian.

"Nikmatin deh kencan kalian berdua, biasanya gue selalu jadi nyamuk karena ngikutin kalian, kali ini gue bebas." ucap Siska padaku dan Rian, "Btw, thank's ya coklatnya, tenang aja rahasia kalian aman." Siska pergi dengan melambaikan coklat itu pada kami.

Rian menggenggam tanganku, "Udah siap?" tanyanya dan aku mengangguk sebagai jawabannya.

"Pokoknya dianniversary kita kali ini, harus spesial. Kita jalan bareng, nonton terus makan bareng pokoknya cuma ada kita, aku dan kamu," Rian berucap penuh semangat dan aku hanya memperhatikannya.

Sampai di parkiran motor, Rian mengambil motornya, memasangkan helm padaku lalu aku duduk dibelakang jok motornya. Tanganku ia lingkarkan di pinggangnya, dan hatiku berdebar tak karuan mendapatkan perlakuan seperti ini dari Rian. Ya karena selama ini walaupun kita pacaran, jika kita pergi jalan aku akan selalu bonceng bareng Siska. Dan Rian akan bawa motornya sendiri.

Sampai di mall, kita menuju ke bioskop, antrian juga sudah cukup panjang pada loket tiket. Rian mengulurkan selembar uang pecahan seratus ribu padaku,"Selagi aku ngantri di sini, aku minta tolong kamu beliin popcorn sama minumnya ya, boleh?" pintanya.

"Oke."

Usai mengambil uang dari Rian aku, segera pergi ke stand penjual popcorn dan minumnya. Setelah aku dapatkan  popcorn aku kembali ke tempat semula, dimana Rian sudah berhasil memperoleh tiketnya.

Kami masuk kedalam bioskop, mencari tempat duduk kami. Dan ternyata kami dapat tempat duduk tepat di tengah. Kami berdua menuju kursi itu. Disebelahnya juga sudah ada sepasang kekasih yang duduk di sana. Setelah kami duduk, datang sepasang lagi yang juga duduk di sebelah kami. Kami hanya menganggukkan kepala tanda menghormati mereka.

Beberapa menit kemudian lampu bioskop dimatikan, artinya film akan segera dimulai. Ah, aku lupa tidak melihat kira-kira jenis film apa yang dipilih oleh Rian. Dan aku baru bisa menikmati film ini setelah cukup lama memahami jalan cerita film ini.

Film ini bergenre fantasi romance, jadi diawal tadi ada adegan yang tak ku mengerti, sampai kemudian adegan romantis itu diputar. Pasangan muda-mudi disebelahku juga tidak diam seiring film ini berputar. Bahkan aku dengar decapan-decapan yang keluar dari mulut mereka. Seketika bulu kudukku merinding. Padahal bukan film horor, tapi aku merasa takut. Sangat takut.

Rian juga diam-diam mengelus rambutku. Tangannya sudah melingkar dipundakku. Kemudian tangannya bergerak mendekatkan tubuhku padanya. Ia mencondongkan mukanya, tanganku yang memegang minuman dari tadi segera aku tarik dan menjadi pembatas antara wajahku dan wajahnya. Seketika raut wajahnya berubah menjadi kesal. Maaf aku nggak mau kalau harus peluk cium apalagi di tempat umum. Bahaya.

Lalu aku pura-pura tidak terjadi apa-apa dan tetap fokus pada layar besar di depan, walaupun pikiranku nggak tahu lagi kearah mana. Popcorn dari tadi juga aku makan, aku nggak berhenti ngunyah. Takut kalau tiba-tiba Rian berbuat sesuatu lagi.

Asli, pikiranku benar-benar kacau saat ini, antara takut dengan Rian, takut juga kalau nanti aku pulang dan mendapat pertanyaan dari Bapak. Apalagi aku susah sekali berbohong sama bapak. Bapak juga kayak dukun tahu banget saat aku nggak jujur.

Kini tangan Rian beralih ke tanganku, dia menggenggam tanganku erat. Sesekali Rian mengelus lembut tanganku, dan aku tetap nggak bereaksi. Duh, kenapa filmnya jadi lama banget sih nggak selesai-selesai?

"Sayang, kok kamu diem aja sih?" Rian mulai bergelayut manja di pundakku.

Aku masih sibuk memasukkan popcorn ke mulutku.

"Sayang ...," suara Rian tepat di telingaku. Bahkan aku mampu merasakan hembusan napasnya, "Hei, lihat aku dong ...," kini tangannya berada tepat di daguku, lalu dia menarik daguku lembut, hingga kini aku mampu melihat wajahnya.

Jantungku mulai tidak aman, dia berdetak lumayan kencang, sampai aku bisa mendengar bunyinya. Rasanya juga sesak sekali, napasku serasa terhenti, apa aku terserang asma? kenapa aku susah sekali bernapas dan jantungku makin tak beraturan iramanya.

Rian mendekatkan wajahnya, bahkan kini sangat dekat, aku mampu merasakan hangat napasnya menerpa  wajahku. Aku ingin menghindar, tapi dia menahan tengkukku hingga aku tak bisa lagi bergerak menjauh darinya.

Semakin Rian mendekat hatiku semakin tak karuan, semoga bukan di saat seperti ini Rian akan menciumiku. Ini ciuman pertamaku. Haruskah ditempat yang gelap seperti ini? dengan cara seperti inikah aku merasakan first kiss itu?

Aku mematung, sungguh kali ini aku terkunci tak mampu berbuat banyak, aku hanya berharap jika Tuhan mau menolongku, dari saat-saat yang aku sendiri belum siap untuk melakukannya.

Dahi Rian menempel pada dahiku, napasnya mulai memburu, kemudian kepalanya mulai bergerak turun tapi kemudian tiba-tiba lampu bioskop menyala.

avataravatar
Next chapter