webnovel

KEKESALAN BERUJUNG MANIS

Sehari sebelum pernikahan, Edzhar menghilang begitu saja. Sejak pagi Sherin mencari, namun batang hidung laki-laki tersebut tak kunjung muncul juga.

"Kemana dia? Apa dia berniat kabur dari pernikahan? Awas saja, Ed! Aku nggak akan melepaskan kamu kalau sampai melakukan hal itu." Sherin mengepalkan tangan. Amarahnya sudah bergemuruh di dalam hati. Sejak tadi Lynch hanya menjadi pengamat saja. Dia melihat putrinya bolak balik memasuki kamar Edzhar yang tidak dikunci.

"Dia belum pulang?" tanya Lynch. Dia terlihat santai meskipun sang anak sudah sangat cemas.

"Ini sudah jam tiga sore, Pa. Ke mana dia? Dia nggak berniat kabur dari pernikahan, kan?" Pertanyaan di balas pertanyaan oleh Sherin. Akan jadi seperti apa dirinya jika mempelai pria tidak ada di hari pernikahan.

"Tadi subuh, Edzhar pamit sama Papa. Dia ada pekerjaan mendadak. Malam ini pasti pulang," terang Lynch. Bukan menenangkan, putrinya justru semakin kacau.

"Pekerjaan? Dia memikirkan pekerjaan di saat seperti ini? apa pernikahan ini nggak penting untuknya? Menyebalkan!" Sherin mengentakkan kaki dan pergi meninggalkan Lynch. Dia mengunci diri di kamar.

"Sungguh menyebalkan. Pernikahan ini adalah idenya. Kenapa dia bersikap seolah-olah pekerjaan lebih penting. Aku benar-benar membencimu Edzhar Frumentius. Aku nggak akan pernah memaafkanmu." Sherin mengambil guling dan melampiaskan kemarahannya pada benda panjang nan empuk tersebut.

Sherin punya alasan tersendiri. Dia paling takut jika dirinya akan mengalami hal yang sama dengan mendiang mama yang sudah tidak ada. Semasa hidup sang ibu, Lynch terlalu sibuk dengan semua urusan bisnis. Sherin tidak mau hal itu terulang dalam hidupnya.

Berusaha memejamkan mata, tetap gagal juga. Sherin mencari kesibukan agar tidak terlalu fokus memikirkan Edzhar. Dia membuka ponsel. Berniat melihat sosial media, namun gagal mengalihkan perhatian. Menyalakan televisi, tidak ada tayangan yang menarik.

"Edzhar!!!" teriak Sherin. Guling yang tak bersalah kembali menjadi sasaran.

***

Sudah jam enam sore. Sehabis mandi Sherin keluar kamar. Tidak ada siapa-siapa. Sepertinya Lynch juga berada di dalam kamar. Sherin tidak berani mengganggu. Papanya butuh istirahat karena besok acaranya sangat panjang.

"Dia belum pulang juga?" kekesalan Sherin sudah di atas puncak saat melihat kamar Edzhar. Belum ada kehidupan di ruangan tersebut.

"Permisi, Nona." Salah satu staff wanita menyapa Sherin yang baru keluar dari kamar calon suaminya.

"Ada apa?" jawab Sherin ketus. Dia seperti wanita yang sedang menstruasi, padahal belum masa periode. Ingin rasanya melampiaskan kemarahan kepada siapa pun.

"Tuan Edzhar meminta saya untuk memberikan gaun ini kepada Anda. Satu jam lagi akan ada sopir yang menjemput."

"Menjemput?" ulang Sherin saat menerima sebuah paper bag dari staff tersebut.

"Iya Nona. Itu perintah dari Tuan Edzhar."

"Baiklah." Sherin melangkah menuju kamarnya. "Awas saja! Aku akan mencabik-cabik tubuhmu karena sudah mempermainkan aku seperti ini," batin Sherin marah. Tidak terima dengan kekacauan hati yang dia alami sejak pagi hari.

***

Sherin melihat dirinya di cermin. Gaun strapless berwarna hitam dengan bagian bawah menjuntai hingga tumit kaki membuat penampilan Sherin terlihat cantik dan elegan. Dia keluar kamar dan melihat Lynch sedang menyesap teh hitam yang disiapkan oleh pegawai hotel.

"Mau ke mana, She?" tanya Lynch setelah menyeruput minumannya. Dia melihat penampilan putrinya yang berbeda.

"Calon menantu Papa meminta sopir untuk menjemputku. Entah apa yang sedang dia rencanakan."

"Oh gitu. Berangkat saja! Papa bisa makan malam bersama yang lain."

***

Sepanjang jalan Sherin memikirkan apa yang sedang disiapkan oleh Edzhar setelah membuatnya kesal sepanjang hari.

"Kita sudah sampai, Nona." Sopir membawa mobil masuk ke halaman sebuah villa mewah. "Tuan Ed sudah menunggu Nona di dalam." Sopir membuka pintu dan memberi tahu.

Sherin masuk ke dalam. Sepatu hak tinggi menambah pesonanya saat menaiki setiap anak tangga menuju pintu utama. Belum sempat mengetuk, salah satu penjaga villa berjenis kelamin wanita membuka pintu.

"Mari saya antar, Nona. Tuan sudah menunggu Anda." Wanita tersebut melangkah dan diikuti oleh Sherin. Mereka tiba di folding door. "Silakan masuk, Nona!" ucap wanita tersebut usai membuka pintu berbahan kaca.

Sherin melihat Edzhar duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari kolam renang. Pria itu memakai blazer hitam yang menutupi kaos putih yang melekat di tubuh six packnya. Di sana juga ada sebuah meja bundar dengan berbagai makanan enak di sana.

"Kemarilah!" titah Edzhar. Dia berdiri dan tersenyum pada Sherin.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sherin. Dia tidak mau melangkah. Kekesalannya masih ada. Ingin merajuk pada laki-laki yang sudah membuatnya jengkel sepanjang hari.

Edzhar berjalan maju dan berdiri di depan Sherin. "Dari pagi aku sudah ada di sini. Aku sengaja masak untuk kamu. Beberapa hari ini kamu terlihat tegang. Besok hari pernikahan kita. Aku hanya ingin membuat suasana hati kamu baik."

"Ka-kamu masak untukku?" Sherin memastikan. Kekesalannya melayang entah ke mana. Sekarang dia terkejut mendengar penuturan Edzhar. Laki-laki itu tidak sibuk dengan pekerjaan, melainkan menyiapkan kejutan untuknya.

"Hmmm. Aku menyiapkan makan malam untuk kita berdua. Ayolah!" Edzhar menarik tangan Sherin. Wanita itu tidak membantah. Lidahnya masih kelu. Tidak sanggub untuk berkomentar. Padahal, sejak Ed tidak ada di kamar, dia sudah merancang hal apa saja yang harus dilakukan kepada calon suaminya yang sangat menyebalkan.

"Aku tahu kalau kamu nggak ingin gemuk. Aku membuat steak berbahan dasar jamur dan tahu. Beberapa kali Papa sudah mencobanya. Aku rasa kamu juga bisa menikmatinya. Meski tidak seenak makanan di restoran, tapi lumayanlah."

Sherin ingin tersenyum, namun ditahan. Terlalu gengsi jika dia harus menunjukkan rasa bahagianya sekarang.

"Makanlah!"

Pasangan yang akan menikah itu pun menikmati hidangan di atas meja. Sesekali mata Sherin melirik pria yang duduk di depannya. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. "Kenapa dia melakukan ini? apa Edzhar mencintaiku? Bisa saja selama ini dia memang menyukaiku."

"Aku memang tampan, tapi kamu harus tetap fokus makannya. Bahaya jika kesedak." Edzhar membuat Sherin tersadarkan dari lamunannya. Meski tidak menunjukkan, ternyata Edzhar juga memerhatikan sikap Sherin yang curi-curi pandang terhadapnya.

"Aku juga fokus makan. Jangan terlalu percaya diri dengan mengatakan kamu tampan. Kalau kamu mirip artis Korea, barulah menarik di mataku."

Semakin Sherin kesal, hal itu membuatnya terlihat menggemaskan di mata Edzhar. "Segera habiskan makananmu. Aku masih memiliki kejutan yang lain. Kita nggak boleh bergadang karena acara besok dari pagi sampai sore."

"Masih ada kejutan yang lain?"

"Iya. Nanti kamu akan tahu. Sekarang habiskan dulu makanannya. Aku sudah bekerja keras menyiapkannya. Bagaimana? Makanannya enak, tidak?" Edzhar sangat penasaran dengan penilaian jujur dari Sherin. Sebenarnya ingin bertanya sejak awal wanitanya itu mengunyah, namun Edzhar tidak berani.

"Lumayanlah. Pasti makanan-makanan ini yang membuat Papa lebih sehat sekarang."

"Kamu suka?" Jawaban Sherin dirasa belum puas oleh Edzhar.

"Aku ingin mencobanya lagi." Edzhar bernapas lega. Artinya Sherin menyukai hasil masakannya.

Setelah makanan habis, Edzhar mengajak Sherin naik ke lantai dua. "Ada apa di lantai dua? Kamu nggak berniat mengajak aku menginap di sini, kan?" Sherin reflek menyilangkan tangan di dada.

"Aku kan sudah bilang. Masih ada kejutan yang kedua. Ayo!" Edzhar mengulurkan tangan. Sherin pun menerimanya dengan ragu. Dia belum siap jika laki-laki itu meminta hak. Sherin harus membicarakan hal tersebut sebelum malam pengantin.

"Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Tenang saja!" ucapan Ed menenangkan. Sherin pun mengiringi langkah calon suaminya menuju lantai dua.