1 1

Aku memeluk batu nisan di depanku dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Hari ini, adalah hari terburuk yang pernah aku alami. Mama dan papa tidak akan lagi ada di sampingku. Tidak akan ada lagi kasih sayang orang tua. Hidupku terasa tidak berarti lagi tanpa ada mereka. Meskipun begitu, aku harus tetap melanjutkan hidupku.

Kenapa aku tidak meninggalkan dunia ini dalam kecelakaan itu? Kenapa hanya mama dan papa? Kenapa aku tidak pergi bersama mereka? Kenapa? Pertanyaan yang selalu aku lontarkan. Meskipun sudah tahu jawabannya.

Dalam perjalanan menuju ke rumah tante Syreen, kami mengalami kecelakaan. Benturan di kepalaku membuatku mengalami amnesia. Sebagian dari memori otakku terhapus. Kata dokter, aku hanya mengingat dua tahun memoriku dan selebihnya, aku melupakanya. Aku hanya perlu mencoba mengingat sesuatu dan dokter bilang, bisa jadi aku mengingatnya kembali.

Aku menghela napas sedih. Semuanya terasa sepi tanpa kehadiran mereka. Kecelakaan itu membuat mama meninggal di tempat. Sedangkan papa meninggal di rumah sakit.

"Felyn, sudahlah. Ayo kita pulang!" ajak tante Syreen. Tante Syreen adalah sahabat mama dan papa. Tapi aku sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluargaku. Tante Syreen mengangkat tubuhku saat aku masih terdiam di tempatku sambil menangis.

Aku berjalan dengan lunglai mengikuti langkah tante yang sedang merangkulku. Kami masuk ke dalam mobil. Supir itu kemudian menjalankan mobilnya ke arah rumahku.

Aku sampai lupa mengenalkan diriku, namaku adalah Felyn Rosea. Nama ayahku adalah Pradipta Wibowo dan ibuku Yulisha. Papa asli Indonesia, sedangkan mama blasteran Indonesia-London. Aku tidak ingat sejak kapan kami berada di sini (London) atau mungkin sebelum aku lahir, mereka sudah berada di sini? Aku sama sekali tidak ingat tentang itu.

"Felyn, bagaiman? Apakah kau mau tinggal di rumah tante?" Aku terdiam sejenak. Mengingat kata-kata terakhir papa saat dia masih hidup. Dia menyuruhku untuk tinggal di rumah tante Syreen karena papa tau jika aku tidak ada teman di rumah. Papa khawatir jika aku tinggal sendiri, jadi papa menyuruhku tinggal di rumah tante. "Baiklah, aku mau," jawabku akhirnya.

Sesampainya di rumah, aku menyimpan semua pakaianku yang akan aku bawa ke dalam koper. Setelah itu berjalan ke arah tante yang sedang duduk di sofa. "Tante aku sudah selesai," kataku. Tante menoleh sembari tersenyum. "Baiklah, ayo kita pergi." Aku kemudian berjalan di belakang tante. Berharap agar pilihanku ini tepat.

Sesampainya di rumah tante, kami melangkah masuk ke dalam. Rumahnya begitu besar membuatku terkagum-kagum melihatnya. Meskipun aku kenal dekat tante Syreen, aku rasa ini pertama kalinya aku pergi dan masuk ke rumahnya. Tante mengantarku menuju kamar yang akan aku tiduri. Saat kami berada di depan pintu, tante kemudian membukanya.

"Kamu bisa tidur di kamar ini." Aku menatap kamar yang sangat besar di hadapanku. Mungkin tiga kali lebih besar daripada kamarku yang sebelumnya. "Baiklah, tante pergi dulu. Sebaiknya kamu mandi dan beristirahat."

"Baik, Tante. Terima kasih," ucapku sambil tersenyum. "Sama-sama, Sayang" jawab tante.

Saat tante meninggalkanku sendirian di kamar, aku berjalan ke arah ranjang dan meletakkan koperku di lantai. Aku merapikan pakaianku terlebih dahulu, dan menyimpannya ke dalam lemari. Lemarinya begitu besar sedangkan pakaianku tidak begitu banyak. Membuat lemari itu terlihat lenggang.

Setelah merapikan pakaian, aku melangkah pergi ke kamar mandi. Aku mandi air dingin membuat tubuhku yang tadinya terasa gerah langsung terasa segar seketika.

Setelah mandi, aku memakai pakaian dan menyisir rambutku. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang sambil memeluk bantal guling. Hingga aku pun tertidur.

***

Aku terbangun dari tidurku dan menatap jam di dinding. Aku terbelalak kaget saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 17.33. Astaga, aku tertidur selama enam jam. Apa kata tante Syreen nanti saat mengetahui jika aku tidur selama itu.

Aku langsung saja mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi. Setelah mandi dan berpakaian, aku merapikan kamarku terlebih dahulu dan berjalan keluar dari kamar. Aku menuruni tangga dengan terburu-buru dan melihat tante sedang menonton tv.

"Malam, Tante!" sapaku saat aku sudah berada di sampingnya dengan posisi berdiri. Tante Syreen mendongak menatapku. "Eh Felyn, ayo duduk." Aku menurutinya dan duduk tepat di sampingnya. "Maaf Tan, aku baru bangun tidur," ungkapku sedikit menunduk. "Nggak apa-apa. Tante ngerti kok. Kamu pasti sangat kecapean," jawab tante dengan senyuman. Aku hanya membalas senyumannya dan tidak berkata apa-apa.

"Felyn, tante minta tolong dong, tolong bangunin anak tante. Suruh dia bersiap-siap untuk makan malam. Tante ada urusan sebentar. Kamarnya di depan kamarmu," perintah tante kemudia berdiri dari duduknya. "Baiklah," jawabku dan ikut berdiri. "Tante pergi dulu." Tante kemudian berjalan pergi sedangkan aku melangkahkan kakiku ke lantai dua.

Aku mengetuk pintu kamar yang tante Syreen maksud dan berharap anak tante bangun. Aku sama sekali tidak tahu jika tante mempunyai anak. Lagi pula, aku bisa kenal baik dengan tante karena tante yang selalu pergi ke rumahku. Yah, seingatku seperti itu.

Aku kembali mengetuk pintu itu tapi sama sekali tidak ada jawaban. Dengan hati-hati, aku memutar knop pintu dan mendorongnya. Saat pintu itu terbuka, aku mengintip sedikit dari balik pintu. Di atas ranjang terlihat seseorang tengah tertidur membelakanginya.

Aku melangkah lebih dekat ke arah ranjang itu. "Apakah mungkin aku salah tempat?" gumamku saat melihat yang tidur di ranjang itu adalah seorang pria. Aku mengguncang tubuhnya perlahan-lahan. "Ma, aku masih mengantuk. Biarkan aku tidur lima menit lagi," gumamnya. Mendengar itu membuatku menahan tawa. Terdengar seperti pria yang manja saja.

"Hm … maaf mengganggu tapi tante Syreen menyuruhku membangunkan..." kata-kataku terhenti saat melihat pria itu dengan tiba-tiba duduk sambil menatapku. "Siapa kau?" tanyanya spontan. Dia memicingkan matanya ke arahku. Tatapannya yang tadi nampak heran, sekarang berubah tajam. "Ma-maaf, tante menyuruhku untuk membangunkanmu," jelasku gugup. Aku tidak menyangka jika pria yang ada di depanku sungguh sangat tampan.

"Keluar dari kamarku sekarang," usirnya dengan nada tegas. Galak banget sih. "Kenapa diam? Cepat keluar."

"Rayen, kenapa kau membentaknya? Mama yang menyuruhnya membangunkanmu." Aku berbalik ke belakang saat mendengar suara tante Syreen.

"Mama tahu kan kalau aku tidak suka jika ada orang asing masuk ke dalam kamarku. Terlebih lagi jika orangnya itu adalah dia!" Dia mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan wajahku. Tatapannya tajam Seolah-olah aku adalah musuhnya. Ketemu aja baru sekarang.

"Jaga ucapanmu, Rayen! Kau tidak boleh bicara kasar seperti itu." Tante menarik tanganku untuk keluar dari kamar pria yang bernama Rayen itu. "Bersiaplah, kita akan makan malam." Setelah tante mengatakan itu, aku dan juga tante pergi meninggalkan kamar Rayen. Kami berjalan ke arah dapur dan membantu bibi meletakkan makanan di atas meja.

"Bibi Eni, tolong panggil Rayen," perintah tante saat semuanya sudah selesai. "Baik Nyonya." Bibi Eni kemudian berjalan pergi. Aku duduk di sebuah kursi berseberangan dengan tante Syreen. "Felyn, maafkan Rayen yah. Dia memang seperti itu."

"Nggak apa-apa kok Tan, aku mengerti."

Tatapanku seketika mengarah pada Rayen yang duduk di sebelah tante. Kami kemudian makan dengan diam. Hingga suara Rayen memecahkan keheningan. "Kenapa kau ada di sini?" tanyanya masih dengan nada seperti di kamarnya tadi. "Rayen, kau tidak boleh bicara kasar padanya!" tegur tante. "Kenapa mama membelanya? Mama lebih mementingkan dia daripada aku? Memangnya anak mama siapa?" Rayen menatapku dengan tatapan tajam.

Tante tidak menjawab karena mungkin menganggap jika pertanyaan Rayen terlalu kekanakan dan itu berhasil membuat Rayen marah. "Aku sudah selesai," ucap Rayen sambil berdiri dan berjalan pergi. "Rayen kau mau ke mana?" panggil tante. Rayen tetap berjalan dan tidak berbalik ke arah tante sama sekali. "Maaf tante, semua ini gara-gara aku," ucapku merasa bersalah. "Tidak usah minta maaf. Sifatnya memang seperti itu."

Aku bingung dengan sikap pria itu padaku. Sepertinya dia sangat membenciku padahal kami baru bertemu. Dasar aneh! Aku sumpahin tua baru tahu rasa. Masih muda kok suka marah-marah. Untung tidak sampai keriput.

avataravatar
Next chapter