webnovel

Tiada Pilihan

Hempasan angin sore menerbangkan anak-anak rambut seorang gadis yang saat itu duduk dengan tenang di tepi danau. Angin yang dingin itu, seolah menemaninya, dengan gemerisik daun yang gugur dan bergoyang karena terbelai angin, hingga sinar mentari kejinggaan khas senja menjadi obyek paling indah yang kini ada di depannya.

Asyara Hemalia, begitu nama lengkapnya. Gadis itu hampir sudah dua jam berada di atas tembok pembatas danau. Ia tak lelah, sebab buku-buku tebal kini ada di genggamannya. Membuka halaman demi halaman untuk ia baca dengan seksama.

Hanya sendiri, seorang diri, dengan headset yang dipasang di telinganya, Asyara mendengarkan lagu favorit yang selalu membuat moodnya naik drastis. Saat gadis itu membuka halaman selanjutnya dari buku astronomi yang ia baca, tiba-tiba angin berhembus kuat, selembar kertas yang terlipat di dalam buku tersebut langsung terbang tersapu angin. Entah kertas apa, Asyara sendiri tak tahu, yang pasti saat menyadari kertas itu terbawa angin, Asyara langsung berdiri dari tempatnya, lalu dengan cepat menuruni tembok pembatas, berlari kencang berusaha menggapai kertas yang terbang mengikuti arah ke mana angin melaju.

Langkah demi langkah berulang kali Asyara picu dengan cepat, nafasnya mulai terengah dengan tempo jantung yang berdetak mulai tak beraturan. Asyara menghela nafas lelah, menghentikan lajunya dengan tatapan yang terus terkunci pada selembar kertas itu. Jangan-jangan itu kertas khusus ataupun penting yang diselipkan di buku astronomi yang super tebal tadi. Jadi mau tak mau Asyara harus mendapatkannya kembali!

Kini, Asyara melihat kertas tersebut sudah tergeletak diatas aspal, jalanan yang berdiri di antara danau itu cukup sepi dan kecil. Hanya beberapa kendaraan yang melewatinya, dan hanya beberapa orang yang sering menghabiskan waktu di sana. Saat Asyara melangkah mendekati kertas itu, lalu membungkuk untuk mengambilnya, tiba-tiba datang sebuah motor yang melaju dengan kencang dari arah kanan. Pengendara motor itu menyalakan klakson dengan kuat, namun Asyara yang saat itu memakai headset dengan lagu yang diputar dengan volume kencang membuat Asyara tak bisa mendengar bunyi klakson pengendara itu.

TIIIIIN! TIIIIIN! TIIIIIN!

Merasa kesal, pengendara itu menghentikan laju motornya dengan terpaksa, lalu membuka helmnya. Bersamaan dengan itu, Asyara melirik pada pengendara itu. Gadis itu langsung terbelalak, terkejut.

Asyara melihat pengendara itu adalah seorang lelaki dengan rambut hitam legam dengan tatapan tajam, rahang dan hidung yang tegas. Tatapan lelaki itu dingin sekali, berhasil merasuk pada benak Asyara, membuat nyali gadis itu sedikit menciut.

"Apa kau tak mendengar suara klakson motorku tadi?" tanya lelaki dengan wajah datar itu, namun dari nada suaranya, kentara sekali lelaki itu terlihat kesal.

Asyara menatap lelaki itu tanpa kedip, tanpa ekspresi. Lalu, ia mengangkat alisnya. "Apa?" tanya gadis itu mengulangi.

Tatapan lelaki itu berubah tajam, berusaha menelisik tatapan Asyara yang nampaknya tak merasa bersalah sedikitpun. Lalu, ia langsung mendengus kecil. Merasa tak ada gunanya ia berdiri di sana sekarang, lelaki itu mendengus. Lalu, tanpa sadar, ia melihat sebuah kertas yang kini menjadi perhatian Asyara. Gadis itu kembali membungkuk, hendak mengambilnya. Namun, lelaki tersebut terlebih dahulu menginjak kertas itu.

Hal tersebut langsung membuat manik Asyara terbelalak. "Hay, apa yang kamu lakukan?!" tanya Asyara sembari beralih menatap manik tajam lelaki di hadapannya.

Lelaki itu tak menjawab dan lebih memilih membungkuk untuk mengambil selembar kertas tersebut. Ia membaca kata itu sesaat setelah ia meluruskan punggungnya.

"Kembalikan," titah Asyara malas.

Tanpa mau menjawab pertanyaan Asyara, lelaki tersebut langsung meremas selembar kertas tadi, kemudian menyimpan kertas yang sudah tergulung itu ke dalam saku jaketnya. Tanpa pikir panjang, ia berbalik badan kemudian melangkahkan kakinya menuju keberadaan motornya.

Asyara langsung melotot. Gadis itu langsung mengerutkan keningnya. Kenapa lelaki itu aneh sekali? Tiba-tiba marah, lalu setelah melihat selembar kertas barusan, ekspresi wajahnya langsung berubah secara drastis.

BRUUUM! BRUUUM!

Bunyi pedal gas yang ditarik berhasil menyadarkan lamunan Asyara. Gadis itu langsung berlari cepat ke arah lelaki itu.

"Hey, kembalikan kertasku!" pekiknya. Namun, lelaki itu lebih memilih menjalankan motornya dengan cepat, hingga membelah jalanan tanpa memedulikan Asyara.

"Hey, tunggu! Kembalikan—" Ucapan Asyara terputus saat motor lelaki itu melesat melewatinya hingga anak-anak rambutnya tertebas kuat.

Asyara langsung berdesis kesal, kemudian berlari kencang. "Hey! Kertasku! Kembalikaaaaan!" teriak Asyara tak menyerah. Namun, saat melihat siluet tubuh lelaki itu yang semakin menjauh, Asya berhenti berlari dan menghela nafas kasar. Ia menatap perawakan lelaki tadi yang mulai tertelan jarak.

"Aish! Siapa sih lelaki itu?!" tanya Asya dengan nada menyentak sekaligus kesal.

***

Klek!

Asyara kembali ke rumah dengan mood yang benar-benar tak menyenangkan. Gadis itu menyimpan sepatunya di rak dengan malas. Lalu, berjalan ke arah ruang tamu yang ternyata sudah ada seseorang yang entah sejak kapan sudah berada di sana.

"Asya, kamu sudah pulang, Nak?" tanya Alma, ibunda Asyara.

Asya melirik sekilas, lalu berjalan menghampiri ibunya itu. Entah apa yang ibunya lakukan di ruang tamu, sepertinya tengah beres-beres. Ya, seperti biasa apabila ibunya itu baru pulang dari tempat kerja.

"Mama pulang hari ini, tumben? Bukannya Mama pulang dua minggu sekali?" tanyanya sembari duduk di hadapan sang ibu sembari menyambar sebuah susu kotak yang ada di atas meja. Entah punya siapa.

Alma tak langsung menjawab, wanita berumur itu lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya. Melipat baju-baju milik Asyara dan memasukannya ke dalam sebuah koper besar.

Hal itu sukses membuat Asyara terhenyak, terdiam beberapa saat seolah-olah berusaha mencerna akan apa maksud dari apa gang dilakukan oleh Alma sekarang.

"Mama ... Kenapa ... bajuku dimasukkan ke dalam koper?" tanya Asya ragu. "Apa kita akan berlibur?" tanyanya lagi menebak. Ya, walaupun Asya tahu, berlibur tak mungkin sampai membawa baju-bajunya dengan jumlah banyak.

Alma menghela nafas. "Asya, apa kamu masih tak mengerti juga?" tanya Alma tak habis pikir. "Malam ini, kamu akan ikut Mama, ke rumah majikan Mama," lanjut Alma.

Tuk!

Kotak susu yang tengah dipegang oleh Asya terjatuh tanpa sadar, sekaligus mengembalikan pikiran Asya ke dunia nyata.

Alma langsung menatap Asya diam, wanita itu hapal betul dengan Asya yang selama ini selalu menolak keinginannya untuk ikut dengannya dan tinggal di rumah majikan Alma.

Asya perlahan mengambil kotak susunya yang sempat jatuh, tanpa menatap ke arah Alma, Asya mengepalkan tangannya diam-diam. "Kenapa mendadak? Bukannya dari dulu aku tak mau tinggal di rumah majikan Mama? Kenapa Mama masih saja memaksaku? Apalagi—"

"Asya," sambar Alma cepat sembari menatap Asya dingin. "Kalau kamu tak ingin ikut bersama Mama, maka jangan pernah kamu temui Mama lagi!"

***

—Bersambung—

Next chapter