1 1. Pembantaian Keluarga

Lengkingan jeritan seorang wanita yang menyayat hati terdengar bergema, memantul dari bebatuan di dinding ruangan bawah tanah sebuah mansion mewah di Ettalier, sebuah kota di negara Gazella.

Suara hantaman dan debum pukulan yang mendarat di tubuh kurus seorang bocah remaja berselang-seling dengan suara rintihan wanita tadi yang kian lama semakin memilukan.

"Tidaaak, sakiiit, hentikaan," suara jeritan wanita itu memenuhi ruang bawah tanah itu, disusul suara para pria yang terengah-engah di sekitar gadis itu.

"Brengsek kalian semua, lepaskan kakakku," bocah lelaki itu meraung, tapi kembali terdiam saat pukulan dan tendangan kembali bersarang di tubuhnya.

"Devon, tolong aku ... mereka semua menyakitiku," jerit wanita itu lagi.

"Diam, kau! Nikmati saja!" seru suara seorang pria dewasa yang masih terlihat bergerak-gerak dengan irama tertentu di atas tubuh polos wanita itu.

"Bajingan! Lepaskan kakakku! Vinette, bertahanlah, aku akan ...." ucapan Devon terhenti saat perutnya menerima tendangan dari seorang pemuda yang mengenakan pakaian yang jauh lebih mewah dari pria lainnya yang ada di ruangan itu.

"Angkat dia berdiri, dudukkan di sini," ujar pemuda itu, memerintah para pria dewasa yang sedari tadi ikut menghajar remaja itu.

"Baik, Tuan Gesta," sahut para pria itu mematuhi perintah majikannya.

"Hei, lihatlah bagaimana para anak buahku itu mengerjai kakakmu. Pelacur itu akan belajar bagaimana cara memuaskan laki-laki berkat para pria itu," ucap Gesta sembari menjambak rambut Devon hingga kepalanya mendongak.

Dari sebelah matanya yang masih bisa dibukanya karena belum bengkak dan memar karena dipukuli, Devon dapat melihat kebrutalan yang dilakukan oleh para pria dewasa itu pada kakak perempuannya.

Air mata jatuh membasahi pipi Devon saat menyaksikan kakaknya digagahi para pria yang usianya berpuluh-puluh kali lipat dibanding kakak perempuannya itu.

"Bagus, lihatlah, jangan berpaling. Inilah akibatnya kalau berani menentang Gesta!" seru Gesta sambil menepuk dadanya sendiri.

"Berani-beraninya kau, seorang anak budak, menghasut ayahku agar menyekolahkanmu di Royal Academy yang sama denganku. Kau pikir siapa dirimu?" hardik Gesta seraya melayangkan tinjunya ke wajah Devon yang sudah babak belur itu.

"Apa yang dilihat oleh ayahku atas dirimu? Sangat tak masuk akal," sambungnya sembari menendang perut Devon hingga remaja itu terbatuk-batuk.

"Dan kakakmu itu, beraninya dia menolakku, seorang Gesta. Seharusnya dia merasa tersanjung, bangsawan sepertiku mau mengundangnya ke atas ranjangku," lanjut Gesta lagi yang kini kembali menjambak rambut Devon agar remaja itu kembali mendongak.

"Kini lihat dirinya. Kotor, rusak, tak berharga. Dia cuma perempuan murahan yang bisa dinikmati oleh sembarang pria," pungkas Gesta yang disusul dengan suara tawanya yang bergema di ruangan itu.

"Devon! Vinette!" sebuah teriakan wanita mengagetkan mereka semua.

Dari satu-satunya tangga di ruangan itu, tampak seorang wanita tua berpakaian lusuh yang datang bersama seorang pria tua yang memakai pakaian yang hampir sama dengan para anak buah Gesta di ruangan itu.

"Ayah, Ibu," suara Devon tercekat saat melihat kedua orang tuanya yang sepertinya datang untuk menyelamatkan mereka.

Sayangnya, Vinette tak dapat melihat kedatangan kedua orangtuanya karena tubuhnya masih dikerubungi oleh beberapa orang pria dewasa yang masih sibuk menikmati tubuhnya.

"Tuan Muda! Apa-apaan ini? Mengapa berbuat seperti ini pada anak-anak kami? Kami tidak akan tinggal diam dan akan melaporkan ini semua pada Tuan Besar," ancam ayah Devon.

Gesta bukannya menjawab, ia malah tertawa terbahak-bahak. Dengan jentikan jarinya, para pria yang tadinya memukuli Devon bergegas berlari menuju ke arah tangga dan menyeret ayah dan ibu dari dua bocah yang dianiaya itu.

"Apa-apaan ini! Tuan Muda sudah keterlaluan, lepaskan kami!" Ayah Devon kembali berteriak.

"Hei, kalian yang tidak kebagian tubuh pelacur itu bisa menikmati tubuh nenek tua ini," ujar Gesta dengan santai.

"Tunggu dulu, hentikan," teriak ayah Devon ketika melihat teman-teman kerjanya yang tiba-tiba mulai merobek pakaian istrinya sesuai perintah Tuan Muda mereka.

Bugh.

Sebuah tinju bersarang di ulu hati ayah Devon yang membuatnya memuntahkan darah sejak pukulan pertama. Rupanya tubuh ringkih ayahnya itu tak sanggup menahan kekerasan yang dilakukan terhadapnya.

"Ayah," Devon menjerit saat melihat ayahnya dipukuli di depan matanya.

Pukulan dan tendangan dilayangkan tanpa kasihan oleh para bawahan Gesta itu pada ayah Devon yang memang sudah tua renta. Darah segar kembali dimuntahkan oleh lelaki itu saat wajahnya ditinju hingga terlempar ke samping.

Tubuh renta itu akhirnya tak kuat menahan serangan dan ambruk tersungkur di depan tubuh istrinya yang tengah digagahi oleh para pria yang baru tadi pagi bersama-sama dengannya menurunkan barang-barang pasokan musim semi ke dalam mansion di mana mereka bekerja.

Gesta lantas memberi isyarat seolah memotong lehernya sendiri dengan jempolnya kepada anak buahnya yang tadi memukuli ayah Devon itu.

Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, pria itu lantas mengambil sebuah golok yang tergantung di dinding. Dengan sebelah kakinya, dia menginjak punggung lelaki tua itu dan mengayunkan golok tersebut untuk menebas kepala ayah Devon hingga terpisah dari badannya.

Kepala pria tua itu menggelinding hingga menyentuh kaki Devon. Kedua matanya yang tidak menutup itu menatap kosong ke arah putra bungsunya yang kini merasakan penderitaan yang amat sangat di hatinya.

"Ayaaahhh!" Devon berteriak sekuat-kuatnya hingga sebelah matanya yang lebam itu ikut setengah terbuka.

Ibu Devon tak sanggup berkata-kata melihat suaminya dibunuh tepat di depan matanya. Sementara itu, pria yang menggagahinya itu mencekik leher ibu Devon tanpa menghentikan pacuannya pada tubuh renta bergelambir itu hingga Ibu Devon kesulitan bernafas.

Bertepatan dengan ibu Devon yang mati kehabisan nafas, saat itu pulalah pria yang memacu tubuh wanita tua itu mengejang dan menumpahkan semburan hasratnya di dalam tubuh wanita yang sudah tak bernyawa itu dan mencampakkan jasad tak berbusana itu terkulai begitu saja bersama mayat suaminya yang bersimbah darah.

Tangis Devon pecah menyaksikan kedua orang tuanya dibunuh secara sadis di depan kedua matanya. Remaja itu meronta sekuat tenaga, tapi tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman dua anak buah Gesta yang sejak tadi memeganginya.

Devon juga merasa heran melihat para pria yang tadinya mengerubungi tubuh kakaknya itu kini tak lagi berkumpul di satu tempat seperti tadi.

Saat para pria itu bubar, Devon dapat melihat tubuh kakak perempuannya itu terkulai lemas dengan mata membelalak dan kaku tak bergerak. Bekas lebam, luka cakaran dan memar kebiruan memenuhi tubuh polos wanita itu.

"Vinette ... Vinette ...." Devon terus memanggil nama kakaknya itu dengan nada putus asa.

"Percuma saja kau memanggil-manggil namanya. Dia sudah mati," ucap Gesta sembari terkekeh senang melihat kesengsaraan di wajah Devon.

Devon terkulai lemas dalam cengkraman dua pria kekar yang sedari tadi memeganginya. Ia yakin, setelah membinasakan seluruh keluarganya, Gesta akan membunuhnya setelah ini.

"Tuan Muda, malam inisiasi Anda hampir dimulai, tolong segera bersiap-siap," ucap seorang pria berpakaian serba hitam yang sejak tadi hanya mengawasi apa yang terjadi tanpa melakukan apapun.

"Ah, benar juga! Malam ini adalah malam inisiasi ku, terimakasih sudah mengingatkanku, Hoxha." Gesta menjawab dengan santai.

"Aku ada ide, daripada menghabisi bocah ini di sini, lebih baik kukorbankan saja dia di depan altar. Siapkan bocah ini untuk jadi tumbalku, Hoxha!" sambung Gesta sembari memerintah.

"Tuan Muda, bukankah untuk tumbal, sudah disiapkan budak terbaik yang ada di sel tahanan?" tanya Hoxha kebingungan.

"Cih, sayang kalau budak itu dikorbankan. Lebih baik bocah tak berguna ini saja! Cepat bawa dia!" sanggah Gesta dengan tegas.

Hoxha tak berani melawan perintah Tuan Mudanya meskipun sebenarnya dia merasa keberatan memenuhi perintahnya. Sudah jelas kalau lebih baik menumbalkan korban yang masih sehat daripada yang sudah sekarat dan tak punya semangat hidup seperti Devon.

avataravatar
Next chapter