webnovel

My Evil Daddy's Ghost

Raven mengalami delusi setiap kali mendengar lagu Gloomy Sunday. Dalam delusi, ia menjelajahi waktu ke kehidupan kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Ia melihat banyak kerancuan dalam delusi-delusi tersebut yang membuat psikologisnya semakin hari semakin kacau. Oleh seorang psikiater senior bernama Dylan Clarke, Raven dilarang keras untuk mendengarkan lagu Gloomy Sunday. Atau, vonis terburuk sang psikiater yang juga merupakan sahabat dekat keluarganya benar-benar akan terjadi. Dylan Clarke tak ingin Raven berakhir gila. Namun secara diam-diam, Alfonso Clarke, psikiater muda yang merupakan putra dari Dylan Clarke, mengajak Raven ke sebuah vila terpencil untuk menyelidiki keadaan gadis itu lebih jauh. Alfon membuat Raven melanggar seluruh larangan Dylan. Membuat gadis itu mendengarkan Gloomy Sunday dan tenggelam dalam potongan delusi random. Raven awalnya sempat memberontak karena tak tahan mengalami delusi yang menekan psikologisnya, ia ingin menyerah dengan kemauan Alfon. Namun, sebuah ciuman dan pengakuan membuat gadis itu bertahan di vila tersebut. Alfon meyakinkan Raven bahwa delusi yang gadis itu alami adalah gangguan arwah penasaran Niklas. Tak hanya Raven, namun Niklas juga menghantui Alfon selama ini.

Mahzurakey · Horror
Not enough ratings
2 Chs

Prelude - Raven

Saat mengetahui eksistensimu adalah buah cinta dari tragedi dan kutukan, apa kau masih sanggup berdiri tegar dan tersenyum kepada dunia?

Suram. Satu kata yang mengawali sejarah dan asal usulku.

Dan sialnya, itulah yang selama ini kupercaya.

"Ven, kau tidak sendirian. Bagiku, kau lebih dari sekadar klien."

"Hmh. Terima kasih."

"Untuk?"

"Untuk tidak menyeretku ke rumah sakit jiwa."

"Ha-ha," tawa lelaki itu berderai tanpa nada. Tawa yang menyebalkan menurut asumsi warasku. Lelaki itu kemudian membantah, "Jangan satir begitu! Kau tidak gila kok."

Aku tersenyum tipis, enggan menggubris ocehan lelaki menyebalkan itu. Kurapatkan kaki yang tertekuk di bawah meja piano. Sebaris tuts hitam dan putih sejenak memerangkap mataku, lantas perlahan merasuk ke dalam benak.

Hitam dan putih.

Gelap dan terang.

Monokromatik.

Benakku masih menyimpan sebuah pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Siapakah aku di sini … anak kecil yang takut pada gelap atau pemuda yang takut pada cahaya? Aku merasa, setengah dari diriku adalah anak kecil yang takut pada gelap, setengahnya lagi pemuda yang takut pada cahaya. Dua sisi yang selalu bertengkar sengit, membuatku terjebak dalam zona abu-abu.

Ya, kelabu. Bukan putih, bukan hitam, bukan warna. Hanya sebuah transisi.

Benakku sesaat mengembara, mencari sisa-sisa warna dalam ingatan acak yang bermunculan.

Kini aku teringat sepenggal fenomena dalam sejarah Dunia Barat yang pernah kubaca. Sebuah sejarah kelam. 

Suatu masa di Abad Pertengahan, mulut wanita tertentu mampu mengutuk dan memantra-mantrai. Para wanita berkemampuan itu pernah menjadi cambuk lahirnya misogini sosial. Situasi berkelebat paranoia mengakibatkan banyak wanita tak bersalah menjadi korban. Banyak wanita dicurigai, tanpa tebang pilih dikecam sebagai penyihir. Mereka diburu dan dipersekusi oleh pihak inkuisisi sesuai hukum Gereja pada masa itu. Namun, realitas yang sulit dibantah atas kerasnya sikap Gereja adalah; beberapa dari wanita benar-benar mampu menyumpah keji. Wanita-wanita itu mampu membuat seseorang sakit, bercerai-berai, kehilangan akal sehat, dan bahkan mati.

"Mati …." Aku berbisik pada sebaris tuts piano yang ingin kusetubuhi dengan sepuluh ujung jemari.

"Tarik nafas dan rilekskan tubuhmu!" 

Psikiaterku kembali bersuara setelah beberapa saat bungkam. Kali ini nadanya mendikte. Gesekan sol sepatu di lantai terdengar menodai hening lamunanku. Lelaki itu melangkah lambat mengitari ruangan seperti sebuah pendulum. Aku menoleh, mengikuti rotasinya. Kudapati matanya memicing minta diyakinkan. Ah! Lagi-lagi dia memberiku tatapan itu. Sebuah intimidasi halus, begitulah jika diistilahkan.

"Raven, kau dengar aku tidak? Apa yang sedang kau pikirkan?"

Psikiaterku kembali mendesak tanya.

Menarik napas dalam-dalam, lantas melepas perlahan-lahan. Kulakukan beberapa kali sesuai instruksi psikiater itu. Detik selanjutnya, entah setan apa yang membawa lelaki itu berhenti tepat di belakangku. Terdengar derap langkah mendekat, kemudian kurasakan sepasang tangan sejuknya di kulit pundakku. Oh Lord. Kini tangannya meremas pundakku, tubuhnya membungkuk untuk membisikkan sesuatu ke telingaku.

"Kau tegang sekali, Raven Hardy …"

Tubuhku membatu, namun kedua tanganku paralisis. Sialan! Baru saja jari-jariku terhempas asal di atas tuts-tuts piano. Konsentrasiku hancur. Dia benar-benar lelaki gila! Bukannya membuatku tenang, perlakuannya malah membuatku semakin tidak fokus. Caranya menyebut namaku seperti iblis yang sedang melucuti iman. Sentuhannya seperti api yang membakar.

"Are you okay?" tanyanya menikmati ketegangan dan kegugupanku.

"Aku akan seratus persen rileks kalau kau memberi jarak," sahutku tegas dalam satu tarikan napas.

"Haruskah aku minta maaf kalau pesonaku mengganggumu?"

"Kalau pantat seksimu itu rela kutendang."

Kemudian lelaki itu tertawa tanpa dosa dan aku bernyanyi dalam hati.

Damn Alfonso Clarke! Damn your fatal narcissism!

Stop, Raven! Stop! Stop! Stop!

Stop talking to this fucking man and let's go back to the dead people around …

Yes, ladies and gentlemen …

Dead people.

Can you believe it?

They're really around me …

Those ghosts …

Need some attention …

Pikiranku kembali bermonolog dalam lamunan. Alfon menyebutnya dengan istilah reverie.

Ya. Di sinilah aku.

Dalam sebuah lamunan.

Sepengetahuanku, kematian adalah sebuah transisi paling pasti. Akhir dari kehidupan ragawi, awal dari kehidupan rohaniah. Setiap yang hidup pasti akan mati. Begitulah alam bekerja. Hanya saja, dalam beberapa kasus, transisi itu kadang datang secara aneh dan tak wajar. Niklas Hardy, papa biologisku, adalah contoh yang paling dekat. Dia mati bunuh diri. Namun sebelum Niklas menembak kepalanya dengan sebuah revolver, dia sempat dikutuk oleh seorang wanita.

Singkat cerita, hari itu Niklas sedang berkencan dengan kekasihnya di pedestrian sebuah jembatan terkenal. Sungai Danube tak hanya mengalir di bawah kaki mereka, tetapi juga membelah dua kota besar yang sekarang dikenal hanya dengan satu nama, Budapest, Ibukota Hungaria. Meski terpisah di timur dan di barat Danube, Buda dan Pest terikat erat oleh jembatan terkenal itu. Széchenyi Lánchid nama lokalnya, atau lebih dikenal dengan nama Chain Bridge.

Bagaimana dan mengapa Niklas sampai dikutuk, hingga kini masih menjadi misteri yang  belum kupecahkan. Tetapi yang pasti, di masa sekarang tak seorangpun bisa membuktikan bahwa wanita yang mengutuk papaku adalah seorang penyihir. Ide itu terlalu mengada-ada, tidak masuk akal. Tetapi itulah yang Niklas percaya.

Kutukan tersebut benar-benar meresap setelah si pengutuk tewas bunuh diri. Di hadapan Niklas dan kekasihnya, wanita itu melompat ke sungai. Ya. Bunuh diri tepat setelah mengutuk seseorang adalah sebuah kemenangan epik apabila kutukan tersebut bekerja. Penyihir atau bukan, wanita itu sama sekali tidak memberi Niklas kesempatan untuk meminta maaf. Karma adalah karma. Niklas harus menuai buah yang sudah terlanjur dia tanam.

Keterangan demi keterangan kuterima dari Paman Dylan yang dulunya adalah sahabat sekaligus psikiater pribadi Niklas. Seperti kata pepatah, buah tak jatuh jauh dari pohon. Alfon jadi psikiater seperti Dylan Clarke, sementara aku jadi pesakit mental seperti Niklas Hardy. Like fathers, like children. It's damn true.

Sadar dari lamunan, kudapati Alfon—psikiaterku, masih memijat lembut kedua pundakku. Kesabaranku mencapai limit. 

"Oh, Tuhan! Bisa mundur tidak?" Aku meronta kecil, mengusirnya.

"Kau tegang sekali. Aku cuma ingin memijatmu."

"Cukup jadi psikiater yang baik, tidak perlu merangkap jadi terapis."

"Meski kujelaskan pun, kau tidak akan mengerti secara instan mengenai anatomi dan letak neuron tertentu yang kadang harus distimulus untuk membantu sistem sensorik, motorik, dan pengaturmu berfungsi lebih baik. Ya, aku terapis. Apa yang kita lakukan di sini saat ini adalah terapi. Lantas?"

Alfon berhasil membungkamku dengan kalimat panjangnya sebelum mengangkat tangannya dari pundakku. Lelaki itu lalu berotasi kembali ke seberang meja piano, ke hadapanku. Tatapan intensnya lebih menusuk dari malam-malam dingin di Iceland. Beberapa saat setelah aku memprotes rangsangan fisik yang dia lakukan, Alfon kembali mendiktekan sugesti memuakkan sambil menepuk-nepuk badan piano.

"Fokus, Raven! Fokus! No more reveries. Tidak ada lamunan lagi sekarang."

"Baiklah …" sahutku pelan, lirih, nyaris tak terdengar. "Baiklah …"

 Namun lamunan-lamunanku tak mau pergi. Oh reverie ...

Sebenarnya aku tidak sudi mengakui sebuah fakta tentang lelaki itu. Dengan gaya kutu buku saja dia tak bisa memanipulasi tampang bejatnya, apalagi kalau dia bergaya badboy atau CEO yang suka menyeringai. Sadar atau tidak, Alfon selalu menebar feromon di setiap tingkah laku dan gerak-geriknya. 

Baiklah. Cukup. Ini bukan kisah tentang ketampanan Alfonso Clarke yang membutakan dunia.

Aku menghitung dalam hati.

Satu.

Dua.

Tiga.

Kali ini aku harus menendang Alfonso Clarke dari pikiranku. No more reveries like he said.

Kini tak ada lagi yang menghalangi jemariku untuk menari di atas tuts putih dan hitam. Prelude tragedi mengalun, merangkum segugus nada yang kini memenuhi ruangan. Nada-nada itu kupelajari secara khusus beberapa tahun lalu. Indah, sendu, mistis, dan menghayutkan. Berawal dari C minor, nada-nada tersebut membawaku terbang ke dunia lain.

Ke dunia delusiku.

*