36 Kebenaran

Aya memegang kencang dinding lift saat tiba-tiba lift itu berhenti beroperasi sesaat setelah nenek itu keluar dari lift. Lampu yang padam membuat Aya merembet untuk memencet tombol bergambar lonceng, berusaha mencari bantuan dari pihak keamanan.

Tidak kunjung ada jawaban, Aya tidak tahu harus bagaimana lagi. Aya memilih berdiri di hadapan tombol lift yang mungkin akan segera aktif sebentar lagi.

Sebenarnya Aya sangat panik sekarang, namun Aya berusaha untuk  tetap tenang. Malu pada pantulan dirinya di dinding lift. Aneh memang.

Tubuh Aya merinding, berdiri di lift mati sendirian rasanya tidak nyaman. Aya bersyukur, karena setidaknya lift ini tidak terjatuh.

Sebenarnya Aya-pun keheranan. Apartemen yang sangat elit bisa mengalami hal-hal eror seperti ini juga. Aneh saja, membayar mahal tapi tetap ada kejadian tidak menyenangkan seperti ini. Sepertinya setelah ini Aya akan minta Tian menjual unit apartemen di gedung ini dan membeli unit biasa saja.

Mata Aya kembali jatuh pada pantulan dirinya dihadapannya. Lihatlah Aya sekarang, sangat tidak manusiawi. Aya memajukan wajahnya lebih dekat lagi. Aya ingin muntah, wajahnya benar-benar menggelikan. Ada bengkak di area matanya dan jangan lupakan mata panda itu. Pantas saja Aya ditatap aneh oleh kasir swalayan yang melayaninya. Pasti Aya dikira gelandangan.

Aya menurunkan tudung hodie milik Tian yang sengaja Aya pinjam. Sial! Rambutnya acak-acakan. Ya, setidaknya Aya berbau harum.

Fikiran Aya kembali melayang memikirkan perkataan nenek berkutek merah itu. Apa benar mimpi ICU itu adalah mimpi pengganti mimpi Citra yang dulu? Jika benar, setelah ini Aya harus mencari nama Citra pada daftar pasien di setiap rumah sakit di kota ini.

Aya menjerit sekencang-kencangnya saat melihat sesosok orang muncul disampingnya melalui pantulan pintu lift disaat Aya hanya sendirian disini. Aya terduduk lemas di pojokan lift, terkejut melihat sosok itu.

"Sejak kapan kamu ada disana?!" Tanya Aya. Seluruh belanjaan Aya terjatuh dan berserakan dilantai.

"Aya. Ini ayah." Ucap sosok itu.

"Gak! Kamu bukan ayah! Pergi!" Usir Aya, namun sosok yang samar-samar itu justru berjongkok di hadapan Aya.

Tangan Aya bergetar dengan hebat, matanya tidak berani menatap apa yang ada dihadapannya. Aya berusaha sekeras mungkin untuk memalingkan wajahnya.

"Kamu boleh minta ayah pergi setelah ayah jelaskan semuanya padamu." Aya terdiam, tidak ingin menanggapinya. Aya ingin segera pergi kembali ke apartemen Tian. Aya ketakutan.

"Ada alasan dibalik ayah menjadi seperti ini..."

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Pergi!" Potong Aya cepat. Namun sosok samar yang mengaku sebagai ayahnya menghela nafas sebentar dan melanjutkan perkataannya.

"... kamu tahukan saat kamu mendapat mimpi kematian Sherli, keponakanmu. Saat itulah semua ini dimulai. Ayah mencari segala cara agar kamu tidak mendapatkan mimpi-mimpi itu lagi. Itu memang berhasil, tapi tidak bertahan lama." Aya tidak ingin percaya, tapi suara lembut ini memang milik ayahnya.

"Jadi kenapa bisa sampai seperti ini?" Aya mulai meneteskan air matanya, saat tahu Aya adalah alasan dibalik penderitaan ayahnya. Aya ingin menggenggam tangan Ayahnya, tapi tidak bisa, karena wujud ayahnya semu.

"Ayah ditipu oleh si tua suripah. Saat itu mimpimu memang berhasil ditangkal, tapi semakin lama imbalannya tidak main-main. Ayah tidak tahu, jika wujud ayahlah yang suripah jadikan jaminan pada kegelapan. Ayah juga tidak tahu yang dilakukan suripah adalah ritual pada setan." Aya menunduk dalam, terus menangis.

"Kenapa ayah percaya pada mbah suripah?"

"Saat itu ayah melihat iklan kertas yang diberikan seorang pria tidak dikenal. Pria itu mengatakan keinginan apapun pasti bisa terwujud. Ayah tertarik dan datang ke suripah." Aya menahan tangis, mengetahui kasih sayang ayahnya yang begitu besar. "Ayah minta maaf, seharusnya ayah tidak mengirimmu juga kesana."

"Itu sudah berlalu yah. Buktinya Aya baik-baik saja."

"Beruntung kamu kesana tidak sendirian. Jika sendirian kamu mungkin tidak akan pernah kembali, karena satu-satunya hal yang dapat menghentikan kutukan mimpi adalah kematian pembawa mimpi itu sendiri."

"Aya baik-baik aja yah. Jika memang menghentikan mimpi hanya bisa dengan kematian Aya, Aya siap." Jika Aya tahu, Aya akan lebih memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Daripada terus membawa kematian orang lain.

Sosok itu menggeleng. "Ayah yang tidak siap kehilanganmu Ya, setelah ayah kehilangan ibumu. Dikejadian yang dimana kamu mengiris tanganmu sendiri saat kematian Sherli, itu membuktikan ayah tidak siap melepasmu."

"Lagi! Aku tidak pernah mencoba bunuh diri." Aya benar-benar tidak ingat kejadian itu, yang Aya tahu Aya pergi kesekolah seperti biasa saat meninggalnya Sherli dan dituduh teman-temannya merusak lukisan. Lalu Tian datang dan memeluknya.

"Kamu melakukannya. Saat itu kamu koma, dan alam bawah sadarmulah yang menciptakan ingatan palsu." Tidak masuk akal.

"Ayah bohong!"

"Jika kamu tidak percaya, tanya Tian. Dialah yang menemanimu saat kamu terbaring koma, sepanjang waktu dia menggenggam tanganmu." Jadi semua itu hanyalah ingatan semu? Aya tidak mempercayainya.

"Percayalah pada Ayah, Tian satu-satunya manusia yang bisa membuatmu tertidur nyenyak tanpa mimpi, hanya dengan menggenggam tanganmu saja. Itu sebabnya, selama kamu koma, kamu tidak mendapatkan mimpi." Jadi itu sebabnya Aya bisa tertidur nyenyak saat bersama Tian.

"Lalu, apa itu berarti aku tidak akan mendapatkan mimpi tentang Tian?" Gunawan menggeleng.

"Kamu bisa mendapat mimpinya kapan saja." Inilah sebabnya Gunawan tidak bisa menahan Tian untuk selalu di samping anaknya. Gunawan tidak bisa mengorbankan anak orang lain untuk membuat anaknya sendiri bisa tertidur nyenyak.

"Terus, kenapa ayah gak berhenti aja melakukan ritual bodoh itu?"

"Ayah sudah berniat berhenti, namun tiba-tiba mimpimu muncul lagi. Mimpi tentang cincin yang kamu ceritakan. Ayah tidak ingin kamu kesulitan tidur lagi, ayah ingin kamu bahagia. Jangan salahkan dirimu sendiri karena ayahlah yang membuat keputusan ini sendiri." Aya menggeleng, ini semua memang salahnya. Yang sebenarnya adalah Aya manusia terkutuk bagi orang-orang yang disayanginya. Bukan salah mimpinya, tapi Aya-lah yang salah.

"Jangan gunakan lagi jam yang ayah beri. Itu hanya menunda kematian seseorang dan bisa jadi kematian itu berubah menjadi tragis. Jangan percayai suripah, hadapi mimpimu dengan berani. Janji sama ayah Ya." Aya menganggukkan kepalanya sembari mengusap air matanya. Mata Aya naik menatap mata ayahnya yang sama sembabnya seperti matanya, karena menahan tangis.

"Aya janji yah."

"Maafkan ayah karena menambah penderitaanmu." Aya menggeleng kuat.

"Gak ayah. Aya berterima kasih sama ayah. Karena ayah, Aya bisa tidur nyenyak." Gunawan tersenyum simpul, ingin sekali memeluk putrinya. Namun wujudnya yang sekarang tidak memungkinkannya.

"Maafkan ayah, mungkin ayah tidak akan pernah terlihat lagi setelah ini."

"Apa maksud ayah? Ayah gak boleh pergi." Kali ini Gunawan meneteskan air matanya, tak tega saat mendengar permohonan anaknya.

"Ayah gak pergi. Ayah ada disamping kamu selalu. Hanya saja tidak terlihat." Aya hanya bisa menganggukkan kepalanya.

Hati Gunawan teriris, saat tidak bisa menyeka air mata anaknya yang mengalir dengan deras.

"Terima kasih. Sudah percaya pada ayah." Aya menangguk lemah, Aya ingin menahan ayahnya tapi itu mustahil.

Aya menangis keras saat perlahan-lahan tubuh ayahnya menghilang.

"Gak, ayaah." Aya menggeleng, mencoba menahan tangan ayahnya agar tidak ikut menghilang. Tapi Aya tidak bisa berbuat banyak karena tangannya seperti menyentuh angin.

Gunawan berusaha tersenyum disela kesedihannya, karena ingin anaknya mengingat wajahnya yang tersenyum, bukannya wajah yang penuh kesedihan untuk terakhir kalinya.

"Ayah!" Aya menangis sejadi-jadinya melihat ayahnya yang kini sepenuhnya tidak terlihat. Aya meraba-raba angin yang ada dihadapannya, hendak meraih sesuatu. Namun, Aya tidak menemukan apapun. Aya menyembunyikan tangisannya dengan kedua telapak tangannya.

Bagaimana Aya akan menghadapi masa depan tanpa ayahnya? Aya tidak sanggup. Lagi-lagi karena kutukan mimpi itu, Aya kehilangan ayahnya.

Lampu menyala dan lift kembali berjalan naik.

Aya yang tersadarpun segera menyeka jejak air matanya dan segera merapikan belanjaannya, sebelum ada orang yang masuk kedalam lift.

Tepat saat lift berhenti dilantai apartemen Tian, pintu lift terbuka. Aya segera keluar, saat seseorang yang hendak masuk mempersilahkan Aya keluar terlebih dahulu.

"Aya." Aya berbalik kearah orang yang memanggilnya.

avataravatar
Next chapter