webnovel

Cahaya?

Hanif dan Naila, Bus Mila jurusan Yogyakarta yang mereka tumpangi terus melaju dengan kecepatan sedang, karena meskipun itu perjalanan dimalam hari akan tetapi karena memang momennya pas bersamaan dengan musim mudik jadi keadaan jalan memang terbilang cukup ramai lancar, perjalanan ke Solo yang semestinya bisa ditempuh satu malam namun rupanya gagal, karena tepat pukul tiga dini hari tiba-tiba Bus Mila jurusan Yogyakarta itu mengalami pecah ban disaat perjalanan sudah sampai di Madiun tepatnya di hutan Saradan.

Hanif yang masih duduk di kursi samping Pak sopir langsung menoleh ke arah belakang, tempat dimana dia meninggalkan Naila duduk, dan begitu melihat Hanif nampak sedikit kaget karena orang tua bertongkat yang semula duduk dengan Naila sudah tidak ada.

"Lho itu kok kursinya kosong? Kemana orang tua bertongkat itu?" ujar Hanif sambil berdiri, sesaat Hanif memperhatikan isi dalam bus dan ternyata memang sudah banyak kursi yang kosong.

"Hoh rupanya aku tadi tidur cukup nyenyak, sampai-sampai aku tidak sadar kalau sudah banyak penumpang yang turun, sebaiknya aku temani Naila lagi," lalu Hanif pun melangkah ke belakang menghampiri kursi yang diduduki oleh Naila.

"Naila, kamu tidak tidur?" sapa Hanif.

"Tidur, lha kamu sendiri bisa tidur gak duduk di depan?" tanya balik Naila.

"Bisa, bahkan malah-malah aku hampir terjatuh tadi itu, oh iya orang tua bertongkat yang semalam itu kemana?" lanjut tanya Hanif.

"Sudah turun tadi sewaktu di Mojokerto, eh ini kenapa kok tiba-tiba busnya berhenti?" tanya balik Naila.

"Lho kamu gak tahu to?" sahut Hanif.

"Enggak," jawab Naila sambil menggelengkan kepalanya.

"Pecah ban Nai, padahal tadi suaranya cukup keras lho di kursi depan."

"Lha emangnya yang pecah ban yang mana?" Naila balik tanya.

"Yang depan," sahut Hanif.

"Pantesan ... aku gak dengar, coba yang pecah ban belakang?" timpal Naila terlihat bercanda.

"Tambah gak denger, heh kita turun yuk?" ajak Hanif.

"Turun? Ngapain?" sahut tanya Naila.

"Yah lihat-lihat suasana di luar," jawab Hanif.

"Ayolah." Lalu mereka berdua pun langsung segera bergegas menuju ke pintu dan begitu hendak turun tiba-tiba Pak Sopir menegur.

"Mau kemana?"

"Eh ini Pak mau lihat-lihat diluar," jawab Hanif.

"Diluar sepi dan gelap," ujar Pak Sopir.

"Ah gak papa kok Pak, cuma cari angin," timpal Hanif.

Benar saja setelah mereka berdua turun suasana di luar sangat gelap.

"Pantesan gelap lha wong ini kita lagi di tengah hutan Saradan lho Nai," ujar Hanif.

"Iya, dan lagi langit nampak mendung, jangan-jangan bentar lagi hujan?" timpal Naila.

"Ya bisa jadi, ini jam berapa ya?" tanya Hanif, lalu nampak Naila melirik arlojinya dan karena suasana memang cukup gelap jadi jarum jamnya pun tidak nampak, lalu Naila pun mengambil hapenya dan kemudian melihat.

"Jam tiga pagi," jawab Naila.

"Sebenarnya kalau tidak berhenti kaya gini subuh semestinya sudah sampai di Solo," sahut Hanif.

"Waduh iya tadi kita kan niat jamak ta'khir, ayo kita sholat?" ajak Hanif.

"Di hutan kaya gini kita mau sholat di mana?" sahut tanya Naila.

"Ya terpaksa kita sholat dipinggiran jalan, tenang saja aku akan carikan tikar untuk alas, oh iya ya tapi terus wudunya gimana?" tanya Hanif sambil berkacak pinggang.

"Tenang saja nih masih ada air," ujar Naila sambil mengeluarkan satu botol air mineral. "Pake ini aja," lanjut ujar Naila.

"Apa? Becanda kamu, masak wudhu cuma pakai air satu botol, wudhunya kelar enggak," tiba-tiba Naila menyahut ucapan Hanif.

"Ya kelar to ... asal kita tahu tata caranya jangankan satu botol satu gelas aja bisa cukup kok."

"Ah serius kamu?" sahut tanya Hanif terlihat kaget.

"Ya iyalah serius, masak urusan ibadah aku buat candaan?" balas Naila, nampak untuk pemahaman ilmu fiqih sepertinya Naila sudah lumayan, tapi bisa dimaklumi karena Hanif memang masih terbilang baru di pondoknya, jadi wajar kalau dia terlihat kaget.

Akhirnya Naila pun langsung membuka tutup botol air mineral itu dan kemudian berkata.

"Nih perhatikan cara wudhu dengan air yang sedikit," lalu Naila pun mempraktekkan wudhunya itu dan nampak Hanif pun memperhatikannya dengan seksama.

'Hoh rupanya benar agama Islam itu mudah, aku jadi teringat dengan pengajian yang disampaikan oleh Abah Kiai beberapa hari yang lalu,' ujar hati Hanif, 'Naila-Naila ... kamu rupanya sudah cukup lumayan ilmu pengetahuan agamamu, ah ... jadi malu aku,' ujar Hanif nampak mengagumi adik dari Kang Hafizh sahabatnya itu.

"Ayoh gantian kamu yang wudu," ujar Naila.

"Airnya?" tanya Hanif.

"Lha ini masih banyak, separoh saja gak habis aku barusan," timpal Naila. Memang dalam wudhunya tadi Naila tidak menggunakan air itu dengan cara mengguyurkan tapi cuma diusap-usapkan.

"Bisa kan?" lanjut tanya Naila.

"Insyaallah bisa, bismillahirrahmanirrahim ..." lalu Hanif pun langsung mempraktekkan wudhu seperti yang dilakukan oleh Naila itu tadi. Sementara itu selagi Hanif berwudhu nampak Naila menggelar koran untuk mereka gunakan sebagai alas sholat dan setelah itu nampak membuka tas kecil yang dia selalu dia bawa, lalu ia mengeluarkan mukena yang berbahan kain yang tipis sehingga ringkas untuk dibawa.

"Udah, ayo," ajak Hanif sambil mengeringkan muka dan kedua tangannya dengan handuk kecil, Naila yang melihat itu langsung berujar.

"Idih .. gak sayang apa cahaya diakhirat kelak malah kamu hapus? Lagian mengeringkan air sisa wudhu kan makruh?" sergah tanya Naila.

"Cahaya?" sesaat nampak Hanif tertegun berfikir sambil mengernyitkan dahinya.

"Oh ... ini maksud kamu?" ujar Hanif sambil menunjukkan dua tangannya yang sudah kering itu. "Hehehe ... habis dingin sih Nai," sambung Hanif.

Selagi mereka berdua ribut hendak mau sholat, dari dalam bis rupanya Pak Sopir memperhatikannya. Dan disaat Hanif sudah hendak takbir tiba-tiba Pak Sopir itu berseru.

"Eh tunggu ...!"

"Iya Pak ada apa?" sahut tanya Naila.

"Aku ikutan sholat berjamaah ya?" ujar Pak Sopir.

"Oh iya silahkan, tapi kita mau sholat jamak ta'khir isya dan magrib," sahut Hanif.

"Iya wes, mau jamak ta'khir atau apa yang penting aku pingin ikut sholat," sambung Pak Sopir.