14 Jangan paksa gue makan ikan

Meski Nesya mengomel, mengumpat, bersungut-sungut kesal sekalipun. Elvan tetap tidak peduli, kali ini dia sudah mulai tegas, mengajari sang istri untuk tidak manja lagi.

Tidak ada pilihan lain bagi Nesya. Perut keroncongan membawa ia terpaksa duduk dan mencoba menu yang tersaji di sana. Baru saja ia memotong bagian ikan nila bakar perutnya sudah terasa begitu mual.

Ayolah, Nes. Lo pasti bisa makan ikan, batinnya menguatkan.

Sang Bibi merasa iba dengan wanita yang baru setengah hari menginjakkan kaki di rumah majikannya. Mata yang memancarkan kilatan air, menandakan kalau Nesya serius tidak suka dengan menu ikan di depannya.

"Bibi buatkan makanan lain saja ya, Non?" tawar wanita paruh baya itu kembali membuka suara.

"Tidak usah, Bi. Nesya bisa makan ikan, kok." Lagi-lagi Elvan melarang asisten rumah tangga itu.

Menghela napas, Nesya pun mengerjapkan mata menghalau rasa mualnya. Menyatukan ikan dengan nasi di piring, ia pun mulai memilah daging dan duri kecil-kecil.

Baru satu suapan ia jejalkan makanan, rasa mual sudah tidak dapat tertahankan. Melupakan etika di meja makan ia pun mengeluarkan suara yang bisa saja membuat Elvan jijik.

"Hoek-hoek-hoek!"

Lari. Nesya berlari ke wastafel di dapur. Memuntahkan makanan yang bahkan belum sampai masuk ke dalam tenggorokannya. Dan parahnya, sarapan tadi pagi pun turut keluar mengosongkan isi perutnya.

Elvan segera menyusul sang istri, membantu memegangi rambut dan mengusap-usap belakang Nesya. Khawatir? tentu saja. Sesal? sudah pasti. Kalau tahu seperti ini, dia tidak akan memaksa wanita manja itu memakan ikan.

Membasuh mulut, Nesya berbalik dan bersandar pada meja wastafel. Memejamkan mata, pening bersarang di kepala. Tak kuat menahan lemas pada seluruh tubuh, wanita cantik berbalut jumpsuit itu pun merosotkan tubuhnya dan membiarkan bokongnya terduduk di lantai dingin.

"Ini minum, Non." Sang Bibi menyodorkan segelas air putih.

"Sini, Bi." Elvan meraih gelas kaca tersebut. Turut duduk, dia mendekatkan bibir gelas ke mulut Nesya. "Minum dulu," pintanya lembut.

Nesya menyesap air bening dengan perlahan. Meski matanya terbuka, tapi pening masih mendominasinya.

Gluk-gluk-gluk!

Nesya mendorong gelas setelah berhasil membasahi kerongkongan beberapa tegukan.

"Sudah?" tanya Elvan.

Bukannya mengangguk, Nesya malah menatap nyalang Elvan. "Puas lo?!" marahnya.

Elvan menaikkan kedua alisnya. Mengernyit, dia tidak heran kalau Nesya marah sama dia, sebab ini memanglah kesalahannya.

"Puas lo lihat gue begini?!" ulang Nesya lagi. Susah payah berdiri, dia menepis tangan kekar yang sigap membantunya.

Berpegangan pada meja wastafel, Nesya memejamkan sesaat mata untuk menghalau pusing yang masih saja menyertainya. Lantas melangkah, ia memaksa diri untuk pergi dari sana.

"Aku bantu," tawar Elvan.

"Nggak usah," tolak Nesya yang berulang kali menghempaskan tangan Elvan untuk menyentuh tubuhnya.

Elvan tak menanggapi kemarahan Nesya, dia tetap kekeh membantu istrinya. "Aku antar ke kamar," tawarnya mencoba memegang bahu Nesya yang berdiri saja sempoyongan.

"Nggak usah," tolak gadis itu seraya menggerakkan bahu.

"Nurut atau aku gendong?" ancam Elvan yang sontak membuat Nesya diam.

Dari pada di gendong oleh sang suami, lebih baik dia di papah berjalan saja. Membiarkan Elvan melingkarkan tangan pada belakangnya, Nesya pun ragu-ragu menautkan tangan kanan pada belakang leher Elvan.

"G-Gue mau ke kamar," ucap Nesya.

Pelan-pelan, Elvan mengantar sang istri ke kamarnya. "Kuat naik tangga? Atau mau aku gendong saja?" tawarnya.

Nesya menggeleng. Walau tanpa di papah pun dia sebenarnya masih kuat untuk berjalan, hanya saja lemas itu masih menyerang akibat kaget dan perut kosong yang di rasa Nesya.

"Gue benar-benar tidak bisa makan ikan, jadi tolong jangan pernah paksa gue lagi makan ikan," lirih Nesya membuka suara saat mereka masih berjalan pelan menaiki undakan tangga.

Langkah kaki Elvan sontak terhenti. Menatap seksama sang istri, dia lantas mengungkapkan rasa bersalahnya.

"Maaf, aku benar-benar tidak tahu. Aku pikir kamu hanya pura-pura tidak suka ikan. Jika tahu seperti ini, aku pun menyesal sudah memaksa kamu mencicipi makanan itu. Setelah ini aku janji tidak akan memaksa kamu makan ikan lagi, dan untuk menebus kesalahan aku, aku akan belikan makanan apa pun yang kamu mau."

Nesya tak kuat mendebat Elvan. Dia butuh makan, perutnya sudah sangat keroncongan. "Gue mau makan ayam bakar madu," pintanya.

"Baiklah Tuan Putri. Setelah aku antar kamu ke kamar, aku akan pesankan makanan yang kamu mau."

Diam-diam Nesya mengulum senyum, satu sisi Elvan terkadang menyebalkan sekali. Dan sisi lain, tidak bisa ia pungkiri kalau lelaki itu lembut sekali.

Melanjutkan langkah dan masuk ke dalam kamar. Nesya pun berbaring tentu saja masih dibantu Elvan dengan perhatian.

"Kamu istirahat dulu. Nanti kalau makanannya sudah datang biar aku suruh Bibi yang bawakan."

Nesya mengangguk. Membiarkan Elvan pergi ia pun hanya bergumam dalam hati, terima kasih.

Malu. Ya! Dia malu kalau langsung mengungkapkannya pada lelaki yang ia juluki "Miskin" tersebut.

***

Elvan kembali ke meja makan. Setelah memesankan permintaan istrinya, ia pun melanjutkan makan siang yang tadi sempat tertunda.

"Gimana Non Nesya, Den?" tanya sang Bibi yang sejak tadi tentu sangat khawatir.

"Dia baik-baik saja, Bi. Oh ya! Nanti kalau ada yang antarin makanan, tolong Bibi siapkan dan bawakan ke kamar Nesya ya, Bi. Biar dia makan di kamar saja."

"Iya, Den."

Perhatian sekali Den Elvan pada wanita itu. Siapa dia? Tidak mungkin kalau hanya sekedar teman bukan?

Sang Bibi diam-diam menaruh curiga terhadap majikannya.

Lagi pula, baru kali ini Den Elvan pernah membawa wanita ke rumah. Pakai acara menginap dan tinggal di sini lagi, batin sang Bibi.

Dan suara bel pintu pun menyentak lamunan wanita paruh baya itu. Pergi ke luar, benar sang kurir yang mengantarkan paket makanan.

Segera menyajikan makanan untuk tamu gadis Tuannya. Sang Bibi patuh saja terhadap majikannya.

Tok-tok-tok!

"Non Nesya! Bibi bawakan makanan," ujar sang Bibi.

"Masuk, Bi."

Seruan itu pun membawa tubuh wanita paruh baya itu masuk ke dalam kamar Nesya.

Menghirup udara dalam, Nesya berbinar mencium aroma lezat makanan. Rasanya dia sudah sangat teramat lapar sekarang.

Tak butuh waktu lama dan tanpa sepatah kata, dia langsung menyantap ayam bakar madu setelah nampan berada dalam pangkuannya. Tidak peduli lagi pada sang Bibi yang nyatanya masih setia berdiri menungguinya.

"Enak banget," racau Nesya. "Harusnya dari tadi gue makan makanan seperti ini. Bukan ikan yang bau dan penuh duri."

Sang Bibi menghela napas lega. Setidaknya Nesya sudah baik-baik saja dan makan dengan lahapnya.

"Jadi Non Nesya suka makan ayam?" tanya sang Bibi.

"Saya makan apa saja, Bi. Yang penting jangan sejenis ikan. Baunya saya tidak tahan," jelasnya. Bergidik ngeri, ia teringat akan menu-menu ikan tadi.

"Baiklah. Nanti Bibi pasti akan masakin menu lain selain ikan. Soalnya Den Elvan kalau di rumah selalu minta menu ikan."

Nesya mendongak dari piring makanan. Perhatiannya tersita gara-gara nama Elvan. "Jadi makanan kesukaan cowok miskin it— eh Elvan ikan?"

avataravatar
Next chapter