1 Dibalik masa remaja

"Jadi apa yang akan kita lakukan? Siwan sibuk dan kita hanya ber-lima jika ditambah dengan Ikhzan"

"Kau bertanya pada kami Ray?"

"Lalu siapa lagi jika bukan kalian, Wina?"

Jujur saja Ray itu adalah pria yang mudah bosan, apalagi sedari tadi dirinya dan ketiga gadis dihadapannya hanya diam di dalam sebuah pos bekas dekat rumah Ikhzan.

"Aku lebih memilih pulang dan menulis kembali novelku"

"Apa hidupmu hanya dipenuhi oleh menari dan menulis, Angie?"

"Bukan begitu, Kira. Aku hanya mengisi waktu dengan apa yang kubisa"

Mendengar perdebatan Kira dan Angie, Wina dan Ray hanya menggeleng-geleng menanggapi percakapan kekanakan mereka. Pria satu-satunya yang berada disana sedikit tersenyum melihat ekspresi aneh yang ditunjukan salah satu wanita dihadapannya ketika saling berdebat tadi.

"An"

"Hm?"

"Apa 'dia' masih menghubungimu?"

Senyum yang tadi Angie tunjukan seketika luntur ketika Ray membicarakan hal yang sama sekali tidak ingin gadis itu dengar bahkan kini Kira dan Wina saling menatap dengan ragu, salah jika pria itu mengatakan hal itu sekarang apalagi ketika melihat ekspresi Angie saat ini.

"Kumohon, jangan bahas 'dia' "

"Baiklah"

Mendengar ucapan dingin dan juga tatapan sinis yang Angie tunjukan padanya membuat Ray langsung bungkam seketika, gadis itu cukup menyeramkan. Angie sedikit tidak suka jika ada yang membahas 'dia' jika ada dirinya, merasa moodnya hancur ia menghela nafas panjang sebelum akhirnya berdiri mengundang pandangan heran dari Wina, Kira dan Ray.

"Kau mau kemana?" tanya Kira selidik.

"Pulang, aku harus menyelesaikan novelku"

"Tunggu-"

Langkah Angie terhenti ketika Ray menahannya membuatnya berbalik menatap pria itu kebingungan sementara pelaku pemanggilnya itu hanya tersenyum tipis melihat ekspresi Angie.

"Besok kita akan ke balai kota jam 8, jadi kau harus bangun"

Gadis itu hanya memutar bola matanya malas dan melambai sebari berjalan menjauh dari ketiga orang yang berada di pos itu, ia sedikit kesal pada Ray karena kejadian tadi.

.

"Kenapa aku harus dengan Ray?!"

Pekiknya terkejut ketika ia baru dikabari setelah ia sampai di tempat mereka berkumpul, disana Siwan dan Ikhzan yang notabenenya perancang rencana ini lagi-lagi hanya dapat menghela nafas melihat respon Angie. Mereka tau tentang cerita Ray yang membahas tentang 'dia' di depan Angie otomatis mood gadis itu anjlok seketika.

"Tidak ada cara lain, Kendaraan motor kita tidak cukup kau harus dengan Ray"

"Baiklah, baik"

Terlihat dari ekspresi kesalnya Ray bisa menebak bahwa Angie masih benar-benar marah padanya, gadis itu berjalan menghentakkan kakinya kesal kearah Ray dan mengambil kasar helm yang Ray sodorkan padanya.

"Apa kau sebenci itu padaku?"

Angie terdiam ketika Ray bertanya seperti itu padanya, pikiran kekanakannya seketika luntur karena pertanyaan Ray. Sebenarnya bukan maksud Angie untuk membuat Ray mengira bahwa dia membenci pria itu, ini kesalah pahaman akibat keras kepalanya mood wanita.

"Bu-bukan begitu-"

"Tak apa, aku mengerti. Naiklah, nanti kita tertinggal"

Di perjalanan mereka tidak bicara sama sekali membuat suasana sedikit canggung, Angie yang duduk di bangku penumpang hanya dapat menunduk menyesali perbuatannya.

"Maaf.."

Gumamman lirih Angie membuat Ray tersenyum tipis ketika menyadari bahwa gadis itu telah menyesali perbuatannya, baiklah kali ini Ray mengalah. Pria itu mau memulai percakapan membuat suasan kembali ceria bahkan Angie juga ikut tertawa sampai tiba tiba-

/Srasshhhh/

-hujan deras turun dari langit membuat mereka mau tidak mau harus berteduh dulu di sebuah bengkel yang terlihat tengah tutup, mereka turun dari motor terburu-buru dengan baju yang sudah sedikit basah akibat hujan. Angie cukup kedinginan hingga ia terbatuk kecil, gadis itu menutup mulutnya dan langsung mengelapnya ke celana hitamnya sekaligus berjalan kebelakang punggung Ray yang cukup lebar. Rasanya sedikit hangat, sebenarnya Ray sadar apa yang dilakukan Angie di belakang punggungnya dan itu membuat senyumnya mengembang tanpa sadar.

"Kau kedinginan?"

Angie hanya diam ketika Ray berbisik bertanya padanya, sadar tak ada jawaban Ray berinisiatif untuk meraih tangan kanan Angie dan memasukannya ke saku jaketnya beserta dengan tangannya membuat gadis itu membelalak terkejut dengan perlakuan pria itu terhadapnya.

Hujan pun berhenti memberikan kesempatan kepada mereka untuk kembali melanjutkan perjalanan, selagi bisa kenapa tidak? Lagipula ini adalah hari libur mereka dari sekolah yang padat. Sungguh perilaku Angie dan Ray membuat teman-teman mereka bingung 180 derajat, bagaimana tidak? tadi sebelum berangkat mereka kemusuhan dan sekarang lihat, Angie dan Ray sudah seperti sepasang kekasih bahkan mereka sering berpegangan tangan.

"Ayo, An! Aku ingin memotretmu"

"Aku ikut!"

"Aku juga!"

Sungguh rasanya Kira ingin memukul Ray dan Siwan yang heboh padahal ia hanya ingin memotret Angie diatas sana, bahkan kini mereka berdua bertengkar memperebutkan tempat disamping Angie.

/Ckrek/

"Kau benar-benar seperti diperebutkan oleh dua pria, An"

"Thanks, Kira"

"Aku mau lihat!"

"Aku juga!"

"Hahahaha"

.

Di perjalanan pulang Ray dan Angie masih sama, saling berbagi cerita hingga tiba tiba Ray mengatakan hal yang cukup membuat Angie bingung.

"An, aku ingin kau meng-andaikan sesuatu tentangku"

"Apa itu?"

"Jika aku adalah keluarga mafia dan pekerjaanku adalah sebagai pembunuh bayaran, apa yang akan kau pikirkan"

"Maksudmu?"

"Maksudku latar belakangku tidak baik, An"

"Lalu kau?"

"Hm?"

"Kau bilang latar belakangmu tidak baik, lalu kau sendiri? Aku tidak merasa kau jahat"

Mendengar ucapan Angie yang terdengar santai itu Ray terdiam sebentar, ini aneh. Gadis itu bahkan tidak peduli dengan ucapannya yang mengatakan kata 'Mafia' dan juga 'Pembunuh Bayaran', yang ia peduli adalah dirinya.

"Orang yang tidak baik terkadang bukan berarti orang itu jahat, kau mengerti maksudku?"

Ray spontan menggeleng, ia benar-benar tidak mengerti ucapan Angie dan juga pemikiran gadis itu.

"Aku malah ingin bertanya, bagaimana rasanya?"

"Hm?"

"Bagaimana rasanya hidup didalam keluarga yang berprofesi sebagai kelompok yang paling bersalah?"

"..."

"Pasti berat, apalagi disaat kai tidak memiliki sandaran untuk menyimpan keluh kesahmu"

Memang 85% ucapan Angie semuanya benar-benar Ray rasakan selama ini, dikejar waktu, memburu orang, membunuh orang, semua itu memuakkan dan melelahkan bagi Ray. Tapi tidak ada yang bisa ia jadikan tempat untuk menyimpan keluh kesahnya selama ini.

"Jadi kau tidak akan menjauhiku? Aku orang jahat, An"

"Kau pikir sahabat macam apa yang meninggalkan sahabatnya sendiri hanya karena latar belakang?"

"Aku bercanda, An"

"Iya aku tau, wajahmu tidak memenuhi syarat untuk menjadi seorang pembunuh hahaha!"

Ray tersenyum miris mendengar ucapan Angie yang langsung melekat di kepalanya, gadis itu tidak mengetahui apapun tentang dirinya tapi dalam hati Ray memohon agar tuhan tidak menjauhkan gadis itu darinya.

.

"Jangan.. JANGAN BUNUH DIA KUMOHON!"

"Setelah kalian membunuh keluarga Trius? Tidak bisa, Aku dibayar untuk membunuhmu Septa Irawan"

Cahaya lampu gang terlihat remang-remang dan pemandangannya pun cukup mengerikan apalagi ketika ada seseorang yang kini tengah menodong pistol memiliki tulisan XRY di bagian atasnya kearah seorang pria yang tengah sekarat dibawahnya dengan wajah ketakutan. Tempat ini memang sudah di cap sebagai tempat langganan para pembunuh bayaran melancarkan aksinya, seperti yang pria itu bilang ia dibayar untuk membunuh.

"KAU BUKAN TUHAN, XRY! KAU BUKAN TUHAN YANG BISA MENENTUKAN SIAPA YANG PANTAS MATI!"

"Aku memang bukan tuhan, tapi aku mewakili tuhan untuk menghukum pendosa sepertimu"

"Ray cepatlah! waktu kita tidak banyak untuk menemukan yang satunya lagi"

Perlahan wajah Ray semakin terlihat jelas ketika hujan mulai turun membasahi wajahnya menatap datar pria dibawahnya yang sebentar lagi nyawanya akan ia cabut.

"TUNG-"

/DOR/

"Huft.."

Ray menghela nafasnya pelan setelah menembaknya tepat dikepala dan kini mentap datar mayat itu seolah sudah terbiasa dengan semua pekerjaannya.

"Dia terlalu banyak dan kau malah menanggapinya, ayo! pekerjaan kita masih banyak"

"Stif, kurasa aku tidak bisa melanjutkan ini sekarang"

"Ah..aku lupa bahwa kau tidak bisa menembak lebih dari 6 kali,pulanglah besok malam kita lanjutkan"

Stifan pergi meninggalkan Ray yang masih menatap mayat yang habis dia bunuh,ini adalah mayat yang ke 28 sejak pembunuhannya yang pertama, Ray melempar pistol yang ia pakai untuk menembak tadi ke tanah.

Ray membuka ponselnya yang sudah berada di titik merah, ia lupa tidak mencharger ponselnya. Tertera di beranda ponselnya nama Angie yang tadi mengirim pesan padanya, kembali Ray teringat ucapan Angie tadi siang membuatnya kembali tersenyum miris.

"Maaf, An. Tapi aku tidak bercanda tentang itu.."

avataravatar
Next chapter