webnovel

13. Aku ingin Hamil Juga

Beberapa minggu kemudian. Proyekku membuat komik telah selesai dan aku berhenti dulu untuk menggambar beberapa hari ke depan karena aku ingin menghabiskan waktu bersama suamiku sambil mencari inspirasi untuk komikku selanjutnya.

Sudah beberapa hari Aditya membuka warung nasi di depan rumahku. Jarang sekali di daerah sini laki-laki yang memasak. Maka dari itu, ibu-ibu masih menggosipkanku dan bilang kalau aku tidak pandai masak. Sudah tidak asing lagi bagiku untuk jadi bahan omongan orang. Hanya saja omongannya agak lain dari biasanya.

Ketika warung cukup ramai, ponsel Aditya berdering. Dia mengangkatnya. Aku sungguh penasaran mereka sedang membicarakan apa karena Aditya masuk ke rumah.

"Oh, jadi ini perempuan perebut tunangan orang lain."

"Iya, jahat banget kan? Merebut jodoh orang. Pantas saja pernikahannya diadakan dengan sederhana."

"Enggak sangka ya, Bu."

Aku tak paham mendengarnya. Apa maksudnya itu? Apa mungkin yang mereka bicarakan itu aku? Aku tidak tahu itu.

Aditya pun keluar lalu meminta Vina untuk datang membantu. Aku masih bingung dengannya. Ada apa sebenarnya.

"Semua baik-baik saja kan?" tanyaku khawatir.

"Aku akan pergi ke kantor, kamu mau ikut?" tanyanya tanpa basa-basi.

Aku mengangguk dengan cepat. Aku pun menurutinya untuk menghubungi Vina. Tak lama Vina pun datang. Aditya memberitahu kepada Vina untuk harga makanannya sudah tertulis di ponsel itu. Kami bergegas pergi.

"Sayang memangnya ada apa?" tanyaku setelah Aditya melajukan motor.

"Ada yang membuat rumor tidak jelas. Dan harus di hapus sekarang. Aku yakin itu perbuatan Sherlin," jawab Aditya.

"Rumor? Rumor apa sih?"

"Kamu lihat saja di ponselmu. Lihat yang sedang trending hari ini."

Aku pun membuka ponselku. Mengetik di kolom pencarian. Muncul di paling atas.

Mantan CEO VK grup memilih wanita simpanannya dari pada tunangannya.

Wanita penggoda CEO VK grup.

Mantan CEO VK grup mengundurkan diri dari jabatan karena memilih wanita yang tidak jelas asal-usulnya.

Beberapa judul yang aku baca seperti itu. Sungguh menyebalkan. Karena terlalu asyik melihat ponsel aku tidak menyadari bahwa kami sudah sampai di depan kantor.

Semua orang menatap ke arah kami ketika masuk. Kami langsung menuju lift. Pintu lift pun terbuka. Bayu sudah menunggu kedatangan kami.

"Dia sedang ada di ruangannya," kata Bayu.

Pintu pun dibuka dengan kasar oleh Aditya. Aku menarik napas panjang sambil mengepalkan tanganku menahan emosi.

"Dasar pelakor! Hapus berita yang kamu buat! Cepat!" bentak Aditya sambil menggebrak meja.

"Apa kamu merindukanku, honey?" tanyanya dengan manja lalu melihat ke arahku. "Kenapa kamu membawa dia kemari? Oh apa untuk menunjukkan kepadanya bagaimana permainanku saat di ranjang?"

"Tutup mulut kotormu itu!" gertak Aditya. "Hapus semua berita yang berhubungan denganku."

"Kalau aku tidak mau?" tanya Sherlin sambil melingkarkan tangannya di leher Aditya.

Melihatnya membuatku semakin kesal. Aku menarik tangan Aditya agar ada jarak di antara mereka.

"Jangan menyentuh suamiku, sialan!" bentakku.

"Hei. Dia seharusnya menjadi suamiku tetapi kamu merebutnya dariku," katanya dengan tatapan tajam.

"Dia milikku. Dia tidak bisa menjadi milikmu, tidak akan pernah," sahutku.

"Benarkah begitu?" katanya. "Lalu bagai mana dengan nasib anak kita, honey?" katanya sambil memandang Aditya.

Anak? Apa kejadian saat itu Aditya menaruh bibit di perutnya? Lalu bagaimana dengan aku? Sudah beberapa kali aku melalukan itu dengannya tapi aku tidak kunjung hamil, tapi malah wanita ini yang hamil. Aku mengalihkan pandanganku pada Aditya dengan wajah kecewa.

"Jangan bicara omong kosong kamu! Itu bukan anak aku!" kata Aditya.

"Jajat sekali papahmu, nak dia tidak mau mengakuimu sebagai anaknya," kata Sherlin sambil mengusap-usap perutnya yang masih rata.

Aditya sudah mengepalkan tangannya. "Mana buktinya kalau itu adalah anakku?" tanya Aditya.

Dia mengeluarkan tes kehamilan dari lacinya lalu memberikan kepada Aditya.

"Aku sengaja menyimpannya untuk menunjukkannya kepadamu," kata Sherlin lalu duduk di kursinya.

Aku hanya terdiam melihat garis dua di benda itu. Aditya melemparkannya ke arah Sherlin. Sherlin menyeringai.

"Aku akan menghapus semua berita itu, dengan satu syarat," kata Sherlin.

Aku dan Aditya melihat ke arahnya menunggu ucapan selanjutnya. Jangan bilang dia...

"Menikahlah denganku dan tinggalkan dia," sambung Sherlin.

"Brengsek kamu! Kamulah pelakor yang sesungguhnya! Sialan," teriakku setelah mendengar ucapannya.

"Jangan harap kamu bisa menikah denganku Sherlin," kata Aditya lalu membawaku keluar dari ruangan itu.

Bayu langsung berdiri melihat kami keluar ruangan. Aditya hanya memberikan kode untuk tetap diam dan tidak mengikuti kami.

Di dalam lift, air mataku pun menetes. Aku langsung menghapusnya dengan kasar. Aditya merangkulku, sepertinya dia melihat air mataku menetes.

"Maaf. Aku akan menyelesaikannya secepat mungkin," kata Aditya.

"Dengan menikahinya?" tanyaku sambil melihat ke arahnya.

"Bodoh. Tidak dengan itu. Kamu lihat saja nanti. Berita itu pun hari ini akan menghilang," katanya dengan santai.

"Benarkah begitu?"

Aditya menganggukkan kepalanya. Di perjalanan pulang, aku memegang perutku yang masih rata.

"Sayang, jika aku tidak bisa hamil kamu boleh menikahinya," kataku.

"Apa kamu sudah tidak waras? Aku tidak memberinya anak, dia hamil oleh pria lain."

"Tapi kamu tidak sadar waktu itu, tidak menutup kemungkinan dia hamil anakmu."

"Aku akan membuktikannya bahwa itu bukan anakku."

Aku mendengus kesal. Sampai di rumah. Dagangan pun tinggal sedikit. Vina memberikan uang penjualan selama kami pergi. Aku masih kesal dengan Aditya.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu, Kay?" tanya Vina.

Aku melihat ke arah Aditya lalu mengembalikan pandanganku pada Vina.

"Tidak apa-apa," jawabku singkat.

Aku langsung masuk ke kamar dan berganti pakaian. Entah kenapa hatiku merasa gelisah. Ingin sekali untuk marah tapi aku tidak bisa marah tanpa alasan yang jelas. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Teringat kejadian tadi ketika Sherlin memberikan alat tes kehamilan itu.

Pintu pun terbuka, melihat Aditya yang datang. Aku langsung membalikkan tubuhku untuk membelakanginya.

"Kamu kenapa?" tanya Aditya setelah duduk.

"Aku sebel sama kamu. Aku gak mau ngomong sama kamu," sahutku.

"Ada apa tiba-tiba kesel?"

"Enggak tahu, pokoknya aku kesel sama kamu."

"Kamu kenapa sayang?"

Aku bangun dan duduk menghadapnya. Sambil memegang perut, "Aku ingin punya anak juga."

Aditya tertawa kecil setelah mendengar jawabanku.

"Mau di tes? Kamu belum mencoba mengecek hamil tidaknya kan?"

Aku hanya mengangguk. Dia pun mengecup keningku lalu menyuruhku untuk istirahat. Katanya dia mau membereskan dagangannya. Aku pun tertidur.

Aku membuka mataku, melihat Aditya tengah memainkan game. Aku memeluk pinggangnya.

"Kamu sudah bangun sayang?" tanyanya dengan mata yang masih fokus melihat layar ponselnya.

Aku hanya berdeham menanggapinya.

"Aku membelikan beberapa untukmu. Nanti pagi kamu coba, ya?"

Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya dia berbicara seperti itu. Aku melihat ada kantung plastik di samping Aditya. Aku pun mengambilnya. Melihat beberapa jenis alat tes kehamilan di dalamnya.

"Selama itukah aku tertidur?"

"Iya, hari ini kamu tidur lebih lama dari pada biasanya."

Aku pergi untuk membersihkan diri. Tidak aku sangka ternyata Aditya berani membeli itu sendiri. Aku harus coba menjailinya nanti, sepertinya akan seru.