webnovel

Kenangan dan Ruri dan Penghuni

Aku tidak pernah tahu siapa orangtuaku. Ayah? Ibu? tidak pernah juga aku melihat wajah mereka maupun mendengar suara mereka.

Ketika aku masih kecil saja, aku tinggal bersama dengan kakak di rumah nenek, yang tinggal di luar dari kota ini.

Nenek, ibu dari ayahku, tidaklah pernah menceritakan mengenai anaknya itu, bahkan ketika suatu waktu aku meminta beliau untuk menceritakan tentang ayah, nenek selalu menolak dan mengalihkan pembicaraan.

Sampai, pada saat kakak berusia tujuh belas tahun, nenek meninggal dunia dan dimakamkan di desa tersebut. Hal itu seperti pukulan yang telak bagiku, sebab orangtua yang aku kenal, sudah tidak ada.

"Jangan menangis..!" Kakak memegang kepalaku. Pada saat itu, setelah upacara pemakaman, semua orang sudah pulang dan tersisa aku dan kakak saja.

"Masih ada aku, aku akan selalu ada disisi kamu!" kakak tersenyum dan aku pun langsung memeluknya.

Nenek memberikan kami sejumlah warisan yang telah beliau tetapkan sebelum beliau meninggal dunia.

Isi surat itu: Telah diwariskan kepada Ruri segala harta yang telah ditinggalkan, termasuk sejumlah uang dan sebuah bangunan yang ada di kota.

Aku tidak begitu ingat mengenai isi surat wasiat tersebut, hanya saja kakak yang mengerti dan paham mengenai isi surat tersebut, karena saat itu aku barulah berusia tujuh tahun.

Dengan begitu, aku hanya tinggal berdua dengan kakakku, kak Ruri, di rumah nenek selama satu tahun lamanya sampai kakak lulus kelas dua belas.

Kami bersekolah dan menyambung hidup dengan uang yang telah diwariskan nenek kepada kami.

Kakak berkata, "hei.. kita akan pindah dari sini.." Dia tersenyum padaku. "kita akan tinggal di kota!"

Setelah dia lulus sekolah, kami pindah pada bangunan yang telah diwariskan nenek pada kami yang tercantum pada surat wasiatnya. Namun sebelum sepenuhnya pindah, kami berdua mengunjungi kota itu pada saat liburan musim panas, untuk memastikan tempat tersebut.

Kakak berkata, "ya ampun... aku kira rumah, ternyata bangunan ini...?"

Bangunan yang kotor dan tampak tidak terawat.

Kata wanita itu, yang membacakan surat wasiat nenek, "ya inilah tempatnya, kalian sepenuhnya memiliki hak akan tanah dan bangunan ini. Jika kalian siap untuk pindah, maka kami akan membantu kalian."

Kakak pun masuk dan melihat satu persatu kamar, mulai dari kamar yang ada di lantai dasar hingga kelima kamar yang ada di lantai dua. Secara keseluruhan, sistem kelistrikan dan air tidak ada masalah, hanya tampak kotor dan berdebu saja, karena tidak ditinggali selama beberapa tahun terakhir.

Kakak berkata kepada wanita itu, "kami mau sih tinggal disini, hanya saja jika hanya aku seorang diri yang membersihkannya, membutuhkan waktu yang lama."

Aku pun memegang tangan kakak, "aku akan membantu! aku akan membantu kakak!"

Kakak hanya tersenyum padaku saat itu.

Tetapi wanita itu berkata, "kan sudah aku katakan bahwa kami siap membantu."

"Bukan hanya mengenai pindahan saja, melainkan juga membersihkan tempat ini dan memperbaiki yang rusak juga siap kami lakukan."

Setelah itu kami kembali lagi ke desa untuk satu pekan lamanya sampai bangunan itu dibersihkan dan diperbaharui oleh pekerja-pekerja yang disediakan wanita tersebut.

Selama di desa, aku merayakan musim panas di sana untuk yang terakhir kalinya sebelum kami pindah, aku merayakannya berdua dengan kakak saja.

"Adik kecil, adik kecil mau permen apel?" tanya seorang paman kepada kakak. Pada saat itu kami sedang ada dalam festival perayaan musim panas, sejumlah pedagang menjual beranekaragam jajanan dan hiburan.

"Aku sudah tujuh belas tahun!" Tegas kakak. "Tapi boleh deh paman, dua permen apel. Tetapi yang satu, ukurannya yang kecil saja, untuk adikku ini."

"Tujuh belas tahun? Maaf kalau begitu." Jawab paman itu. Setelah itu dia memberikan permen apel berukuran besar untuk kakak sebagai permintaan maafnya dan ukuran yang kecil diberikan kepadaku.

Setelah itu kami melihat kembang api, sebuah hal yang biasa pada musim panas.

Belum genap satu pekan, kakak diberitahukan bahwa bangunan di kota itu sudah selesai direnovasi. Karena mendapatkan berita tersebut, maka sejumlah barang pun yang ada di rumah nenek, dibawa pergi oleh kakak, namun yang besar dan berat ditinggalkan.

Setelah kami kembali ke kota, kami terkagum-kagum melihat bangunan itu sudah jauh lebih baik, sudah seperti sebuah bangunan baru, dindingnya sudah dicat ulang bahkan segala sesuatu yang sudah usang dan tua, diganti oleh pekerja wanita tersebut.

Kakak bertanya, "Dari delapan kamar, kamu mau tinggal di kamar yang mana?"

Aku memilih dan melihat-lihat dan aku putuskan untuk memilih kamar nomor satu, kamar yang paling pinggir dekat dengan pintu keluar dan dekat dengan tangga.

Dengan begitu, segala barang yang dibawa dari rumah nenek ditaruh di dalam kamar itu.

Barang-barangnya berupa kulkas, mesin cuci, ranjang tidur, TV, sejumlah lemari kecil, meja, alat makan, alat masak dan sejumlah barang lainnya.

Karena kami telah pindah pun, maka sekolahku juga pindah. Aku didaftarkan kakak pada sekolah negeri terdekat, sekolah yang disubsidi oleh pemerintah.

Dengan sedikit bantuan oleh wanita itu, aku pun diterima oleh sekolah itu dan kakak pun juga mendaftar pada salah satu universitas. Semua biayanya berasal dari sisa uang yang diwariskan oleh nenek kepada kami.

Kebahagiaan kami pun terbentuk saat itu, aku melewati hari-hariku bersama dengan kakak, semuanya tampak menyenangkan dan menggembirakan. Perasaan duka akan kehilangan seorang yang dicintai, perlahan sirna. Setiap harinya, aku terus menerus melihat senyum dari wajah kakak.

Hingga suatu malam, ketika aku berusia tiga belas tahun. Pada malam itu, untuk pertama kalinya aku tidak melihat senyuman dari kakak, melainkan air mata yang terus mengalir dari kedua matanya itu.

Saat itu aku terbangun oleh sebab suara tangisan kakak yang menangis di ruang keluarga. Aku yang tengah tidur di kamar, pun membuka pintu dan mengintip keluar, melihat dari belakangnya.

"Bodoh! Aku bodoh! Bego! Tolol! Aku manusia paling bego yang pernah ada!" Kakak terus menangis.

"Bisa-bisa aku percaya sama omongannya! Bisa-bisanya aku termakan rayuannya itu! Laki-laki brengsek!"

Karena kakak terus-menerus menangis, aku pun keluar dari kamar dan duduk di dekat kakak.

Aku melihat ponselnya yang rusak dan hancur, disampingnya pun terdapat sebuah palu kecil, yang aku duga kalau kakak dengan sengaja merusak ponselnya itu.

Kataku, "Kak... kakak kenapa?"

Tetapi dia terus menangis tersedu-sedu, air matanya terus mengalir tanpa henti membasahi pipinya, bajunya pun juga sudah basah hanya untuk menyeka air matanya itu.

Kemudian dia melihat ke arahku, dengan kedua matanya yang memerah karena menangis.

Lalu dia menarik tanganku dan mendekatkan aku pada dirinya, lalu dia memeluk aku dengan erat. Dia tidak berbicara satu katapun kepadaku selain memeluk aku dengan sangat erat bahkan aku tidak bisa bergerak, sekalipun aku bergerak, dia akan semakin menekan aku untuk terus memeluknya.

Dari pelukan itu, aku bisa mendengar suara detak jantung kakak yang berdetak dengan sangat cepat, selayaknya orang yang sedang berolahraga berat. Namu seiring waktu, dia terus memelukku dan juga dia sudah tidak menangis lagi, aku mendengar suara detak jantungnya sudah kembali pada keadaan normal.

Kakak berkata, "maaf sudah memelukmu sampai selama itu."

Wajahku sepenuhnya memerah, karena baru pertama kalinya aku dipeluk kakak sebegitu lama dan sebegitu eratnya.

Kataku, "ti-tidak apa-apa, kalau kakak sudah lebih baik."

Kemudian dia melihat ponselnya yang sudah hancur itu, yang dia hancurkan dengan sebuah palu.

Katanya sembari tersenyum, "ya ampun, sepertinya aku harus membeli ponsel baru deh." Dia kembali menyeka air matanya yang sempat keluar itu.

"Kakak ada apa? Ceritakan padaku, aku ini adikmu, kak. Aku pasti ada untuk melindungi kakak, lagipula aku seorang laki-laki." Jawabku padanya.

"Bukan apa-apa, kamu belun boleh tahu." Setelah itu dia mengambil palu kecil tersebut dan menyimpannya kembali di tempat yang sebelumnya. Lalu dari ponselnya yang sudah rusak dan tidak berbentuk itu, dia meminta aku untuk membuang seluruhnya ke tempat sampah, aku pun melakukan hal yang dia katakan.

Setelah itu, kakak mengambil jaket dan memakainya.

Dia berkata, "temani aku."

Kami pun keluar untuk ke minimarket terdekat yang ada di tepi jalan raya. Saat itu bangunan itu, belum dijadikan kos-kosan dan semua kamar yang lainnya masihlah kosong tanpa ada satupun barang didalamnya.

"Neh... kamu, gimana sekolah barunya?" tanya kakak.

"Hhm... biasa saja, tidak ada yang menarik." Jawabku.

Lalu kakak merangkul tangan kiriku, sebab dia berjalan disamping kiriku.

Kataku, "duh, kak! jangan begini dong! Aku kan malu kalau sampai ada yang melihatku seperti ini!"

"Ya ampun. Kamu malu walau dengan kakakmu sendiri?" Lalu dia tertawa. Kami terus berjalan sepanjang jalan raya, hingga tiba di minimarket itu.

Karena di minimarket itu, terdapat sejumlah kursi dengan meja panjang, maka aku membeli beberapa donat dan minuman dengan tujuan untuk menghabiskannya sembari duduk disitu, menghabiskan makanan dan minuman sembari menatap kendaraan-kendaraan yang lewat.

Kata kasir itu, "totalnya menjadi dua puluh lima ribu."

Aku mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya kepada perempuan itu.

Katanya lagi, "ini kembaliannya, terimakasih."

Jawabku, "sama-sama."

Aku pun membawa sepiring donat, yang berjumlah lima dan segelas plastik teh manis hangat, lalu aku duduk disebelah kakak yang sudah menunggu dari tadi.

Ketika aku melihat sekilas dari ujung mataku, bahwa kasir itu terus memperhatikan aku dan kakak.

Kataku, "kakak, rasanya dia terus memperhatikan aku deh? Kenapa yah?"

Jawab kakak, "entahlah, mungkin dia suka denganmu, sepertinya."

"Su-su-suka!?" Aku langsung menoleh ke arah perempuan itu yang berdiri di belakang mesin kasir. Ketika aku menoleh kearahnya, perempuan itu langsung memalingkan wajahnya daripada aku.

"Kak! Dia tiba-tiba buang mukanya! Beneran dia suka sama aku!?" Tanya ku keheranan.

Lalu tertawalah kakak terbahak-bahak hingga sedikit memukul meja itu. Katanya, "ya ampun, kamu polos banget sih! Aku kan hanya bergurau tapi kamu menganggap serius perkataan aku."

"Asal kamu tahu saja...." Kemudian dia terhenti untuk mengunyah donat tersebut. Setelah ditelan habis, barulah dia melanjutkan pembicaraan.

"... tidak ada orang yang baru pertama kali bertemu, baru pertama kali berjumpa langsung jatuh cinta, itu semua hanya omong kosong."

"Tapi kan ada pepatah cinta pada pandangan pertama." Balasku, karena di sekolah, sedang ramai mengenai pepatah tersebut dikalangan siswa-siswi.

Katanya lagi, "percintaan itu rumit, tidak semudah kamu mengambil donat ini lalu memakannya." Kakak berbicara demikian sambil mempraktekkannya.

"Dia melihatmu, bukan karena dia suka denganmu, pasti ada hal yang membuatnya tertarik melihatmu, ada sesuatu yang menarik perhatiannya itu. Tetapi itu bukanlah cinta pada pandangan pertama. Kalau memang benar itu cinta pandangan pertama, tentu sekarang dia sudah menghampiri kamu."

"Permisi...." Tiba-tiba saja kasir perempuan itu berdiri di belakang kami dan tersedak pula kakak karena kaget.

"Kak...! Dia disini!" jantungku langsung berdebar kencang karena kehadirannya di belakangku. Sama seperti ucapan kakak yang langsung terwujud, bahwa kalau cinta pandangan pertama pastilah langsung menghampiri.

Perempuan itu hanya tersenyum yang terlihat terpaksa dan terus berdiri di belakang kami.

Kemudian kakak meminum suatu minuman yang kemasannya terbuat dari kaleng.

Perempuan itu berkata, "maaf, kalau kami tidak menjual minuman beralkohol untuk anak dibawah umur."

Aku keheranan, "minuman beralkohol? kami tidak meminum yang beralkohol." Hanya saja aku tidak tahu yang diminum kakak.

Dengan wajah yang masih tersenyum, dia menunjuk pada kaleng minuman yang baru saja kakak habiskan isinya.

"Itu, beralkohol...."

"Hah..!?" Aku langsung mengambil kaleng itu dari tangan kakak dan kulihat pada kemasannya, terdapat informasi mengenai kadar alkohol yang terkandung.

"Hanya setengah persen alkoholnya." Ucapku. Sementara kakak menyandarkan kepalanya di meja itu dan wajahnya tampak kemerahan.

"Iya, meski hanya setengah persen, tetap saja kami tidak menjual minuman alkohol untuk pembeli dibawah umur tujuh belas tahun dan dia, baru saja menghabiskannya." Kata kasir itu.

"Huehehehe..." Kakak mulai tertawa dengan sendirinya tanpa sebab. Wajahnya memerah disekitar hidung dan pipi.

Aku ternyata salah paham, bahwa kasir perempuan itu, melihat terus ke arahku sebab kakak. Dia mengambil minuman kaleng beralkohol itu tanpa membayarnya terlebih dahulu dan kalau saja kasir perempuan itu mengira kakak belum berusia tujuh belas tahun.

"Maafkan kakakku! Dia memang bodoh!" Aku menunduk malu kepada kasir itu.

"Ehh...?? Eh...? Tuan...?! Jangan begitu... aku malu!" Balas kasir itu.

"Memang kakakku sekarang seperti anak SMP yang baru bersekolah, tinggi badannya dan ukuran badannya memang seperti itu dari dulu. Tetapi sekarang usianya sudah dua puluh tiga tahun."

"Du-dua puluh tiga...?"

Kemudian aku pun mengambil dompet yang ada di kantong jaket kakak, mengeluarkan kartu tanda penduduknya itu dan memperlihatkan kepada kasir itu.

"Maafkan saya atas kekeliruan saya yang telah menyangka kalau dia masih dibawah umur, soalnya kalian terlihat mirip dan serasi." Jawabnya sambil mengembalikan kartu tersebut sembari menundukkan badannya sebagai tanda permintaan maaf yang besar.

Lalu tiba-tiba kakak bersandar kepadaku dan berkata, "ayo kita mandi bareng lagi... aku akan menggosok punggungmu." Katanya itu disampaikan dengan nada orang yang sedang teler.

Aku pun mendorong kakak agar bisa duduk dengan normal lagi, "Kakak, bangunlah..!! Malu dilihatin orang lain itu!"

"Neh.... neh... kamu masih ingat tidak kalau kamu paling suka mandi bareng denganku..." Kakak teruslah mengacau tidak karuan karena dia sedang dalam kondisi mabuk.

"Gawat!! Padahal hanya nol koma lima persen alkoholnya tapi bisa mabuk begini! Sungguh merepotkan sekali....!!" Kataku dalam hati.

Sementara kasir perempuan itu masihlah berdiri di tempat yang sama, namun dia lebih tersenyum kepadaku.

Selagi Kakak berbicara melantur dan tertawa dengan sendirinya sebab dia tidak sadarkan diri, aku menuju kasir untuk membayar minuman yang kakak minum, tetapi belum dibayar.

"Selamat bersenang-senang." Ucap kasir itu kepadaku dengan wajahnya yang tersenyum sangat.

"Jangan salah paham!!!"

Aku pun meninggalkan kasir itu ditempanya, selagi dia tertawa aku pun kebingungan untuk mencari cara untuk membawa kakak kembali ke kamar kosan itu.

Kakak melantur, "Neh... tolong dong elus kepalaku."

Tetapi aku mengabaikannya, namun itu suatu kesalahan yang besar bagiku, sebab ketika aku mengabaikannya, pastilah kakak terus merajuk, ngedumel dan terus meminta hal itu sampai dia mendapatkannya, sudah seperti anak kecil yang tidak dimanja.

"Heeei!! cepatlah usapkan tanganmu di kepalaku!!" Suara kakak semakin kencang dan sembari merengek-rengek.

Aku menoleh ke kasir perempuan itu yang dia yang langsung membuang pandangannya tetapi menahan ketawa. Hanya saja tubuhnya terlihat bergetar sebab dia sebenarnya sudah tertawa.

Aku pun menghela nafas panjang dan akhirnya menurutinya. Ku elus kepalanya dengan perlahan, dari depan hingga ke belakang, rambutnya yang cukup panjang itu juga ku rapihkan ke belakang semua. Dia, kakak, hanya tersenyum-senyum dengan sedikit suara senandung.

Setelah menghabiskan donat terakhir dan kakak pun juga sudah semakin lebih tenang, sudah seperti anak kecil yang tenang jika keinginannya terpenuhi, aku pun membujuk kakak untuk pulang.

Jawab kakak, "tidak.... aku lebih suka disini."

"Jangan kak! Kita harus pulang, ini sudah malam."

"Pokoknya tidak... tidak... tidak...!! Aku mau tidur disini saja! Dingin! Di kosan panas! Tidurnya hanya pakai kipas angin!!" Kembali kakak merengek.

Sungguh beruntung aku hari ini, karena di minimarket market yang tutup sampai jam sepuluh tersebut, sedang kosong tidak ada pengunjung selain kami berdua dan hanya ada dua pegawai yang berjaga, yang satu kasir perempuan tersebut dan satunya lagi seorang perempuan juga tetapi dia bertugas untuk barang-barang.

Meski tidak terlalu besar, minimarket ini cukup menyediakan berbagai macam kebutuhan.

"Kak, ayo! Sudah hampir tutup tempat ini...! Tuh liat, sudah mau jam sepuluh." Memang sekarang sudah pukul sembilan lewat.

Setelah membujuknya cukup lama, akhirnya pun kakak berhasil aku bujuk tetapi dengan syarat aku membelikannya lagi sekaleng minuman yang tadi, barulah dia mau beranjak dari kursinya dan berjalan keluar minimarket.

Aku memegang kedua bahu kakak dan memastikannya berjalan lurus, karena kakak masih sempoyongan bahkan dia kadang terjatuh karena kakinya tidak kuat menopang.

Baru keluar dan berjalan beberapa meter, kakak kembali terjatuh dan aku sadar bahwa cara ini tidak bisa, akan sangat memakan waktu lama untuk sampai ke kosan apalagi kalau kakak terjatuh maka akan melukai tubuhnya itu.

Aku menemukan sebuah ide lainnya. Aku berdiri di depannya lalu ku turunkan badanku dengan menekuk kedua lutut hingga membentuk posisi jongkok.

Kataku, "naiklah kak! Aku akan menggendong kakak."

Ketika kakak melihat itu, langsung saja kakak bersandar pada badan belakang ku dengan kasar. Dia tertawa dan melilitkan tangannya diantara leher dan bahuku dengan sangat erat. Aku pun langsung memegang kedua bagian paha belakangnya dan mengangkat kakak. Entah mengapa ketika aku menggendong kakak, dia langsung tenang.

Aku pun berjalan pelan-pelan agar kakak tidak terjatuh.

Kakak berkata, "neh... kamu itu laki-laki yang baik yah."

"Apa maksudnya?" Tanyaku. "Tentu aku harus melakukan yang terbaik untuk kamu, karena kamu itu kakakku."

"Bukan itu, aku tidak melihatmu sebagai seorang adik, tetapi melihatmu sebagai seorang laki-laki."

Aku terdiam.

Lanjutnya, "kamu tahu? bahwa aku telah ditipu? Laki-laki yang aku kenal, menipu aku. Dia bilang bahwa dia akan selamanya ada untuk aku, tetapi dia berbohong! Selama ini dia berbohong!"

"Berbohong?"

"Iya!!! Dia sudah membohongi aku! Aku benci akan hal itu! Dia bilang kalau akan ada untuk aku selamanya tapi aku dikasih tahu oleh temanku.... si brengsek itu berjalan dengan wanita lainnya."

"Ahh!!! Kesal..! Kesal ..! Kesaaaalll...!!!!" Tiba-tiba kakak berontak dan kami hampir terjatuh.

"Kak tenanglah..! Nanti kita bisa jatuh..!" Ucapan aku berhasil menenangkannya kembali.

"Aku ini terlalu bodoh dan terlalu percaya dengan omongannya itu! Ahhh pokoknya aku sangat benci dengannya!!"

Aku pun terus berjalan pelan-pelan agar kakak tidak terjatuh, selagi itu dia terus mengoceh mengenai laki-laki yang dia kenal. Sekarang aku mengerti alasan kakak sebelumnya menangis hingga menghancurkan ponselnya itu dengan palu, bahwasanya kakak habis diselingkuhi.

Aku tidak begitu mengerti mengenai dunia percintaan seperti itu, aku hanya sekedar tahu saja. Aku tidak begitu tahu perasaan kakak sekarang, yang terus meluapkan kekesalannya kepada orang itu, yang seakan aku yang mendengarnya, jadi ikutan tidak menyukai orang itu, yang jika dia ada di depanku sekarang, pastilah aku akan memukulnya dengan keras.

Setelah sampai, aku terus menggendong kakak sampai di kamar dan aku langsung membaringkan di atas tempat tidur. Setelah itu aku membantunya membuka jaketnya dan menggantungnya pada belakang pintu kamar.

Kataku, "aku mau menutup pintu depan dulu." Ya sebab ketika aku membuka pintu, aku langsung masuk tanpa menutupnya kembali, agar aku bisa membawa kakak ke kamarnya.

"Kakak .. aku tidak pernah tahu permasalahannya. Selama ini dia selalu menutupi persoalan pribadinya. Padahal dia selalu ada untukku ketika aku ada masalah, namun aku tidak ada ketika dia ada masalah." Setelah aku menutup pintu, aku pun kembali ke kamar untuk menemani kakak.

Kakak menatap langit-langit kamar dan berkata, "aku bingung harus bagaimana.... Kamu sudah besar, rasanya kamu bisa berbagi denganku."

"Kalau kakak ada masalah, ceritakan padaku. Aku akan ada untuk kakak."

"Abaikan dulu masalah percintaan aku dengan laki-laki itu, karena itu masalah pribadiku dengannya."

"Sejujurnya aku tidak ingin pindah ke kota, karena kamu tahu sendiri bahwa biaya hidup di kota itu jauh lebih mahal dibandingkan di desa. Tetapi, jikalau kita tinggal di desa, kita tidak tahu mau tinggal dimana."

Aku memegang tangan kakak, "tapi kak, kan bisa tinggal di rumah nenek."

"Tidak bisa. Rumah itu bukan sepenuhnya punya nenek, jadi ketika nenek sudah tidak ada, rumahnya pun akan diambil kembali oleh pemiliknya."

"Karena itu mau tidak mau kita harus ke kota dan tinggal di bangunan ini." Kakak tersenyum, lalu menutup kedua matanya dengan lengan kanannya, sedangkan aku memegang lengan tangan kirinya.

"Nehh... aku mau berbagi rahasia denganmu." Kata kakak yang dirinya sudah kembali sadar. Memang sejak aku membuka jaketnya dan membiarkan dia tiduran di tempat tidur dan ketika aku menutup pintu depan, aku tidaklah langsung kembali ke kamar, melainkan aku merapihkan ruang keluarga dahulu dan mencuci wajahku dulu, kemudian barulah aku kembali ke kamar untuk menemaninya.

"Rahasia apa kak?"

Dia menatapku, kedua pipinya memerah dan berkata, "aku memutuskan untuk berhenti kuliah."

"Mungkin aku baru bisa memberitahunya sekarang, karena kamu sudah cukup besar bagiku. Kamu pun sudah kuat menggendong aku."

"Tu-tunggu...!? Berhenti???" Sontak aku berdiri yang membuatnya terbangun dan duduk di pinggir tempat tidur.

"Kenapa kakak mau berhenti..? Bukannya sebentar lagi juga kakak akan lulus? Bukankah kakak berkeinginan menjadi pengacara makanya kakak memilih universitas tersebut dengan berbagai cara??!!"

Kakak hanya bisa memperlihatkan senyumnya tersebut. Dia berkata, "duduklah di sebelahku dan sandarkan kepalamu dipundak aku, sehingga aku bisa mengelus kepalamu."

Aku pun menuruti perkataan kakak dan bersandar di bahunya, dia pun mengelus kepalaku.

Dia berkata, "tidak, aku sudah memikirkan matang-matang keputusan kakak itu. Ada hal yang belum kamu mengerti sekarang."

"Ada satu hal lain yang belum kamu ketahui, alasan nenek memberikan kepada kita bangunan ini, padahal nenek tidak pernah bercerita ataupun menyinggung perihal bangunan ini."

"Ketika pertama kalinya kita ke sini dan melihat kondisi bangunan ini yang terbengkalai, aku sempat bertanya kepada ibu Kaslana, wanita yang menjadi pengacara nenek semasa dulu, yang membacakan surat wasiat nenek yang berisi warisan-warisan untuk kita."

Lanjutnya, "ketika aku, aku berbicara empat mata dengannya mengenai asal dari bangunan ini. Tetapi jawabannya begitu sangat mengejutkan dan itulah yang membuat diriku mengambil keputusan untuk pindah ke sini."

Aku menyela, "bukannya tadi kakak bilang kalau kakak tidak mau tinggal di kota?"

"Yah memang sebenarnya tidak mau dan uang yang diwariskan pada kita, cukup untuk membeli rumah baru di desa, tapi dengan syarat aku tidak kuliah dan hanya bisa menyekolahkan kamu."

"Tapi, ibu Kaslana menyampaikan hal yang selama ini ditutupi oleh nenek, bahwasanya bangunan ini adalah peninggalan ayah dan ibu."

"Ayah..!? Ibu..!? Maksudnya apa kak? Aku tidak paham!"

"Tidak banyak dan tidak detail yang diceritakan wanita itu, namun dia bercerita jika nenek berhasil mengambil alih segala sertifikat tanah dan bangunan ini dari ayah dan ibu dari jalur hukum. Katanya pula, semua itu terjadi sebelum aku dilahirkan dan nenek masih muda.

Memang bangunan ini, kos-kosan ini dulunya kepunyaan ayah dan ibu tetapi menjadi terbengkalai dan tidak terurus, oleh karena itu nenek mengambilnya dari tangan mereka meskipun mereka tidak mau memberikannya. Aku sendiri tidak tahu cara apa yang nenek gunakan, tetapi yang jelas, nenek telah memberikannya sepenuhnya kepadaku.

Tidak hanya itu, pada surat wasiatnya, nenek meminta kepadaku untuk menjalankan kembali usaha kos-kosan karena dia berpikir kalau akan ada sejumlah orang yang akan terbantu di kota ini, yang sulit mencari tempat tinggal."

"Jadi... semua ini punya ayah dan ibu? Lantas dimana mereka? Mengapa mereka tidak pernah menghubungi kita? Apa mereka masih hidup? Kalau kakak tahu, beritahukanlah!"

"Tidak.. Aku tidak tahu dimana mereka. Apakah mereka masih hidup atau tidak, aku tidak tahu. Semua permasalahan itu, bukan nenek yang menyampaikannya melainkan pengacara itu yang sudah menjadi pengacara nenek sebelum aku dilahirkan."

Setelah malam itu berlalu, beberapa hari kemudian, aku membantu kakak untuk membersihkan setiap kamar yang ada. Aku bertugas untuk menyapu dan kakak kebagian tugas untuk mengepel, di setiap kamar tidak terkecuali, baik di lantai satu maupun lantai dua.

Butuh waktu seharian penuh, dari pagi sampai menjelang malam untuk membersihkan tujuh kamar sisanya, tetapi yang merepotkan yah memang membersihkan di lantai dua, karena terdapat lima kamar.

Kataku, "Kak, bukankah kalau kos-kosan itu, pemiliknya sudah menyiapkan banyak barang dan perabotan di dalam kamarnya? Bukan kosong begini?"

"Ya memang, kamu benar! Tapi sayangnya, barang-barangnya sudah usang dan sudah dibuang pula, jadi kita harus membelinya kembali. Mungkin juga aku harus menghubungi ibu Kaslana kembali untuk membantu kita."

Selama aku hari-hari bersekolah, kakak mengurus banyak hal, seperti keluarnya dirinya dari universitas tersebut dengan alasan pribadi yang aku sendiri tidak tahu akan hal itu. Lalu kakak juga menelpon ibu Kaslana mengenai rencananya untuk menghidupkan kembali usaha kos-kosan yang pernah dijalankan tersebut.

Jawab ibu Kaslana, "baik, tenang saja, saya akan mengaturnya untukmu."

Dua hari setelah kakak menghubungi ibu Kaslana dengan ponselku, dia pun datang bersama dengan beberapa teknisi, namun saat itu aku yang harus ke sekolah, tidak bisa menemani kakak.

Seminggu lamanya, akhirnya dengan bantuan ibu Kaslana, setiap kamar di kos-kosan itu, sudah terisi dengan banyak barang dan perabotan yang siap pakai. Bahkan setiap kamar diberikan pula pendingin ruangan, termasuk kamar yang aku dan kakak pakai menetap.

Karena aku heran, aku berani bertanya kepada ibu Kaslana, mengapa dirinya mau membantu kami sampai seperti ini, yah antara berani sama bodoh tidak ada bedanya bagiku saat itu.

Tetapi jawabnya, "aku sudah berhutang budi kepada beliau. Jadi setelah beliau sudah tidak ada sedangkan cucunya masih hidup, selama aku masih hidup, aku akan membantu cucunya tersebut."

Walaupun dia seorang pengacara saja, namun dia banyak memiliki koneksi kepada banyak pihak, karena itu dia bisa dengan mudahnya membantu kami.

Setelah semua itu, aku melihat-lihat setiap kamar dan rasanya sudah sangat nyaman dan siap untuk dijadikan tempat tinggal.

Malam harinya setelah semua pekerjaan selesai, kakak sedang menyiapkan makan malam sementara aku sedang mengerjakan tugas sekolah.

Kakak berkata, "menurutmu, lebih baik jika tempat ini dijadikan kos-kosan campuran atau kos-kosan khusus wanita?"

Jawabku, "Kos-kosan campuran tidak masalah kak. lagipula, kamar nomor dua dan tiga ukurannya kan besar, cukuplah untuk sebuah keluarga."

"Hhmm..." Kemudian kakak mematikan kompor dan memindahkan masakan itu kesebuah wadah. Lalu dia membawa wadah yang penuh itu ke ruang keluarga, sebab tidak ada ruang makan di tempat ini.

Katanya, "tapi kalau kos-kosan campuran, aku rasanya takut jika ada laki-laki lain di tempat ini."

"Kalau gitu ya sudah, jadikan saja kos-kosan khusus wanita." Balas aku sambil mengambil nasi.

Tidak ada perdebatan saat itu, kami pun makan bersama setelahnya. Besok paginya, kakak membuat pengumuman dari kertas-kertas yang dia tulis dengan tangannya sendiri, sebab kami belum membeli komputer maupun mesin cetaknya, karena itu masih dilakukan secara manual. Kakak mempromosikannya dengan berkeliling kota-kota dengan menempelkan kertas-kertas tersebut pada tempat-tempat yang ramai dilalui orang-orang dan juga pada halte bus maupun hingga dekat stasiun kereta. Selain itu juga, aku membantu kakak dengan menyebarkannya pada sosial media milikku, aku melakukan itu secara diam-diam untuk membantu kakak. Dia sudah mengubah haluan kemudi dan mengubah jalur perjalanan, kakak sudah memutuskan untuk hidupnya dan hidupku, dia sendiri sudah membuang impiannya demi menjalankan usaha kos-kosan ini.

Aku tahu bahwa uang warisan nenek, masih ada dan cukup untuk kakak lulus dan bekerja serta juga sampai aku lulus kuliah nanti, semua itu cukup. Tetapi ada alasan pribadi kakak yang tidak dia beritahu kepadaku, yang mengubah pandangannya sampai harus merelakan semua itu dan membiarkan aku yang terus bersekolah. Meskipun aku menentangnya dan memaksanya untuk terus melanjutkan sekolahnya, namun aku tidak bisa sebab itu pilihan kakak yang sudah dipikirkan oleh kakak tiga bulan lamanya.

Setahun pertama sudah berlalu, hingga aku kelas delapan, belum ada juga yang terpikat untuk tinggal di sini. Karena itu, banyak barang yang harus kami lihat kondisinya setiap tiga bulan sekali, untuk memastikan kondisi barang tersebut.

Diulang tahun kakak yang kedua puluh empat, tahun ini, kami merayakannya hanya berlima saja. Yang datang pada pesta ulang tahunnya hanya ada aku dan tiga perempuan yang merupakan teman kuliah kakak dulu, yang juga ikut merayakannya.

Selesai makan bersama, aku pun membiarkan kakak bersenang-senang dengan ketiga temannya itu untuk pergi ke suatu tempat yang tidak aku ketahui, aku tidak ikut dengan mereka, meskipun kakak mengajak aku.

Kataku kepada kakak, "aku tidak ikut."

"Kenapa?"

"Bukankah ini waktu kakak menghabiskan waktu dengan teman-teman kakak? Kapan lagi kakak bisa bertemu dengan mereka selain hari ini?"

"Kalau aku ikut denganmu, pastilah aku akan merepotkan dirimu, kak. Pastilah kau tidak bisa menikmati hari-harimu bersama mereka yang hanya datang satu kali saja,. sedangkan di hari-hari berikutnya, kita bisa pergi berdua, kemana saja."

"Mereka datang untuk merayakannya bersamamu bukan dengan aku."

"Oke! Tapi janji yah, lain kali kita jalan lagi...!!" Kakak tersenyum dan mendekatkan dirinya ke tubuhku.

"Iya.. iya, tunggu aku libur sekolah."

Setelah itu barulah dia pergi dengan ketiga temannya itu dengan wajah yang cerah dan bahagia.

Setelah beberapa minggu kemudian, ketika aku sedang di sekolah, ada seorang perempuan yang mau menyewa kamar di lantai dua, dengan memilih kamar momor delapan atau yang paling ujung yang jauh dari tangga.

Tetapi kehadirannya itu malah menimbulkan permasalahan baru yang membuatnya menunda dirinya untuk tinggal disitu sebelum permasalahan itu diselesaikan.

"Aku pulang!" Sahutku ketika baru saja membuka pintu depan.

"Selamat datang!" Kakak berlari ke arahku dan melompat. Dia berkata, "ada masalah besar!!"

Kakak menjelaskan bahwa perempuan itu datang dan sempat melihat-lihat seisi kamar dan dia tertarik dengan kamar nomor delapan karena berada di paling ujung sehingga tidak akan ada orang lain yang akan lalu-lalang di depan pintu kamarnya itu.

Dia berkata kalau dia terkesan karena banyak hal yang sudah disediakan dan tinggal digunakan, bahkan juga kos-kosan ini memakai pendingin ruangan namun harga sewanya perbulan masih bisa dibilang terjangkau untuk orang yang tinggal di kota besar ini.

Namun ada satu permasalahannya, yakni bangunan ini belum ada internet yang memadai.

Kakak terus mendekat dan terus, dia berkata, "benarkan! Ini masalah serius!! Dia baru akan menyewa kamar itu jika ada internetnya!"

"Kalau tidak, pastinya dia akan mendapatkan tempat yang lain yang lebih lengkap fasilitasnya!"

Aku memegang bahu kakak dan sedikit menjauhkannya, "kau terlalu dekat, kak!"

"Tapi itu juga masalah yang lumayan rumit. Kalau kita pasang internet disini pastilah biayanya akan naik juga."

"Yah tapi, asing juga jika di kota yang besar ini ada tempat yang masih tidak terjangkau oleh Internet, pastilah pula tidak ada orang yang mau tinggal disini."

"Sama halnya dengan sekolahku yang belum lama ini, mengizinkan para muridnya untuk belajar sistem pembelajaran daring, yah aku pun juga akan membutuhkan internet dan juga perangkat komputer."

"Jadi menurutmu, kalau kita pasang internet disini, orang-orang akan banyak yang datang? Tapi kalau begitupun, aku harus mengubah ketetapanku mengenai biaya sewanya."

"Yah mau tidak mau harus begitu, jika tidak, kita bisa kalah bersaing dengan kompetitor yang lainnya." Jawabku.

Dengan demikian, kami pun akhirnya memasang internet di kos-kosan itu sehingga setiap kamar baik dari lantai satu dan dua bahkan kamar yang paling ujung pun dapat memakai internet dengan lancar.

Tidak hanya itu, kakak pun juga membeli ponsel yang baru. Dengan adanya internet, aku dan kakak dapat mengurangi pemakaian uang berlebih untuk membeli paket data internet pribadi, yang ternyata dengan memasang internet itu, seluruh biaya pengeluaran, jauh lebih hemat.

Seperti yang dikatakan perempuan yang sebelumnya bahwa minggu depan dia akan kembali dan benar saja dia datang kembali dan langsung sepakat dengan kakak untuk menyewa kamar nomor delapan tersebut. Dia juga pun membawa barang-barang sendiri.

Tidak berselang perempuan itu, ada juga yang lainnya yang menyewa kamar nomor empat, enam dan tujuh. Ketiga perempuan itu datang tidak dalam waktu yang bersamaan, melainkan ada rentan waktu berbulan-bulan.

Hingga ada seorang wanita dewasa yang menyewa kamar nomor dua, kamar yang ada disebelah kanan kamar kami. Saat kedatangannya, aku ada disitu dan aku membantunya memindahkan barang-barangnya itu.

Tidak hanya membantu memindahkan barang yang dia bawa daro mobil, juga aku dimintanya untuk membongkar barangnya dan merapihkan barang tersebut di dalam kamar itu.

Tetapi hanya boks kardus yang bertuliskan barang pribadi, yang tidak diizinkan untuk aku membukanya, melainkan hanya aku menaruhnya di kamar tidurnya itu.

Disaat aku kelas sembilan akhir, datang pula seorang kembar, mereka terlihat seumuran denganku tetapi bisa juga seumuran dengan kakak. Mereka menyewa kamar nomor tiga, kamar paling ujung di lantai satu. Aku tidak mengenal mereka tetapi sering kali ketika aku pulang sekolah, aku melihat mereka sedang membantu kakak memasak maupun mereka juga datang untuk berbicara dengan kakak, sayangnya mereka rasanya mengabaikan aku. Tapi yang aku tahu, nama mereka Vanny dan Fanny, tidak tahu juga aku mengenai mereka selain namanya.

Ketika kelas sembilan itu, tinggi badanku juga sudah melebihi kakak hampir sepuluh sentimeter. Sejak saat itulah, kalau kakak mau mengelus kepalaku, dia pastilah memakai pijakan atau meminta aku untuk berlutut maupun menundukkan badanku sedikit.

Dan setelah semua itu, ketika aku lulus dari SMP seorang perempuan terakhir, yang lebih merepotkan dari penghuni pertama yang menyewa kamar nomor delapan pun mengisi kamar nomor lima.

Pada hari pertamanya dia menyewa kamar, besoknya dirinya langsung komplain pada kakak mengenai dinding kamar yang terkesan tipis, karena dirinya terbangun dan tidak bisa tidur kembali karena suara yang ditimbulkan oleh penghuni nomor empat dan enam, begitulah menurut perempuan itu.

Tetapi awalnya kaka tidak membicarakan masalah itu padaku jadinya dia hanya datang untuk menegur penghuni kamar nomor empat dan enam untuk tidak berisik tiap malam.

"Maaf, tiap malam aku tidur menyalakan TV atau semacamnya sehingga menimbulkan kebisingan." Begitulah ujar penghuni kamar nomor enam.

"Bising? Justru aku tidak mendengar suara apapun setiap malam. Malah aku bilang kalau tempat ini terasa sunyi." Begitulah ujar penghuni kamar nomor empat.

Kembali besok harinya, penghuni kamar momor lima itu kembali mengadu kepada kakak, sebab semalam dia terbangun karena suara dentuman dari dinding kamarnya seperti ada barang yang dilemparkan ke dindingnya itu yang membuatnya terbangun jam tiga subuh.

Kembali kakak menegur kedua dari mereka pada hari berikutnya yang juga mereka berdalih dan tidak mengakui, bahkan mereka pun juga berkata kalau mereka tertidur sedangkan penghuni kamar nomor empat, semalaman tidak pulang.

Kakak bertanya kepada perempuan itu, "suara apa yang kamu dengar dimalam pertama?"

"Suara yang berjalan dan juga berbicara, seperti ada dua orang yang sedang berbincang. Mereka berbicara juga sangat lama, seperti suara perempuan dengan laki-laki."

"Yah dari mana lagi, jika bukan salah satu dari mereka." Kata penghuni kamar nomor lima.

Sejak saat itu, barulah kakak meminta tolong aku untuk memeriksa lantai dua.

Kata kakak, "katanya ada laki-laki yang menyelinap ke tempat ini! Nanti malam kamu harus menemukan sumber suara itu!"

Malam itu, aku mengikuti perintah kakak. Sekitar jam satu hingga jam dua malam, aku keluar dan naik ke lantai dua dan memastikan bahwa tidak ada laki-laki lain selain aku.

Hampir seminggu aku melakukan hal itu dan aku pastikan tidak ada orang lain yang menyelinap, bahkan penghuni kamar nomor lima pun juga tidak komplain lagi mengenai masalah tersebut.

Kataku, "mungkin sebaiknya kita pasang kamera pengawas."

Kemudian sebelum disepakati untuk memasang kamera pengawas, aku dan kakak meminta pendapat dari semua penghuni kamar agar tidak ada yang keberatan ketika kami memasang beberapa kamera pengawas tersebut. Mereka pun menyetujuinya bahkan dari mereka juga ada yang membantu kami dengan mengeluarkan sejumlah uang yang dapat kami gunakan untuk membeli peralatannya, mereka itu ialah si kembar saja.

Ada empat titik yang kami letakkan kamera pengawas tersebut. Satu titik mengarah pada pintu gerbang depan, yang berbatasan langsung dengan jalan. Meskipun sudah ada tembok yang tinggi, namun tetap saja perlu diawasi.

Titik kedua berada di tangga, yang menyorot dari tangga bawah yang mengarah ke tangga atas, sehingga kami bisa tahu siapa saja yang naik ke lantai dua ataupun turun dari lantai dua, karena hanya tangga itu akses satu-satunya.

Titik ketiga berada dibagian langit-langit depan dari kamar nomor tiga, letaknya disudut dan bisa melihat dari seluruh bagian depan kamar nomor satu sampai tiga juga sebagian menyorot pada gerbang depan namun tidak menyeluruh.

Titik terakhir, berada di lantai dua, dibagian langit-langit depan dari kamar nomor delapan, letaknya disudut dan bisa melihat dari seluruh bagian depan kamar nomor empat sampai delapan dan juga dari arah tangga.

Yang pasti kami hanya menaruh kamera pengawas diluar ruangan, tidak ada kamera di dalan kamar penghuni. Demikian pula aku memeriksa bagian belakang bangunan yang seluruhnya dikelilingi oleh tembok tinggi, namun hanya bagian belakang saja yang pasang kawat berdiri sebab dibalik tembok tinggi itu, terdapat sebuah lahan berpasir dan kosong, itu tanah seseorang yang bangunannya sudah dirubuhkan sehingga hanya hamparan tanah dan pasir yang dijadikan tempat parkir beberapa warga.

Dengan demikian, keinginan kakak terwujud untuk membuka kos-kosan ini dan kamar yang aku tinggal, aku sebut rumah. Bukan karena bentuk dan bangunannya, melainkan karena ada kakak disitu. Rumah bagiku adalah tempat aku bersama dengan orang yang aku sayangi, dimana pun tempatnya selama ada orang yang aku sayangi, itulah rumah bagiku.

Dengan demikian, meski sudah lama mereka tinggal disitu, para perempuan itu tidak ada yang berbicara dengan aku, karena aku tidak tahu apa yang harus aku bicarakan dengan mereka. Hanya kakak saja yang sudah membaur dengan dekat dengan seluruh penghuni kos-kosan tersebut bahkan dari mereka kerap datang ke kamar untuk bermain dengan kakak.

Hanya saja, ketika aku kelas satu, si kembar, Fanny dan Vanny tidak terlihat lagi, tetapi barang mereka masih ada disana dan setiap bulannya mereka mentransfer sejumlah uang bulanan untuk kakak. Karena hal itu, kakak tidak mengosongkan kamar tersebut dan juga kakak membersihkannya. Bukan karena mereka membayar, melainkan karena mereka merupakan bagian dair penghuni kos-kosan ini.

"Menurutmu, nama yang bagus buat kos-kosan ini apa?' Tanya kakak padaku.

"Entahlah, memangnya itu pentingkah?"

"Kos-kosan juga sebutan yang bagus dan enak didengar." Jawabku.

"Ish... mana enak didengar sih! Aneh-aneh saja!"

Aku menghela nafas, "kalau Kos-kosan khusus wanita. Itu saja, mudahkan?"

"Tidak menarik!"

Aku melihat suatu iklan produk di TV, "kalau Venesia Kos?"

Kakak menolah, "hah...!? Venesia? Siapa itu?"

"Darimana kamu dapat nama itu?"

Kataku, "tadi ada iklan pengharum ruangan, terus artisnya bernama Venesia."

"Apaan coba!? Jangan pakai nama orang lain." Kakak yang sedang merapihkan isi kulkas itu langsung mencuci tangannya lalu datang menghampiri aku.

"Ada ide lain?"

"Tidak ada."

Hingga esok paginya, kakak membangunkan aku dengan wajahnya yang sumringah.

Dia langsung menunjukkan sebuah papan triplek yang sudah dia tulis dengan tulisan tangannya yang bagus itu.

Bertuliskan: Ka-ku-no-ku

"Artinya apa?" Tanyaku yang tampak kebingungan dengan yang ditulis olehnya.

Kakak tersenyum dan menjawab, "Kos-kosan keluarga!"

Yah sejak saat itu, papan triplek tersebut ditempelkannya pada dinding luar dari bangunan tersebut, dengan demikian sampai sekarang, Kakunoku, merupakan nama dari kos-kosan ini, sampai aku naik ke kelas dua pun, namanya tidak berubah, penghuninya pun tidak berubah dan juga tidak berubah pula kalau aku tidak pernah berbicara dengan mereka meskipun hanya basa-basi.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan nanti, meski aku dan kakak itu keluarga, namun pada akhirnya kelak kami akan berpisah dan menentukan hidup kami masing-masing. Tidak mungkin juga ketika aku berkeluarga, kakak akan tinggal denganku begitupun juga kakak jika sudah berkeluarga, pastilah aku tidak ikut dengan keluarganya tersebut.

Maka dari itu, selama aku bisa bersama dengan kakak maka aku usahakan untuk bersamanya, karena hanya dia satu-satunya keluarga yang aku punya. Meskipun setiap hari kami berantem hanya karena masalah sepele, tapi setiap hari juga kami saling berbagi rasa sayang kami.

Hanya saja aku yang sudah besar dengan mengerti mengenai kedewasaan itu, aku sedikit menjaga jarak dengan kakak. Jadi selama ini aku selalu tidur dengannya di kamar, semenjak aku duduk di bangku SMA, aku pun tidur di dengan kasur lipat di ruang keluarga dan membiarkan kakak tidur sendiri.

Begitupun juga kalau kakak tidak memakai pakaian yang benar dan tampak senonoh itu, aku pun juga mulai menutup mataku agar tidak melihat tubuhnya. Sebab aku telah berjalan pada diriku sendiri bahwa aku akan melindungi kakak dan tidak mau merusak masa depannya, seperti laki-laki yang telah menyakiti kakak beberapa tahun lalu.

Aku juga telah berjanji pada diriku sendiri dan kepada kakak untuk menjadi seorang adik yang bisa membuat kakak bahagia karena aku. Ya, karena aku sayang dan cinta kepada kakak.

Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain jika aku tidak mencintai keluargaku sendiri, terutama kakakku sendiri. Ya, kan?