webnovel

Putih Pucat

Hari berikutnya, Ayah dan Ibu mengantar kami seperti biasa yang membuat mobil ayahku, yang berwarna kuning mencolok dan kekecilan karena keluaran model lama, terlihat seperti anggota sirkus yang nelangsa. Aku sengaja berlama-lama ketika sarapan karena aku tak bisa bolos lagi hari ini. Tetapi, saat Ziya berteriak bahwa kami sudah pasti akan terlambat, aku buru-buru menyelesaikan makananku hingga tersedak.

Di sepanjang perjalanan, aku menyesali perbuatanku karena Ziya menangis ketakutan. Suara tangisannya yang terdengar seperti suara anak kucing merongrongku habis-habisan. Tetapi, aku cukup andal menyembunyikannya. Sehingga aku tampak seperti tak menyesali apa pun. Suara Ayahlah yang kemudian menenangkannya, bahwa kami masih punya lima belas menit sebelum terlambat lebih dari cukup untuk menerobos jalanan yang hari itu disinari cahaya cerah, dan juga sebuah yang berkah yang membuatnya tidak diliputi kemacetan.

Yah. Bagaimana pun, itu membuatku merasa cukup lega. Sehingga rasa sesalku sedikit agak berkurang.

*

Kristina yang melihat kedatangan kami yang mentereng—tentu saja karena warna kuning mengilap mobilnya, berdiri menungguku di depan pintu gerbang. Sebelum aku turun, Ziya mengolok-olokku sebagai balasan yang setimpal. Dia berkata seandainya aku secantik Kristina, mungkin itu akan sedikit masuk akal. Karena aku harus hati-hati dengan pencernaanku.

Aku membalasnya, "ya terima kasih," tapi kemudian Ibu mengerutkan dahi, menoleh Ziya dan berkata bahwa kita semua—kita bertiga minus Ayah, sama cantiknya dan kecantikan siapa pun di luar sana tidak akan membuat kami tidak cantik lagi.

Dadaku mengembang sampai rasanya mau meledak. Tetapi, karena aku tidak bisa menerima pujian sepagi itu, aku berpikir bahwa kata-kata itu tidak diperuntukkan untukku sementara aku tidak juga menyesalinya. Sama sekali.

Pada saat aku menyeberang, aku dapat merasakan pandangan Ibu di punggungku dari samping Ayah. Itu juga karena Kristina tersenyum sambil mengangguk.

"Udah dapat tempat duduk?" kataku, ketika kami berjalan masuk.

Kristina mengangguk. Sambil menuju gedung H (Kris memberi tahuku di telepon kemarin lokasi kelas baru kami di lantai atas gedung H) dia lalu memberi tahu beberapa hal; seperti di kelas mana aku akan menghabiskan sisa satu tahun terakhirku di SMA. Lalu siapa wali kelasnya dan bagaimana orangnya. Di bagian ini, Kris hanya memberikan tiga kata yang mendeskripsikan wali kelas baru kami. Dia berkata dengan singkat, "Orangnya agak cerewet."

Lalu aku membayangkan seperti apa orangnya karena Kris mengajakku membicarakan topik yang lain. Kristina mengatakan kemungkinannya akan pergi ke luar kota setelah lulus nanti. Tapi dia belum memutuskan. Ayahnya memilih Kota Yogyakarta. Walaupun beberapa kali disebut-sebut bahwa mereka akan kembali ke Brisbane.

Aku tidak bisa mengatakan apa-apa dan hanya bisa mendengarkannya bicara yang nyaris tanpa suara. Beberapa waktu lalu, orang tuanya berkata bahwa enam tahun lebih dari cukup sebelum mereka kembali ke tempat asalnya di salah satu sudut negeri kangguru tersebut. Kris selalu bercanda bahwa ia bukan orang Australia meskipun seperempat tubuhnya dialiri darah Aborigin. Ketika kami mencandainya balik, dia menjawab dengan ceria sekaligus serius bahwa ia adalah Kristina Morrison. Ibunya asli Tionghoa dari Yogyakarta sementara setengah darah Aborigin mengalir di tubuh ayahnya yang setengahnya lagi berdarah Bali.

Aku menghela napas. Hawa dingin yang aneh menyebar begitu cepat dari atas kepalaku. Di tangga menuju lantai atas, tiga orang cewek berbadan atletis menyapa kami. Masing-masing mengenakan seragam basket. Yang paling tinggi Maureen. Dia pernah satu kelas dengan kami. Yang lain, yang berwajah bulat adalah Sari. Sisanya Cleo, cewek bermata sipit yang potongan rambutnya model bob.

"Eh, Kris, kebetulan," ujar Maureen. "Tadi Pak Abadi titip pesen, lo disuruh ke kantornya sekarang."

Kris tertawa kecil. Tapi tak urung ia juga mengangguk.

"Tuh kan, apa gue bilang?" Sari berceletuk sambil menunjuk-nunjuk wajah Kris. "Yang kayak gini nih, udah jelas jawabannya apa kalau bener Pak Abadi bakalan ngajak dia lagi buat gabung basket. Lagian, heran gua ... orang anaknya juga ogah-ogahan gini masih aja dikejar. Ck-ck-ck."

"Ya itulah yang namanya kualitas. Mau dipendem di lambung hutan juga, orang bakal keukeuh nyari," kata Maureen.

"Ya juga, sih."

"Nah, kan. Lagian lu kayak enggak tahu Pak Abadi aja. Oportunis gitu orangnya."

Tawa kecil Kris terdengar lebih lama lagi dari biasanya. Itu membuatku khawatir sekaligus lega. Tapi paling tidak, dia tidak lagi membicarakan sesuatu yang bernuansa muram.

"Oke deh. Ntar gue ke sana. Thank's ya," kata Kris.

Trio Maureen, Cleo, dan Sari mengangguk berbarengan. Lalu kami berpisah.

Ketika tiba di kelas, hampir semua tempat duduk sudah ada yang menempati. Hanya ada dua bangku yang masih kosong, dan itu bukan berarti tak ada yang menempati.

Josh sedang duduk di bangku nomor empat baris ketiga. Ke situlah Kris pergi dan duduk di sebelahnya setelah mengusir seorang cowok botak yang nyaris tidak kukenali. Cowok itu adalah Adri. Teman sekelas kami di kelas sebelas yang dulu duduk sebangku dengan Josh.

Josh menyapaku dengan cengirannya yang khas. Aku membalasnya spontan. Dan ketika hendak duduk di kursi kosong di depan meja mereka, menduga-duga jika tempat itu belum ada yang memiliki, seorang cewek berkaca mata mendatangi aku.

"Tempat lo di sana, La," kata Mel, cewek berkaca mata itu sambil menunjuk meja nomor tiga di baris kedua yang salah satu kursinya diduduki cowok kurus berambut panjang dengan penampilan yang agak kuno. "Kemarin lo kan nggak masuk, jadi kebagian kursinya cuma di situ."

Ludahku terasa pahit saat mencermati betapa cowok kurus itu terlihat begitu asing. Jauh dan dingin. Memandangnya seolah-olah aku berada di kehampaan.

"Beneran cuma itu. Nggak boleh pindah?" suaraku tercekat di kerongkongan. Aku bahkan hampir tak percaya sanggup mengatakannya.

"Iya," ujar Mel sambil menggeleng menyesal. "Tapi kalau mau, bilang aja sama Pak Rinto. Kali aja ada yang mau tukeran."

"Harus bilang Pak Rinto dulu juga?" aku menekan, terdengar tak sabar.

Mel mengangguk.

Aku berterima kasih. Dengan berat hati, aku segera berbalik pergi.

*

Hawa dingin yang tadi menyambar tubuhku lagi. Langkah kakiku berat, seolah-olah sesuatu yang amat kuat menarikku untuk tidak pergi ke sana. Tapi aku tak memiliki alasan. Bahkan dorongan yang menarikku pun tidak terlampau kuat.

Cowok itu sedang membaca majalah sekolah edisi lama. Setiap halamannya yang dicetak hitam putih sudah menguning. Kelihatannya dia sejenis kutu buku yang sudah pasti tidak akan banyak bicara juga. Mungkin juga orang yang terlampau canggung sehingga lagi dan lagi, itu pasti akan membantuku karena aku tidak harus selalu pusing harus bicara apa padanya.

Lebih dari itu, cara dia duduk sama kakunya dengan kerah bajunya yang membuat aku takjub. Kaku sekali. Kedua tangannya yang berkulit putih pucat, membingkai majalah itu seakan-akan takut orang lain akan menyikatnya. Yang sedikit menarik perhatianku ialah, papan nama di dadanya yang bertuliskan satu nama. Entah nama panggilan. Atau dia hanya memiliki nama tunggal. Tulisan itu berbunyi PUTRA.

Aku yakin sekali dia pasti terlampau jauh tenggelam di sana, sehingga kehadiranku sama sekali tidak mengusiknya. Aku menyapanya, tapi dia tidak mendengar. Atau lebih tepatnya, mungkin tak mau mendengarku.

Karena sikapnya yang mengecewakan, aku mengurungkan niatku untuk mengenalkan diri. Sebagai gantinya, aku mengeluarkan buku tulis kosong yang pada sampulnya ada nama LALA PARAMITHA. Namaku. Aku tidak berharap dia akan meresponku. Tapi, paling tidak aku berusaha menjaga sikap sopan-santun. Walaupun ia tampak tidak peduli sama sekali.

Lalu ketika aku sedang memasukkan tasku ke dalam laci, sambil berpikir mau melakukan apa karena semua siswa sudah duduk di bangku masing-masing, bel berbunyi. Guru masuk bersamaan dengan bel panjang itu masih berdering. Aku menoleh Josh yang menyengir penuh arti membalasku. Cengiran yang menjelaskan bahwa ia jelas hanya sedang mengerjaiku kemarin dengan sarannya yang konyol, yang menyuruhku tak datang ke sekolah karena KBM katanya baru akan mulai tiga hari lagi. Di sebelahnya, Kris sedang menoleh ke arah jendela. Memandangi sesuatu di luar sana, entah apa.

Segera setelah aku membalas cengiran Josh, aku memalingkan wajah ke depan dan melihat guru sedang menulis sesuatu di papan. Di sebelahku, aku menyadari adanya sesuatu yang bercahaya yang menyilaukan mataku. Sedikit agak lama, setelah memastikannya dengan hati-hati, benda bercahaya itu adalah kedua tangan putih pucat Putra yang saling berlipat di atas meja.

Entah sejak kapan ia telah menyimpan majalahnya. Benda itu tak ada di sana sekarang. Yang ada hanyalah kedua tangan bercahaya yang membuat dadaku mencelos. []