16 Mengetahui fakta tentang Dean

Dean dan Bryana telah tiba di Jakarta. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju pulang ke rumah Bryana dengan menaiki taxi.

Bryana bergeming sembari menatap suasana pinggir jalan yang tampak kurang indah, karena saat ini sedang hujan. Meski tidak begitu deras, udara cukup dingin dan suasana begitu suram. Sesekali janda cantik itu merengkuh tubuhnya sendiri karena dingin dan lupa tidak membawa jaket.

"Pakai jaketku saja," seru Dean sembari memakaikan jaket kulitnya pada Bryana. Ternyata sejak tadi dia memperhatikan majikannya itu.

"Terima kasih," ucap Bryana dengan tersenyum ramah. Oh god, senyum manis itu langsung dibalas dengan senyum kagum Dean yang tidak dapat ditahan lagi.

Mereka berdua kembali saling diam, hingga tìba di halaman rumah Bryana.

"Kamu tunggu di sini sebentar, aku akan mengambil payung," seru Dean.

Bryana mengangguk setuju. Dean segera keluar dari mobil dan berlari menuju pos satpam untuk mengambil payung yang selalu tersedia di sana.

Bryana menatapi Dean yang berlari kehujanan hanya untuk mengambilkan payung untuknya. "Betapa indah hidup ini, jika memiliki suami sepertinya," ucapnya dengan tatapan kagum pada Dean.

Dean sudah mengambil payung dari pos satpam, dia segera membuka payung itu  kemudian menghampiri Bryana. Pria itu membukakan pintu sembari memayungi, sehingga ketika nyonyanya keluar tidak basah samasekali.

Ketika Bryana sudah keluar dan berjalan menuju teras bersama Dean, ada kilat menyala dan petir pun menggelegar. Seketika janda muda itu kaget dan memeluk sang bodyguard secara refleks.

Dean terdiam sembari menunduk menatap Bryana yang memeluknya hingga petir itu berhenti bersuara, dia tidak bergerak ataupun bersuara, namun menikmati hangatnya pelukan majikannya itu.

"MAMA ...!"

Bryana segera melepas pelukannya pada Dean saat mendengar Calvin yang sedang berdiri di bersama Louis memanggilnya.

"Maaf, Dean. Aku hanya terlalu takut karena ada petir," ucapnya dengan canggung.

"Tidak apa-apa, Jill, aku paham," balas Dean. 

Dean segera berjalan kembali menuju teras beriringan dengan Bryana, namun lagi-lagi petir menggelegar dan secara refleks Bryana memeluk bodyguard itu lagi.

Dean tersenyum kemudian kembali mencoba bersikap datar.

"Maaf." Bryana melepas pelukan itu lagi, dia merasa sangat malu.

"Tidak apa-apa." Dean tersenyum meyakinkan. Astaga, senyum hangat itu seakan membuat hati Bryana meleleh, dalam hatinya seolah berkata, 'andai kamu milikku.'

Louis tersenyum kagum melihat Dean yang sedang saling menatap di bawah payung, dia menghela napas dan berkata, "ini seperti dalam film romantis."

"MAMA!" Calvin kembali memanggil ibunya.

Dean dan Bryana kembali fokus berjalan menuju teras menghampiri Calvin dan Louis yang sudah menunggu.

"Mana pesawatnya?" tanya Calvin yang langsung menagih oleh-oleh.

"Eh, mama lupa membelinya, Nak. Besok saja kita beli ke toko mainan, ya?" Bryana mencoba membujuk Calvin yang tampak kecewa.

"Mama jahat!" Calvin langsung berlari masuk ke rumah.

Bryana menghela napas mencoba untuk bersabar menghadapi Calvin, dia pun segera menyusul putranya yang pasti marah dan akan sulit ditenangkan.

Dean menatap iba pada Bryana yang berperan menjadi ibu sekaligus ayah seorang diri, bahkan hidupnya juga selalu terancam bahaya.

Tin ... tin,

Supir taxi menekan klakson. Dean segera kembali ke taxi itu untuk mengambil koper miliknya dan milik Bryana. Dia berlari kembali ke teras untuk menghindari koeper itu kehujanan terlalu lama.

"Dean, kamu sangat beruntung," ucap Louis dengan tersenyum nakal.

"Beruntung bagaimana?" tanya Dean sembari mengusap rambutnya yang agak basah.

"Nyonya cantik itu selalu bersamamu bahkan sempat memelukmu," jawab Louis dengan menggeleng kagum pada Dean.

Dean yang terbiasa menanggapi tentang kedekatannya dengan Bryana dengan wajah datar, saat ini malah tersenyum dengan semburat kebahagiaan di wajahnya.

"Itu hanya kebetulan saja karena dia takut pada petir," jelas Dean kemudian menyeret satu koper milik Bryana. "Bawakan koperku," serunya kemudian.

Louis menghela napas kemudian menyeret koper Dean, membawanya masuk ke rumah megah Bryana menuju kamar khusus Dean yang terletak tidak jauh dari kamarnya.

Dean menaiki tangga mengangkat koper itu hingga tiba di lantai atas, berjalan sekitar lima meter hingga tiba di depan pintu kamar Bryana.

Tok ... tok ... tok!

"Jill," panggil Dean sembari mengetuk pintu.

Hingga beberapa saat menunggu, pintu itu terbuka. Dean terpana melihat Bryana yang saat ini hanya mengenakan boxer putih sebatas paha dipadu dengan tang top putih transparan, dia dapat melihat bra merah marun milik Bryana.

"Kenapa, Dean?" tanya Bryana saat melihat Dean malah melamun.

"Eh, ini kopermu," jawab Dean agak gugup menunduk menunjukkan koper Bryana.

"Oh, terima kasih," ucap Bryana kemudian meraih koper itu. "Kamu boleh istirahat sekarang, karena hari ini aku hanya akan di rumah," lanjutnya.

"Oke," balas Dean agak canggung kemudian berbalik akan kembali ke lantai bawah.

"Dean," panggil Bryana. Entah kenapa secara refleks ingin memanggilnya, seolah tidak ingin bodyguard nya itu pergi.

Dean segera menoleh menatap Bryana. "Iya, apa kamu membutuhkan sesuatu?" tanyanya kemudian.

"Eh, tidak," jawab Bryana kemudian bingung harus berkata apa lagi. "Apa kamu sungguh akan cuti setiap minggu?" tanyanya spontan.

"Jika kamu tidak keberatan," jawab Dean.

Bryana tersenyum canggung. "Jika itu demi putri dan istrimu, aku tidak keberatan. Bodyguard juga butuh quality time dengan keluarganya," ucapnya kemudian hendak berbalik masuk ke kamar.

Dean bergeming sejenak dan berkata dengan suara rendahnya. "Istriku sudah meninggal."

Seketika Bryana terdiam dan mengurungkan niat masuk ke kamar, dia berbalik menatap Dean yang sudah tidak tersenyum lagi. Wanita itu menatàp bodygyard yang tidak dapat menyembunyikan semburat kesedihan di wajahnya.

"Meninggal?" Bryana memastikan apa yang barusan didengarnya.

"Iya," singkat Dean kemudian menunduk dan tersenyum tipis. "Aku harus kembali ke kamar, pakaianku agak basah," lanjutnya.

Bryana mengangguk dengan menatap pada Dean yang perlahan menjauh dari pandangannya, hingga Dean tiba di lantai bawah, dia menunduk menatapi nya dengan perasaan tidak karuan.

"Itukah yang membuatmu jarang tersenyum, memiliki kerapuhan? Aku tidak menyangka hidupmu lebih pahit dariku." Bryana bermonolog dengan dirinya sendiri. Terlintas di benak Bryana, bayangan akan puteri kecil Dean yang harus ditinggal kerja tanpa seorang ibu.

"Lalu siapa yang menjaga puterinya? Aku harus mencari tahu." Bryana segera kembali ke kamar dengan perasaan penasaraan. Tentu dia akan menjadi wanita yang terlihat kejam karena menyewa bodyguard yang harus bekerja bersamanya tapi meninggalkan puterinya yang juga harus dijaga.

___

Dean berjalan dengan langkah cepat memasuki kamarnya, dia segera melepas pakaiannya, kemudian menatap pantulan dirinya di cermin.

'Untuk apa mengatakan bahwa istrimu sudah meninggal? Kamu pikir hal itu akan membuatnya iba dan jatuh hati padamu. Ingatlah, kamu hanya butiran debu untuknya. Dia sama seperti Clarissa, keluarganya hanya akan merendahkan mu, sebaiknya jangan terlalu bermimpi untuk mendapatkannya.'

Dean seolah mendapat bisikan untuk mengingat siapa dirinya, pantas atau tidaknya dia mengharapkan Bryana. Matanya memerah menatap cerminan dirinya.

"Aku sudah berusaha mengabaikan perasaan ini, tapi dia terlalu indah dilewatkan. Rasanya seperti ... seperti saat aku telah jatuh cinta padanya. Astaga! Kenapa aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri?" Dean meremas rambutnya dengan frustasi, merutuki dirinya yang malah semakin jatuh hati pada Bryana.

avataravatar
Next chapter