webnovel

Neng Zahra

Siang harinya seperti biasa kami akan makan siang di ndalem dan kemudian Neng Zahra minta berkata.

"Kang aku minta tolong panggilkan Mas Barok." Hanif melihat Neng Zahra dengan tanpa berkedip sambil membatin 'Subhanalloh ... suara Neng Zahra merdu banget ...!'

Lalu Kang Hafizh berdiri dengan berucap "Iya Neng ..." dan kemudian langsung beranjak pergi, sedang Neng Zahra kembali masuk ke ndalem.

Tidak lama setelah itu Kang Hafizh datang lagi bersama seorang pria, dan pria itu tiba-tiba langsung masuk ke ndalem, Hanif yang melihat itu pun merasa heran.

"Hei kamu kenapa kok masuk? Mau kau apakan Neng Zahra?" seru Hanif nampak tidak suka, lalu melihat sikap Hanif seperti itu Kang Hafizh pun langsung mencolek tangan Hanif namun rupanya Hanif tidak tanggap, dan kemudian merasa ada yang menegur Mas Barok berhenti dan kemudian langsung menoleh sambil berkata.

"Yang sampean tegur itu aku?"

"Ya iyalah! Lha wong yang main nyelonong masuk situ kok!" ucap Hanif sambil melipat lengan bajunya.

"Gini-gini aku mantan preman, apa mau kamu?! Mau nantangin?!"

Rupanya lelaki itu tidak merespon perkataan Hanif dan kembali meneruskan langkahnya, melihat orang itu tidak memperdulikan ucapannya Hanif pun nampak jengkel dan kemudian menyusul langkah pria itu dan langsung memegang pundaknya, sudah hampir Hanif melepaskan tonjokannya namun tiba-tiba terdengar suara Neng Zahra berteriak, "Berhenti ...! Mau kamu apakan Kakakku?!"

Betapa kagetnya Hanif begitu melihat Neng Zahra Damariva memelototinya dan kontan saja itu langsung membuat Hanif terdiam seperti orang bodoh, lalu kemudian Neng Zahra dan pria itu tadi langsung masuk meninggalkan Hanif dan Kang Hafizh berdiri di situ, dari dalam terdengar suara Neng Zahra kembali berkata dengan suara yang cukup keras "Keterlaluan!" Hanif nampak tertunduk.

"Udah ayo balik ke asrama, tadi kamu sudah aku colek lenganmu tapi kamu tetap saja," ujar Kang Hafizh, nampak betapa malunya Hanif dan dia juga terlihat marah dengan Kang Hafizh, lalu tanpa berkata-kata lagi Hanif pun langsung bergegas tak memperdulikan Kang Hafizh yang memanggilnya.

Hari terus berlalu dengan begitu cepat, Hanif nampak sedang membaca buku yang dipinjami Kang Hafizh, lalu Kang Hafizh datang kemudian berkata.

"Sampean sekarang jadi pendiam ya? Ya Alhamdulillah .. itu baik kok, tapi diamnya bukan karena marah kan? namanya orang itu gak ada yang sempurna, tapi jujur ya, orang pendiam itu susah untuk menjelaskan maksudnya, tapi ya bagaimana pun juga baiknya pendiam itu juga banyak, bahkan haditsnya pun juga ada kok, "Sesungguhnya iman itu diam kecuali berdzikir kepada Allah," nampak Hanif cuma diam mendengarkan Kang Hafizh berkata-kata.

"Kang Hanif, sampean gak marah kan?" tanya Kang Hafizh setelah merasa omongannya dari tadi gak direspon oleh Hanif.

"Marah Kang, marah banget, bahkan gak cuma marah saja," ucapan Hanif disahuti Kang Hafizh.

"Lha emangnya apa?"

"Malu ... malu banget aku sama Neng Zahra, tapi aku juga sih terlalu berlebih mengaguminya, jadinya ya begini ini," ujar Hanif nampak sudah melandai.

"Hehehe ... Neng Zahra Damariva memang sosok yang sangat istimewa Kang, bahkan terlalu istimewa untuk sekedar diimpikan."

"Gitu Kang ya ...? Aduh ... Hanif .. Hanif, sadarlah .. sadar! Minum saja enggak tapi kok mabok," ucap Hanif sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri.

"Lha iya itu tidur juga enggak tapi kok ngigo," sahut Kang Hafizh menimpali.

"Hahaha ... sialan kamu Kang, memang benar sih."

"Kamu itu tak lihat-lihat ada miripnya dengan Naila Adikku," ujar Kang Hafizh yang tiba-tiba menyebut nama Naila.

"Sama apanya Kang?" sahut tanya Hanif.

"Mudah marah tapi juga cepat cair, alias gak pernah lama ngambeknya hehehe ..." jawab Kang Hafizh.

"Adik Kang Hafizh itu sudah punya pacar belum sih?" tanya Hanif.

"Hahaha ... Naila punya pacar? Lha bocah model kaya gitu kok punya pacar," timpal Kang Hafizh terdengar menyepelekan adiknya itu.

"Lha memangnya kenapa? Dia kan cewek tulen? Udah gede juga?" balas Hanif.

"Tulen sih tulen, cuma dia memang belum nyampe dalam hal kaya gitu," terang Kang Hafizh.

"Berarti ya gak sama dengan aku, lha wong aku mantannya bejibun banget hehe ... saking banyaknya aku sampai lupa Kang," balas Hanif.

"Gitu ya? Lanang tenan berarti," sahut Kang Hafizh datar.

"Eh tapi ngomong-ngomong dia belum pengen punya pacar?" tanya Hanif cukup berani.

"Gak tau juga sih, cuma setahuku dia itu kayaknya gak pengen model pacar-pacaran gitu."

"Lalu?" sahut tanya Hanif.

"Ya dia itu pengennya kalau memang ada yang menginginkannya tinggal bilang saja dan nanti dia sendiri yang akan menentukan mau nerima atau enggak," ujar Kang Hafizh.

"Oh gitu ..." sahut Hanif sambil mengangguk.

"Iya, dan satu lagi, dia itu juga tidak ingin dikemudian kelak kalau sudah punya pendamping hidup dia tidak ingin cintanya dibagi alias dimadu," terang Kang Hafizh mempertegas prinsip adiknya.

"Lha kalau kamu sendiri gimana Kang Hanif?" tanya Kang Hafizh berlanjut.

"Aku? Hahaha ... ya seperti yang kubilang tadi, pacarku itu banyak Kang, selingkuhan juga bejibun, saking banyaknya kadang aku suka salah panggil nama, yang ku panggil Dina eh ternyata yang kubawa si Reni haha ..." kelakar Hanif mengenang kisah hidupnya kemaren.

"Terus sekarang sudah tobat ya Kang?" tanya Kang Hafizh.

"Kayaknya gitu," balas Hanif.

"Lho kok masih kayaknya? Bukannya sudah dimulai tobatnya?"

"Iya Kang dan kayaknya tobatku ini akan makin sempurna bila dikemudian hari Alloh mentakdirkan Neng Zahra Damariva menjadi jodohku .. pasti aku jamin tidak akan pernah berpaling lagi, apalagi selingkuh, kepikiran pun tidak akan," ujar Hanif.

"Ampun dah ampun ... itu lagi ngigonya, belum juga beranjak sudah kambuh lagi maboknya," sahut Kang Hafizh sambil geleng-geleng, tidak lama setelah mereka berdua pun harus menghentikan obrolannya itu karena tiba-tiba Hanif merasa perutnya mules dan kemudian dia pun langsung segera berlari ke WC.

Tak terasa Hanif sudah ada satu bulan mondok, dan karena sudah banyak kenalan akhir-akhir ini Hanif nampak sudah agak jauh dengan Kang Hafizh, mulai jarang ngobrol, Kang Hafizh nampak makin kuat jiwa religiusnya karena belakangan ini dia lebih banyak menghabiskan waktu luangnya untuk ibadah di dalam masjid.

Merasa teman dekatnya mulai berubah menjadi religius Hanif pun juga ingin mengikutinya, cuma sebagai santri yang terbilang masih baru dia nampak masih bingung religi yang seperti apa yang akan dia lakukan? Mau rajin baca Alquran dia belum begitu bisa alias masih gratul-gratul, mau wiridan juga gak tahu amalan apa yang mesti dia baca, tapi untung saja Hanif punya kelebihan dalam hal tarik suara akhirnya dia pun ingin menjadi muadzin pondok.

'Yah mungkin aku bisa makin religi lewat adzan, suaraku kan cukup bagus, gak kalah lah kalau dengan Kang Ridwan,' ujar Hanif bergumam dalam hati.