webnovel

Dua Puluh dua

Pak Steven menutup pintunya dan memutari mobilnya,menduduki kursi pengemudi lalu menatapku.

"Sekarang kita kerumah sakit terdekat, saya takut terjadi sesuatu terhadap kamu".

"Tidak Pak. Saya lebih baik pulang saja. Di kost saya akan langsung istirahat".

"Siapa yang akan menemanimu disana?".

Sorot mata Pak Steven terlihat khawatir, membuatku jadi sedikit salah tingkah kepadanya.

'Kenapa Pak Steven perhatian dan sikapnya begitu lembut?'.

"Saya sendirian Pak, lagipula saya sudah terbiasa".Jawabku sambil tersenyum meyakinkan Pak Steven.

"Malam ini sebaiknya kamu menginap di rumah saya saja, kebetulan saya punya dokter dan juga perawat pribadi, mereka bisa merawat kamu. "

"Tapi Pak saya..".

Ucapanku langsung dipotong Pak Steven,

"Saya tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh kepadamu. Tenang saja kamu bisa memegang kata-kata saya, supaya kamu lebih yakin dengan perkataan saya barusan saya akan panggil satu perawat untuk menjagamu malam ink jadi jangan khawatir".

"Saya pulang ke kost saja Pak". Ucapku membantah ajakannya merasa tidak enak denganya.

Pak Steven tidak menjawab, dia mengemudikan mobilnya keluar dari parkiran Restoran.

"Pak Saya tidak apa-apa Pak. Tolong antar saja saya kembali kekost saya Pak."

"Kalau itu memang keinginmu, kamu tidak perlu bekerja lagi dikantor saya". Ucapnya telak membuatku diam tidak bisa berkutik.

"Pilihan ada ditanganmu Davina, mau ikut saya kembali ke rumah saya menginap malam ini atau pulang kekost kamu, dengan satu syarat jangan kerja dikantor saya lagi, bagaimana?"

Aku menarik nafas untuk menenangkan gejolak amarahku yang meninggi.

"Baik saya ikut Bapak saja". Ucapku pura-pura lembut.

"Bagus, saya paling tidak suka jika ada yang membantah setiap perintah saya, paham?".

Aku mengangguk

"Paham Pak".

ucapku lembut walau dalam hatiku memberontak ingin memakinya.

'Dasar iblis'

"Pak,".

"Hmn"

"Tapi saya perlu kembali kekost sebentar untuk mengambil baju ganti".

"Tidak perlu, kamu bisa menggunakan baju tidur milik saya".

Aku melongo, tidak percaya dengan ucapannya.

"Tenang saja, maksud saya piyama yang masih baru belum penah saya gunakan sebelumnya".

Aku mengangguk bernafas lega. Tidak tau harus membuat alasan apalagi untuk menolak ajakan Pak Steven.

"Kita sudah sampai, mari keluar".

Dengan enggan aku keluar dari dalam mobil. Takut, satu kalimat yang menggambarkan perasaanku saat ini.

Aku mengekori Pak Steven sampai kami berada didepan sebuuah kamar.

"Ini tempatmu tidur malam ini dan kamu juga pasti sudah tau kalau kamar saya tepat berada di sebelah kamarmu, kalau kamu ada butuh sesuatu kamu bisa mengetuk pintu kamar saya," Pak Steven menunjuk kamar yang berada di samping kiri.

"Baik Pak".

"Sebentar saya ambilkan baju tidur untukmu. Oh ya untuk perawat pribadinya akan tiba sekitar tiga puluh menit lagi."

Aku mengangguk paham kalimatnya.

Pak Steven masuk kamar dan

tidak lama kemudian dia kembali dengan dua pasang piyama ditangannya dengan labelnya yang belum terlepas.

"Ini, kemarin saya salah membeli ukuran kedua piyama ini berukuran terlalu kecil. Jadi tidak bisa saya gunakan.".

Aku mengambil baju itu,lalu pamit dan masuk kedalam kamar. Mandi seadanya dengan cepat, aku takut berlama-lama dikamar mandi, aku takut jika tiba-tiba keluar dari kamar mandi Pak Steven sudah berdiri di dalam kamar dan melakukan hal yang tidak-tidak.

Aku bergidik ngeri membayangkannya.

Dengan cepat aku memakai piyama pemberian Pak Steven.

Keluar dari kamar aku dikejutkan dengan suara Pak Steven.

"Kenapa tidak istirahat di kamar?".

Tanya Pak Steven, sepertinya dia baru saja selesai bertelepon.

"Saya sudah merasa lebih baik sekarang Pak, dan saya merasa bosan saat dikamar".

Pak Steven mengangguk

"Sambil menunggu perawatnya datang kamu mau saya ajak berkeliling di rumah ini dan pekarangannya?".

Aku menggeleng, takut-takut kalau Pak Steven khilaf, walau pun aku sadar kalau aku tidak cantik tapi hal itu bisa saja terjadikan. Kita tidak pernah tau apa yang dipikirkan seorang pria.

"Saya kembali kekamar saja Pak, disini udaranya dingin".Pak Steven mengangguk pelan lalu masuk kekamarnya,aku yang ditinggal sendiri berinisiatif masuk kedalam kamar yang akan kutempati malam ini. Baru saja tanganku menggapai handel pintu.

"Davina". Itu suara Pak Steven , aku berbalik memghadapnya.

"Ini pakailah". Dia menyodorkan hoodie hitam tepat kearahku.

"Pakailah, supaya kamu tidak kedinginan malam ini".

Aku mengulurkan tanganku

"Terimakasih Pak". Ucapku saat hoodie itu telah kuterima dan langsung saja hoddie itu kupakai.

Pak Steven mengangguk

"Kembali kekamar jika kamu kedinginan".

seledai berkata begitu dia lalu meninggalkanku, aku kembali kekamar merebahkan badanku menarik selimut sebatas dada sambil menunggu perawat yang tadi diucapkan Pak Steven.

Aku membuka mata saat kurasakan cahaya matahari mengusikku. Kutarik bantal guling yang kupeluk sejak semalam untuk menghalangi cahaya matahari.

Satu detik dua detik tiga detik, hingga aku tersadar saat ini tengah berada dirumah Pak Steven. Membuka mata cepat aku berlari menuju kamar mandi membersihkan badanku, memakai kembali pakaianku semalam,karena aku tidak punya baju disini.

"Halo nona Davina".

Seseorang menyambutku begitu aku keluar dari kamar. Bukan Pak Steven melainkan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun.

"Eh ia Bu". Balasku dengan kikuk.

"Mari saya antar kemeja makan".

Aku mengekori si Ibu itu yang kurasa memang dipekerjakan Pak Steven dirumah ini.

"Silahkan duduk".

Aku menurut duduk, kuedarkan pandanganku mencari keberadaan Pak Steven, namun batang hidungnya tak kunjung muncul.

"Bapak Steven sudah pergi bekerja sejak jam tujuh pagi tadi Nona". Aku menatap Ibu itu, wanita itu hanya tersenyum kemudian berlalu dari hadapanku.

"Jam tujuh pagi? memang sekarang jam berapa?" tanyaku lebih kediriku sendiri. Kuambil ponselku yang berada di dalam saku celanaku.

"Hah..sekarang jam sepuluh pagi?".

Aku memekik, kupukuli kepalaku pelan hampir menangis dengan kebodohanku.

'Mungkin aku akan benar-benar dipecat sekarang'

Aku meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sedikit pun makanan yang ada disana. Berlari melewati tangga menuju kamar tempatku tidur semalam.

Dengan kasar aku mengambil tasku dan memasukkan beberapa barangku yang tercecer.

Aku berlari menuruni tangga.

"Bu, maaf saya ada urusan dan maafkan saya tidak memakan masakan Ibu, permisi".

Aku berlari sekencang yang kubisa kututup pintu dengan kasar.

Bruk...

Karena terlalu panik aku menabrak sesuatu saat berbalik setelah menutup pintu.

Saat kuangkat kepalaku, tenyata yang kutabrak adalah dada bidang milik Pak Steven.

"Maafkan saya Pak. Saya kembali lalai". Kutangkupkan tanganku dikening menunduk menutup mata sambil merutuki kebodohanku sendiri.

Tidak ada sahutan.

"Pak Steven tolong maafkan saya".

Masih tidak ada sahutan, mataku terasa panas ingin menangis otakku berpikir keras. Hingga sebuah ide muncul dikepalaku.

Aku jongkok ingin bersujud dihadapannya

"Apa yang kamu lakukan?". Bentaknya dengan nada tinggi membantuku berdiri sebelum aku bersujud.

"Maafkan saya Pak". ucapku memelas, memohon kepada Pak Steven walau masih belum berani membuka mata menatapnya.