webnovel

Kebohongan

Zoltan memang berhasil melarikan diri dari permintaan Guazel, tetapi sayangnya tidak bisa mengatasi ancaman Guazel. Perempuan itu melakukan berbagai cara supaya Zoltan mau pergi dengannya.

Alex tidak dapat mencegah aksi gila Guazel. Perempuan itu berdiri di tepi jembatan layang. Mencoba bunuh diri. Alex terpaksa menghubungi Zoltan dan memintanya segera kembali pada Guazel.

"Bagaimana? Apa Zoltan mau pergi bersamaku? Atau dia memilih aku mati!" teriak Guazel masih berdiri tegak di tepi jembatan layang

Alex memasukan benda pipi ke saku jasnya. Sesudah berbicara dengan Zoltan.

"Turun dulu! Aku takut kakimu tergelincir." Alex mengulurkan tangan agar Guazel menyambut ulurannya.

"Jawab pertanyaanku dulu! Apa Zoltan mau mengabulkan permintaanku? Aku tetap melompat jika jawabannya tidak sesuai harapan!" ancamnya sesaat melirik ke bawah. Guazel bergidik ngeri air di bawah sungai itu sangat dalam.

"Ck, tentu saja Zoltan akan mengabulkan keinginan kamu. Zoltan mungkin datang sedikit terlambat karena ada sesuatu yang harus dia siapkan."

"Dia menyiapkan sesuatu? Apa mungkin dia memilih hadiah untuk kedua orang tuaku?" Guazel menerka, tetapi apa benar seperti itu?

"Mungkin saja tebakanmu benar. Zoltan ingin mempersiapkan sesuatu untuk kedua orang tua kamu. Oleh sebab itu jangan bunuh diri. Jika kau mati maka tidak bisa melihat kejutan yang disiapkan Zoltan," jelas Alex meyakinkan.

Guazel langsung turun, seolah tidak terjadi apapun. Perempuan itu kembali  ceria. Membayangkan kebersamaannya dengan Zoltan.

***

Zoltan sendiri berusaha menghubungi Enola, teman kencan yang sudah dianggap pacar baru. Walaupun  belum meresmikan hubungannya, dia merasa senang dan nyaman bersama perempuan itu.

Zoltan berharap kali ini Quinn atau Enola nama aslinya. Membantunya walau hanya sebentar.

Sudah sepuluh menit berlalu, tetap saja tidak ada balasan. Apa mungkin Enola tidak suka bersamanya? Atau dia sengaja tidak mengambil panggilannya? Zoltan terus menerka sesuatu yang tidak pasti.

Kenyataan sebenarnya saat ini Enola tengah mengerjakan ulangan matematika. Boro-boro nerima telepon napas saja susah. Siapa sih yang suka pelajaran berhitung itu? Jika boleh memilih Enola lebih senang pelajaran olahraga. Sebab selain dapat udara segar dapat juga kesempatan  cuci mata. Tapi semenjak ketemu Zoltan kriteria cowok idaman jadi lebih tinggi.

Satu pesan diterima. Enola melirik sebentar ke bawah meja. Di sanalah benda pipi berada. Sekilas saja dia mengenal pengirim pesan tersebut.

"What?" Enola kaget, sampai menimbulkan suara yang membuat wali kelasnya--ibu Eria melirik.

"Ada apa Enola? Kau sudah mengerjakan semuanya?"

Enola nyengir. "Belum Bu, tadi ada semut ngigit. Maaf kaget."

Ibu Eria menggeleng dikira murid satunya itu selesai mengerjakan tugas tahunya hanya membuat alasan.

"Ya sudah kerjakan lagi!" Ibu Eria kembali ke tempat asalnya.

Katrine memiringkan tubuhnya bertanya pada Enola

"Kenapa kaget begitu tadi? Benar ada semut?" suara Katrine dengan nada rendah.

Enola menunjukkan benda pipi tersebut. Sontak saja mata Katrine membulat.

"Terus kamu, mau pergi sekarang? Aku bisa bantu kamu kalau mau."

"Iya, tolong bantu, keluarkan aku dari sini."

"Oke, kamu cukup ikuti saja aku," bisik Katrine  memimpin rencana untuk Enola.

Benar saja Katrine sangat berani berdiri tegak bersamaan  tangan satunya ke atas.

"Maaf bu! Teman saya, Enola sakit perut! Boleh tiduran di ruang UKS?"

Ibu Eria menanggapi ucapan Katrine, kemudian melihat Enola.

"Benar kamu sakit perut, Enola? Kenapa tadi tidak bilang?"

Enola langsung tergagap seketika, sebab mendadak kena sakit perut.

"Iya benar Bu, perut saya sangat sakit. Tadi masih bisa ditahan makanya diam," balas Enola dengan keringat dingin yang mengucur di dahinya. Mampus deh, baru kali ini Enola berbohong, sejak sekolah TK, sampai SMA tidak pernah bohongi wali kelas. Sekarang demi teman kencan dia melakukan hal seperti itu. Enola benar-benar telah berubah.

Ibu Eria mengijinkan Enola tiduran di ruang kesehatan. Sementara itu Zoltan baru saja menerima pesan dari Enola.

***

"Guazel, di mana Zoltan? Sudah satu jam kita menunggu."

Guazel  terus tertekan kedua orang tuanya terus bertanya mengenai kedatangan Zoltan. Seandainya dia mengatakan kebenaran itu mungkin tidak akan dilema seperti ini. Namun tetap saja wanita itu tidak ingin mengatakan pada kedua orang tuanya perihal putusnya hubungan Zoltan dan dirinya. Guazel lebih memilih berbohong demi perasaan orang tua.

"Tolong tunggu sebentar lagi ya, Mom, Zoltan dalam perjalanan," balas Guazel yakin walau pun pesannya belum ada balasan.

"Kenapa dia tidak datang bersama saja dengan kamu? Apa kalian bertengkar?"

"Tidak ko Dad, kami rukun dan damai. Zoltan sangat baik mana mungkin ada pertengkaran."

Lagi dan lagi Guazel berbohong. Tetap saja hati kecilnya tidak nyaman setelah mengatakan kebohongan itu. Penderitaan Guazel berakhir ketika melihat kedatangan Zoltan.

"Itu Zoltan datang!" Guazel berdiri, hendak menyambut Zoltan. Sayangnya bukan hanya Zoltan yang datang. Di sampingnya ada Enola yang tengah menyamar jadi wanita dewasa.

"Siapa perempuan yang bersama Zoltan? Kenapa mereka sangat dekat sekali?" bisik Guazel dalam hati.

Bukan hanya Guazel yang melihat pemandangan itu, kedua orang tuanya juga menyaksikan momen mengherankan itu.

"Maaf kami terlambat," ucap Zoltan berbasa basi setelah berhadapan dengan mantan pacar juga kedua orang tuanya.

"Zoltan, siapa perempuan yang bersamamu?" Pertanyaan bagus yang diharapkan Zoltan dari orang tua sang mantan.

"Perkenalkan dia calon istriku. Quinn Shada."

Deg.

Bagai di cambuk seribu pecutan hati Guazel beserta kedua orang tuanya mendengar ucapan yang tidak diharapkan.

"Jangan bercanda, Zo. Kamu membuat orang tuaku bingung!"  Guazel tetap tidak menerima semua itu. Zoltan hanya miliknya dan tetap jadi miliknya sekalipun sudah putus.

"Maafkan saya." Zoltan membungkuk. "Sebenarnya hubungan saya bersama Guazel sudah berakhir. Kami sudah lama putus. Saya sangat menyesal mengatakan semua ini di saat kalian berkunjung. Tetap saja saya tidak bisa menyembunyikan semuanya," tutur Zoltan.

Enola jadi tegang menerima tatapan tajam dari kedua orang tua Guazel. Andai saja tahu sebelumnya mana mau diajak. Sialnya Zoltan tidak mengatakan ini sebelumnya.

"Alasan? Kenapa kau memutuskan hubungan dengan putri kami? Bukankah hubungan kalian sudah berjalan lama, mengapa bisa putus?"

"Dady! Biar Aku jelaskan!" Guazel mencoba menjelaskan dengan versinya, tetapi teguran keras orang tuanya membungkam bibirnya.

"Dady hanya ingin penjelasan dari Zoltan! Kau sebaiknya diam! Sudah mempermalukan kedua orang tua. Masih saja berani berbohong hah!"

"Maafkan aku Dad, tap--"

"Tidak ada masalah yang terjadi!" Zoltan memotong kalimat Guazel hingga perempuan itu tergagap.

Zoltan menyunggingkan bibirnya, merasa geli sebab menyembunyikan alasan putus sebenarnya. Demi siapa coba dia berbohong, tidak mungkin demi perempuan yang telah mengkhianatinya.

"Tidak ada masalah. Lantas kenapa kalian putus? Mungkinkah kau menduakan putri kami? Atau putri kami yang menduakan?"

Zoltan terdiam selama beberapa detik, keinginannya mengungkapkan semuanya. Tetapi tidak tega melihat kekecewaan dua orang tua itu.

"Tidak ada perselingkuhan antara kami. Guazel terlalu baik untukku. Inilah alasan kami putus, saya datang untuk menyapa, kalau begitu saya undur diri, permisi."

Zoltan merangkapkan lima jarinya kesela-sela jemari Enola, kemudian membawa pacar barunya pergi.

"Zo ...,"panggil Guazel lirih. Tak menyangka Zoltan berbohong demi perasaan orang tuanya. Guazel menyesal telah menyia-nyiakan Zoltan sebelumnya. Andai saja tidak menuruti hawa nafsu mungkin perselingkuhan itu tidak akan terjadi.

"Kau harus minta maaf pada Zoltan! Dady tahu kau bersalah! Tidak mungkin putus dengan alasan seperti itu!"

Orang tua itu kecewa. Telah gagal memiliki menantu yang diidam-idamkan.