webnovel

28. Bertemu Teman Lama

Sampai di stasiun berikutnya. Untungnya aku sudah mengambil semua tabunganku sebelum berangkat tadi, jadi aku tidak perlu khawatir lagi. Dan sekarang aku harus membuang ponsel ini dan membeli lagi yang baru supaya tidak bisa dilacak. Aku membeli tiket lagi karena aku akan pergi ke tempat lain.

Kami pun naik kereta lagi. Beberapa jam kemudian, hari berganti menjadi siang. Aku pun turun dari kereta. Begitu banyak orang yang berlalu lalang. Aku menyeret koper dengan tas besar yang aku tumpuk supaya tidak terlali berat. Clarisa pun anteng-anteng saja, tidak rewel menyusahkanku kecuali popoknya sudah harus diganti.

"Huft! Sekarang kita beli ponsel dulu ya, supaya mommy bisa menghubungi teman mommy," gumamku sambil melihat pada Clarisa yang baru saja terlelap.

Sebelum membuangnya tadi, aku memang sempat menuliskan satu kontak untuk meminta bantuan darinya. Aku sengaja berjalan kaki sekuat kakiku melangkah. Hingga sampai di sebuah rest area. Aku menitipkan tas koperku di sana sementara karena aku harus ke toilet. Aku merasa bingung bagaimana cara aku mengganti sementara Clarisa tidak bisa aku titipkan ke sembarang orang. Meskipun nanti aku akan kesusahan sendiri, lebih baik Clarisa aku bawa saja ke dalam.

Langkahku terhenti ketika akan menabrak seseorang karena aku tidak memperhatikan jalan. Mataku melebar melihat sosok yang ada di hadapanku yang mengenakan pakaian tuksedo. Dia sama terkejutnya denganku.

"Maaf," ucapnya lalu melangkahkan kakinya.

"Tunggu!" dengan suara agak keras.

Karena suaraku, tidur Clarisa terganggu. Aku langsung menenangkannya sambil menghampiri pria itu.

"Yudha, kamu tidak ingat denganku?" tanyaku padanya yang masih berdiri.

Dia terdiam dan menatapku beberapa saat.

"Oh, iya. Kamu, hem ..."

"Jangan bilang lupa namaku loh!"

"Ha-ha. Tapi sepertinya begitu," ujar Yudha.

"Sudah aku duga. Aku Kayla."

"Oh, iya, iya. Aku akan mengingatnya sekarang. Aku pernah menemuimu sekali jadi aku lupa denganmu karena aku sering ketemu banyak orang. Anakmu? Suamimu mana?" Yudha sambil mengedarkan pandangannya.

"Aku hanya berdua dengan anakku. Sibuk enggak sekarang?"

"Tidak juga sih, soalnya sekarang mau pulang. Sudah sore juga kan."

"Baguslah. Aku titip anakku sebentar, ya? Aku harus ke toilet, biasa urusan perempuan. Susah kalau sambil gendong anak."

"Oh, baiklah. Berikan dia padaku."

Yudha pun menggendong Clarisa. Akhirnya keberuntungan sedang berpihak padaku. Aku harus bergegas untuk menggantinya sekarang. Keluar dari toilet, aku tidak melihat Yudha di tempat tadi.

"Astaga! Seharusnya aku tidak mempercayai siapa pun. Ke mana dia membawa anakku?" gumamku sambil mengedarkan pandangan.

Aku berlari menuju penitipan barang. Dengan napas masih terengah-engah dan mata sudah berkaca-kaca.

"Maaf, pak. Bapak tadi lihat seorang pria yang menggunakan blazer sambil membawa bayi tidak?" tanyaku pada petugas penitipan barang.

"Oh, maaf. Temannya pak Yudha?" tanya seorang pria yang tengah berdiri.

"Iya. Mana Yudha?" tak kuasa menahan air mata, akhirnya berlinang juga.

"Beliau ada di mobil. Mari ikuti saya," ujarnya.

"Bagaimana aku bisa percaya padamu? Aku tahu tipuanmu! Aku tidak akan tertipu," kataku dengan suara yang cukup keras sehingga menjadi pusat perhatian.

"Maaf, mbak. Tolong jangan membuat keributan di sini," ucap petugas.

Pria tadi mengambil ponsel dari sakunya. Lalu melakukan panggilan dan memberikan ponselnya padaku.

"Silakan berbicara sendiri," ujarnya.

Aku pun menempelkan benda pipih itu di telingaku. Terdengar suara Yudha dan memintaku untuk datang ke mobilnya. Baru aku percaya setelah mendengar suaranya. Tasku dibawakan oleh pria itu yang ternyata dia adalah sopirnya dan aku mengikutinya dari belakang. Sampai di luar, terlihat mobil berwarna hitam. Sopirnya itu membukakan pintu untukku, terlihat Yudha masih menggendong anakku. Tak kuasa menahan air mata.

"Anakku," sahutku langsung masuk ke mobil dengan isak tangis.

"Sudah, biarkan aku yang menggendongnya. Nanti anakmu bangun," katanya.

Aku hanya mengusap kepala Clarisa, dan membiarkan Yudha menggendongnya. Aku kenal Yudha dari media sosial yang sempat bertemu sekali ketika aku liburan sekolah dulu, dan juga dia dulu sempat menyukaiku. Hanya saja kita berpisah dulu karena pekerjaan masing-masing.

"Mau pergi ke mana?" tanya Yudha.

"Tadinya aku ingin membeli ponsel. Lalu mencari tempat untukku tinggal," jawabku singkat.

"Wah, sudah banyak cerita yang kamu lalui, ya? Aku jadi ketinggalan banyak," ujarnya.

"Ya, sama. Aku juga sudah ketinggalan banyak cerita yang aku lewatkan juga tentangmu," kataku.

Dia tersenyum. Dia menyuruh sopirnya untuk pulang ke apartemennya dan juga menyuruhku untuk beristirahat di sana untuk sementara waktu. Memang sih aku merasa lelah setelah berjalan kaki cukup jauh, ditambah lagi sambil menggendong Clarisa.

"Maaf, aku tidak bermaksud ikut campur, tapi apa kamu sedang bertengkar dengannya?" tanyanya.

"Tidak. Aku bercerai dengannya. Kemarin dia mengirimkanku surat perceraian. Anak sama bapak sama saja.

"Aku turut prihatin atas kejadian yang menimpa kalian."

"Ngomong-ngomong, jika aku nanti ke apartemenmu, apa istrimu tidak apa-apa?"

"Aku belum menikah, Kay."

"Oh, maaf."

Tidak aku sangka pria tampan dan kaya raya ini belum menikah. Aku ingin menanyakannya tapi aku rasa tidak sopan untuk mengulik privasi seseorang. Aku menatap jendela. Karena duduk sambil menyandar, aku pun terlelap.

Aku membuka mata. Terdengar tangisan Clarisa. Lalu aku pun tersadar bahwa aku ketiduran di mobil orang lain. Mobil sudah berhenti. Melihat samping kananku, Yudha berusaha menenangkan Clarisa. Aku tersenyum, lalu menggendong Clarisa. Aku belum memberinya asi, karena aku ikut tertidur juga.

"Sini, sayang. Kamu lapar, ya?"

Aku mengeluarkan kain untuk menutupiku saat menyusui. Terlihat Yudha salah tingkah.

"Ehem! Aku akan menunggu di luar saja," katanya sambil memalingkan wajahnya.

Aku hanya mengangguk. Dia pun keluar dari mobil. Aku masih belum percaya dia belum menikah. Selesai memberi asi, aku pun keluar dari mobil.

"Terima kasih sudah menunggu," kataku.

"Mari kita ke atas," ajaknya.

"Sebentar, tasku ..."

"Sudah dibawa Agus ke dalam."

Aku hanya mengangguk lalu mengikutinya. Sampai di apartemennya. Sungguh mewah. Aku bisa jadikan tempat ini sebagai objek ceritaku nanti. Ah, iya. Aku sudah tidak bisa membuat komik lagi karena aku lagi menghindar dari semua orang.

"Tidurkan saja anakmu, siapa tadi namanya?" sambil berjalan lalu membalikkan badannya saat bertanya.

"Clarisa," jawabku.

"Nah iya, Clarisa. Ayo biar aku tunjukkan untuk kamarnya."

Aku mengikutinya kembali dari belakang. Sampai di kamar. Kasurnya sebesar kasur Aditya yang ada di rumahnya. Aku terdiam. Teringat mantan suamiku itu. Tidak ada foto apa pun di kamarnya. Tapi kamarnya masih terlihat elegan nan mewah. Aku pun menidurkan Clarisa di atas kasur itu.

"Kamu dulu saja yang mandi, jangan khawatir. Clarisa aku awasi kok."

"Baiklah. Aku akan pergi mandi dulu."

Aku mengambil peralatan mandiku. Ternyata dia masih tetap baik seperti dulu. Aku bersyukur karena mendapat bantuan saat aku merasa bingung.