webnovel

07. Nilam

"Kamu nggak serius sama pernikahan ini, kan, Ben?"

Laki-laki itu mengalihkan tatapan ke sekitar dengan pandangan bosan. Ia menarik lengan sebelah kanan yang sejak tadi diapit oleh seorang wanita yang mengenakan dress merah hati di atas lutut dengan rambut keriting gantung yang membuatnya terlihat cantik dengan dandanan natural tersebut. Di saat Bentala menarik lengan dalam pelukan wanita itu, raut kekecewaan jelas tergambar di wajahnya yang terlihat imut. Sedetik kemudian Bentala beranjak dari kursi yang berada di depan rumahnya sendiri.

Memang sepulang mengantarkan Nika tadi Bentala sudah dikejutkan oleh kedatangan rekan kerjanya selama ini. Dan keduanya memutuskan untuk bicara di taman rumah laki-laki itu, atau lebih tepatnya wanita tersebut yang menyeret paksa Bentala untuk bicara setelah banyaknya panggilan telepon yang terabaikan.

Pekarangan rumah yang disulap menjadi sebuah taman itu dipenuhi dengan berbagai jenis bunga milik Rahayu—mama Bentala. Lampu-lampu taman setinggi satu meter tersebar di beberapa sudut taman tersebut, di lengkapi dengan beberapa kursi panjang dan pusatnya adalah sebuah air mancur megah yang menampakkan patung berbentuk dua insan, salah satunya adalah laki-laki bertopi fedora yang memegang payung dan seorang wanita yang mengenakan rok tutu balet. Patung laki itu mengeluarkan air mancur dari ujung payungnya, sedangkan si patung wanita mengeluarkan air mancur dari rok tutu balet.

"Jawab aku, Ben. Kamu tau kalau selama ini aku nunggu kamu buat balas perasaan ini, 'kan?" ujar wanita itu kembali saat melihat Bentala yang tampak enggan untuk melanjutkan percakapan ini.

Sedangkan bagi wanita itu, kabar mengenai pertunangan Bentala aka, laki-laki yang selama satu tahun ini sukses membuatnya jatuh hati, sudah berhasil membuat isi kepalanya lebih riuh daripada biasanya. Ia bahkan rela menunggu Bentala agar laki-laki itu luluh kepadanya. Agar hubungan mereka berdua bisa lebih dari sekedar teman biasa. Tapi, hari ini kabar pertunangan Bentala dengan wanita lain berhasil membuat hatinya porak poranda. Nilam butuh penjelasan dari Bentala sendiri.

"Ben?"

"Aku serius," balas Bentala kemudian, laki-laki yang semula memunggungi Nilam berputar sehingga tatapan keduanya bertemu di antara temaram lampu taman.

Tatapan Bentala datar, namun di sana Nilam selalu berhasil menemukan kehangatan yang membuatnya jatuh pada sosok laki-laki itu. Hanya saja kali ini sepasang mata wanita itu nyalang, ia sungguh berharap menemukan celah kebohongan di antara sorot mata yang selalu membuatnya jatuh dan cinta.

"Aku nggak main-main kali ini, Nilam. Jadi, aku harap kamu berhenti buat menyukaiku."

"Kamu pikir perasaan manusia hal yang bisa dikendalikan dengan semudah itu?"

Bentala menunduk untuk beberapa saat setelah dengan jelas ia menangkap mata indah milik Nilam sudah berkaca-kaca. Ia yakin dalam satu kedipan saja air mata akan jatuh melewati pipi bulat rekan kerja terbaiknya selama ini. Namun, tak ayal pada akhirnya Bentala memangkas jarak di antara dirinya dan Nilam, sehingga jarak keduanya tersisa selangkah saja. Ia sentuh kedua pundak Nilam dengan hangat seperti saat ia menenangkan Nilam di masa silam.

"Sekarang mending kamu pulang, udah malam, aku minta tolong Pak Aris buat anterin kamu."

"Kamu serius sama pernikahan ini? Kamu bener-bener udah yakin sama keputusan yang kamu ambil? Kalo kamu nggak suka sama perjodohan ini, aku bisa bantu kamu bicara sama Tante Ayu," pungkas Nilam mengabaikan perintah Bentala untuk pulang.

"Aku tau kamu nggak cinta sama Nika."

Namun, yang didapatkan oleh Nilam tak lain dan tak bukan hanya sebuah gelengan pelan dari Bentala. Kedua tangan laki-laki itu melepaskan pundak Nilam dan masuk ke dalam saku celana bahan.

"Apapun keputusanku, aku harap kamu nggak ikut campur Nilam."

Bukan ini jawaban yang Nilam harapkan. Ia sungguh-sungguh tak menyangka akan mendengar kalimat seperti ini dari bibir Bentala. Masih mencari-cari lewat sorot mata Bentala yang malam ini terlihat sangat datar dan dingin. Kehangatan itu mendadak sirna, bahkan Nilam tak dapat menemukan setitik kecil saja kebohongan di mata Bentala. Ia benci hal itu.

"Pulang. Jangan datang ke sini lagi," ucap Bentala.

Bersamaan dengan ia menyelesaikan ucapan itu, sebuah tamparan mendarat di pipinya dengan keras.

Bentala masih tertunduk diam. Sedetik kemudian laki-laki itu kembali mengangkat kepalanya dan berlalu meninggalkan Nilam yang masih sesenggukan di tempatnya sambil memanggil nama Ben. Hanya saja laki-laki itu sungguh tidak berniat merespon Nilam lebih jauh. Sekalipun keduanya saling mengenal dengan cukup dekat sebagai rekan kerja, tapi Ben tak pernah memiliki perasaan apapun kepada Nilam.

Ia terus berjalan menaiki anak tangga sampai melewati pintu utama dan bergegas ke atas menuju ke kamarnya. Ben harus segera berkemas, membawa barang-barangnya yang akan ia bawa ke apartemen pribadi yang akan ia tinggali bersama Nika nanti.

Yah, sekalipun wanita keras kepala itu belum menandatangani surat kontrak yang ia ajukan. Ben berharap Nika segera melakukan tugasnya, toh ini semua juga demi kebaikan mereka berdua, 'kan?

Mengingat surat kontrak itu, Ben juga mendadak teringat tentang Nika dan segala perubahan sikap wanita itu yang sangat drastis. Ben yang baru saja memasuki kamar tanpa gangguan itu melepaskan jas yang ia kenakan dan meletakkannya di sebuah sandaran sofa. Ia kemudian bergerak melepas kancing kemeja hingga pakaian formal itu terlepas dari tubuh atletisnya, menyisakan kaus putih yang melekat sebagai dalaman.

Ben kemudian membanting tubuh ke atas kasur berukuran besar tersebut.

"Arunika," gumam Bentala.

"Sebenernya kamu ini kenapa?" bisiknya sekali lagi, mengingat kejanggalan dan pertanyaan tidak masuk akal yang dikatakan oleh wanita itu sejak pingsan kemarin.

'Anggap aja aku ini amnesia.'

Ben mengerutkan dahi, ia merasa benar-benar janggal dengan hal ini. Beberapa kali Nika bahkan menyebutkan nama Naya, dan siapa juga gadis yang hari ini mereka kejar. Nika terus mengatakan bahwa dirinya Naya.

Ben memejamkan mata, memijit pelipis yang terasa pening dan bergegas bangkit dari kasur untuk menyambar handuk.

"Semuanya terlalu mendadak!" desah laki-laki itu melepaskan kaos sehingga menampakkan bentuk tubuh yang sempurna.

Otot perutnya yang kotak-kotak, lengan padat dan wajah tanpan itu, siapa sangka Ben yang memiliki visual sempurna itu justru harus menikah kontrak dengan wanita keras kepala seperti Nika.

Laki-laki itu sudah lenyap ditelan pintu kamar mandi yang memiliki kaca buram.

***

Naya masih mengamati dirinya di depan cermin rias yang di atas meja itu penuh dengan benda-benda mahal. Kosmetik yang tak pernah tersentuh olehnya, dan tentunya sangat bukan style dandanan Naya yang sangat-sangat natural. Bahkan berangkat kuliah dan kerja pun, Naya hanya mengenakan lipbalm dan sedikit bedak tabur.

Cukup lama gadis itu menatap lebih lekat bola mata yang asing dan tak ia kenal itu. Pantulan dalam cermin ini sungguh bukan Naya, tapi ia sepenuhnya harus menjadi wanita itu. Wanita cantik yang tak pernah tersenyum dan menurut Naya, Nika kepribadian raga yang ia tumpangi ini sangatlah kaku dan dingin. Melihat dari beberapa foto, gestur, bahkan tatanan kamar yang terkesan dingin.

Tangannya menyentuh sebuah lipstik merah pekat, kemudian mengoleskan benda itu ke bibir ranumnya dengan volume penuh.

"Baiklah, kalau emang ini yang terjadi. Apa boleh buat?" gumam Naya, "aku akan benar-benar berperan sebagai Nika."

BERSAMBUNG