webnovel

Ramalan

"Kamu sebentar lagi akan mendapatkan jodoh. Dia akan datang melamarmu segera."

Ada denyut tak karuan di kepala Elza sekarang ketika wanita berpakaian serba hitam dengan topi kerucut bicara, matanya terasa sakit ketika melihat aksesoris serba nyentrik yang dikenakan wanita paruh baya itu.

Tempat ini tak ubahnya mirip wahana rumah berhantu yang siap membuat spot jantung untuk pengunjung yang penakut. Lihatlah deretan benda-benda yang dianggap keramat itu mengelantung di dinding kayu.

Belum lagi bau dupa yang menyeruak hingga membuat pusing. Ada kain hitam yang menjadi alas duduk hingga ruangan ini nampak remang-remang. Lampu yang dipakai sendiri menyala redup warna oranye.

"Beneran Mbah? Ga bohong kan?" sahut seorang wanita di samping Elza terdengar girang.

Wanita itu tak lain adalah teman Elza, si wanita yang tengah diramal barusan. Dia juga penyebab Elza bisa ada di sana sekarang. Jika bukan karena iming-iming ayam goreng, malas Elza datang ke tempat yang tidak karuan seperti itu. Bisa-bisanya ia malah kena tipu.

Mbah itu langsung mengganguk tanda membenarkan pertanyaan Maura.

"Jangan bercanda," cicit Elza merasa merinding. Mau bagaimana pun juga ia tak pernah sekalipun percaya pada hal-hal seperti ini.

"Ayo beli ayam saja," bisik Elza pada Maura, temannya yang masih tak bergeming.

"Hei, kita belum selesai, harusnya tanyakan siapa nama jodohmu itu," kekeh Maura menolak masih bersikukuh.

Tanpa menunggu aba-aba, Elza segera bangkit, meninggalkan ruangan yang membuatnya sesak napas. Tak memedulikan Maura yang masih kukuh ingin diam di sana.

"Dasar enggak sabaran," ucapnya memberengut sambil menyerahkan uang ke peramal tak lupa ia mengucapkan terima kasih.

"Kau gila ya? Ngapain ajak aku ke tempat kayak gini!" Sentak Elza kesal di depan pintu keluar. Padahal perjanjiannya tidak seperti itu pada awalnya.

"Ya, namanya juga usaha," sahut Maura tak merasa bersalah.

"Kalau ke dukun bukan usaha namanya! Tapi pasrah!"

Maura mengibaskan tangannya tak peduli.

"Bicara apa kau? Dia peramal bukan dukun." Sentak Maura.

"Bodo amat, sama aja!" sahut Elza makin mempercepat langkahnya.

Maura menyeka sudut matanya menggunakan tisu ekspresi berlebihan. Ia merasa khawatir pada sahabat karibnya itu, sebab masih melajang walau usianya sudah 26 tahun, punya pacar pun tidak.

Sampai-sampai orang mengatakan bahwa dirinya tak punya niat untuk menikah dan suka sesama wanita.

Padahal Elza punya timbunan photo card oppa Korea di kamarnya.

"Ayo beli ayam!" Kata Elza berbalik dan mendapati Maura malah merenung bak tengah memikirkan hutang tujuh turunan yang belum dibayar.

"Pacar atau ayam?" tanya Maura ketika sudah berada di sebelah Elza. Baru saja Elza itu ingin menjawab, buru-buru Maura memotongnya karena tahu Elza akan lebih memilih ayam daripada pacar. Bodoh dia kalau menanyakan hal yang sudah jelas.

Tepat ketika mereka sudah tak terlihat lagi, sambil mengintip dari jendela yang dibuka sedikit, dukun wanita itu menghela napas lega.

"Akhirnya," gumamnya sambil melepas topi kerucutnya dan mengipasinya ke wajah, ia benar-benar sudah tak tahan, untungnya kedua gadis tadi bertengkar hingga acara ramal meramal berakhir lebih cepat, kemudian dari bilik kamar muncul seorang pria yang ternyata suaminya membawakan jus.

"Ayo kita matikan dupanya dan bersantai di ruang sebelah," ujar pria itu memberikan minumannya.

"Besok gantian mas yang jadi peramalnya," cetus wanita itu merasakan bau menyengat dari dupa. Sementara sang suami kini mematikan dupa ia mengeloyor pergi sambil minum.

Semenjak sang suami diPHK dari tempatnya berkerja, keduanya sekarang memilih menjadi peramal, bayarannya lumayan meski harus menipu orang.

Apalagi kalau jadi peramal mode hubungan asmara makin banyak pelanggannya.

Tapi tetap saja, kadang rasanya kurang nyaman mereka sebab takut ketahuan apalagi jika sampai dibawa aparat. Tapi mereka menganggap hal itu hanya untuk main-main.

"Heran, zaman sekarang masih saja ada yang percaya sama beginian," kekeh si wanita tak habis pikir. Padahal jelas-jelas menipu. Kini ia menghapus sedikit make up di wajahnya, celak warna hitam dan lipstik warna senada, biar kesannya lebih mistis.

"Ya, namanya juga manusia, sebagian ada yang masih menggunakan cara-cara seperti ini," jawab sang suami.

***

Harusnya, Elza lebih baik berbaring di kasur yang empuk dengan ditemani camilan. Daripada mengikuti sang sahabat yang malah pergi duluan meninggalkannya seorang diri di taman dengan sekantung ayam goreng dan minuman bersoda.

Dia mirip anak hilang yang tak dipedulikan sang ibu sekarang.

Maura tiba-tiba saja harus pergi karena pacarnya minta ketemuan. Dia memang begitu, kalau soal pacar langsung wush begitu saja.

Sambil memakan ayamnya, Elza memerhatikan sekitar dengan pandangan datar. Sayup-sayup ia mendengar suara tangisan. Beruntung sekarang adalah sore hari, yang artinya tidak mungkin jika itu hantu atau setan yang tengah berkeliaran. Ia lalu berdiri dan melihat-lihat sekitar.

Di dekat pohon willow yang kehijauan. Seorang gadis kecil menangis keras.

Elza buru-buru mendatanginya sambil membawa ayamnya.

"Adik kecil kenapa nangis?" tanya Elza langsung berjongkok.

Melihat gadis itu menyeka matanya. Sepertinya gadis itu sedikit lebih kecil dari keponakannya.

Bukannya menjawab gadis itu menangis makin keras hingga Elza jadi panik sendiri.

Ia berusaha menenangkan gadis itu sambil mengatakan bahwa dirinya peri baik hati dan bukan penculik.

Mendengar kata peri, ia pun mendongak menatap ke arah Elza.

"Mau ayam?" tawar Elza padanya dengan cengiran lebar.

Keduanya kini duduk di bawah naungan pohon rindang, tempat Elza tadi.

Gadis itu bilang namanya Kaira. Ia makan ayam dengan lahap, bahkan itu sudah potongan yang ke 3.

Air matanya sudah mengering sepenuhnya. Sepertinya anak itu lapar.

"Kaira tadi ke sini sama siapa?" tanya Elza takut dikira penculik benaran jika membawa anak kecil yang ditemuinya itu ke mana-mana. Setidaknya sekarang ia harus tahu di mana wali anak itu.

Namun sayangnya tak dijawab.

"Kai?" Panggil Elza.

"Papa," ujar gadis itu.

"Hm? Papa? Namanya siapa?" ulang Elza dengan kening berkerut.

"Papa!"

Gadis kecil tersebut tiba-tiba berteriak kencang sembari melambaikan tangannya. Elza awalnya agak panik karena bingung Kaira sebenarnya sedang memanggil siapa.

Sebelum sadar, seorang pria tengah berlari ke arah mereka.

Pria berwajah tampan dengan stelan kemeja warna biru muda.

Untuk sejenak Elza tercengang, wajahnya nampak tak asing.

Walau sudah lama tak bertemu ia tak mungkin salah mengenali orang. Dia tak sepikun itu.

"Sial, takdir macam apa ini," gumam Elza tersenyum kaku. Entah kenapa ia merasa beruntung Maura sudah pergi hingga ia tak bisa melihat ekspresi wajahnya sekarang.

Ia berusaha untuk tetap tenang.

Tidak salah lagi, pria yang tengah memeluk Kaira itu Arvin. Cinta pertamanya.

Tapi bukan itu yang mengejutkannya, melainkan fakta bahwa Arvin telah memiliki anak.