1 Pria Aneh di Dalam Kereta

Seorang gadis menoleh ke jendela kereta. Air langit yang jatuh sembarangan di luar sana menghasut kantuk untuk mampir. Di balik lensa berbingkai ungu itu, kedua matanya sudah nampak lelah. Memang merasa lelah.

Sebaliknya, layar handphone di genggamannya menyala dengan mencolok. Menampilkan warna putih bersih dari sebuah file Word yang kosong. Dia berniat mengetik sesuatu, menumpahkan ide-ide yang biasanya mengalir deras di tempat dan waktu yang tidak tepat.

Itu niatnya sejak tiga jam yang lalu.

Pengeras suara di atasnya baru saja menggema dengan pengumuman bahwa sebentar lagi kereta akan sampai di stasiun kota Pekalongan. Artinya, sekitar satu jam lebih sedikit, kereta akan sampai di Stasiun Tawang. Dia tidak ingin ketiduran di kereta.

Dengan hujan yang terus mengguyur dari kota Tegal tadi, ditambah dengan pendingin udara yang bertengger di dekatnya, pantas kalau suhu ruangan dalam gerbong semakin rendah.

Menggosok-gosok telapak tangannya, gadis itu meraih jaket yang tadi dimasukkan di tas. Cepat-cepat dipakai, namun juga mengernyit tidak suka ketika melihat tulisan 'Elio Siraditya' yang dengan bangganya terjahit di dada.

Bukannya tidak senang dengan jurusannya, juga bukan karena tidak memiliki rasa kebersamaan dengan teman-teman seangkatannya. Hanya saja, Elio merasa kalau memakai pakaian dengan nama yang terpampang jelas sebagai sesuatu yang norak. Meski begitu, entah kenapa pria yang duduk tepat di sampingnya seperti memandang Elio dengan iri.

Melirik dari balik lensa kacamatanya, Elio kini benar-benar yakin kalau pria itu memang merasa iri padanya. Sebuah bayangan terlintas di kepalanya.

Dia tampak seperti seorang gelandangan yang meringkuk di perempatan lampu merah suatu malam, berharap ada yang mau memberi selimut sambil menunggu uang untuk datang dengan sendirinya.

Tunggu, itu analogi yang benar-benar pas.

Pria itu memang terlihat mendambakan jaket yang dikenakan Elio.

Tiba-tiba risih, Elio menggeser duduknya hingga bahunya semakin menempel pada kaca jendela. Entah memang tidak peka atau kurang tahu sopan santun, namun pria itu malah semakin memandang penuh nafsu pada jaketnya.

Elio menahan diri untuk tidak mengumpat dan menampar pria itu. Alasan utamanya karena tidak mau membuat drama. Alasan lainnya karena dia memang bukan perempuan yang suka main tangan.

Jadilah dia berbalik, mengalihkan pandangan sekali lagi hingga matanya fokus pada lampu-lampu kecil yang bersinar di dalam kegelapan malam.

Dari refleksi yang tertangkap di kaca, pria itu kini menggembungkan pipinya, seperti anak kecil yang merajuk ingin mainan. Sungguh orang yang aneh.

'Salah sendiri, sudah tahu kalau ini perjalanan malam, kenapa juga tidak memakai jaket?'

Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya Elio juga tidak melihat barang bawaan saat pria itu mengambil duduk di sampingnya.

Diliriknya bagasi di atas kepala. Hanya ada tas ranselnya yang untung bisa dijejalkan. Juga dua kardus bekas mie instan yang tadi dinaikkan oleh bapak-bapak tiga bangku darinya.

Tidak ada koper, tidak ada tas yang kemungkinan dibawa pria itu. Hanya pakaian yang melekat di tubuhnya. Kemeja hitam yang masih nampak rapi, celana jeans yang sepertinya baru karena masih berwarna biru gelap seutuhnya, dan sepatu kulit yang agaknya mahal.

Jam yang melingkar di tangannya juga mungkin bermerek, namun Elio tidak terlalu paham soal itu. Dia bukan orang yang begitu antusias soal fashion. Meski beberapa jam membaca artikel di Wooble mengenai apa yang karakter utamanya pakai untuk pesta pebisnis ternama membuat Elio cukup mengenal satu dua nama brand populer.

Andai pria di sampingnya tidak menggembungkan pipi – ah, sekarang dia mengerucutkan bibirnya – dan menatap dengan iri, Elio akan mengira kalau pria itu orang kaya yang memutuskan untuk liburan ke luar provinsi tanpa rencana.

Apalagi dengan level ketampanannya.

Oh, imajinasi Elio mendadak liar, menyajikan halu dan premis bahwa pria aneh itu adalah bos muda suatu perusahaan di ibukota.

'Apa tidur saja, ya, daripada menghayal gak jelas gitu?'

Elio menghela napas dan menutup matanya. Satu menit kemudian, dia merasakan sebuah jari menyodok pinggang. Terkejut, juga sedikit geli. Dia menoleh dan mendapati wajah tampan pria itu terlalu dekat dengan miliknya.

"Ah!" Tangan Elio memegang dada, mencoba menahan jantungnya yang hampir mental keluar.

"Kamu kenapa?" Pria itu bertanya dengan polos, tidak sadar kalau Elio kaget setengah mati karenanya.

"Kamu yang kenapa?!" Elio membentak. Sudah seperti kompor meleduk saja.

Tentu tanpa disengaja.

Dia tahu sopan santun, tidak seperti pria aneh di sampingnya yang masih dengan seenaknya semakin mendekatkan wajah. Seperti punya niatan khusus untuk memamerkan ketampanan yang melebihi kadar normal.

"Ih, tolong jangan dekat-dekat!" geram Elio lagi. Setidaknya, dia telah menyisipkan kata 'tolong' sebelum mendorong bahu pria itu agar menjauh darinya.

'Apa ini bisa disebut pelecehan?'

Dia harus waspada karena mungkin pria ini predator seksual. Yang mungkin saja akan mencuri ciuman pertama Elio. Mungkin dia harus melapor pada petugas kereta api yang wara-wiri beberapa waktu sekali.

'Ah, sepertinya aku terlalu banyak marathon serial kriminal di Netplea,' batinnya dalam hati.

Mengedip cepat, pria itu seperti baru sadar kalau wajah mereka hanya berjarak lima belas sentimeter saja.

"Eh, maaf," ucapnya lagi dengan polos. Sungguh berlagak seperti orang tanpa dosa setelah embuat hati seorang gadis berdegup kencang bagai suara kaki kuda.

Namun, orang-orang sepertinyalah yang sebenarnya sering berdosa dan berbahaya, Elio cukup paham. Sekali lagi, dia terlalu banyak menonton serial kriminal di Netplea.

"Ada apa?" Tanya Elio dengan judes begitu si pria aneh kembali duduk dengan benar di kursinya. Biar begitu, Elio yang masih was-was tidak juga memisahkan dirinya dari kaca jendela.

"Nnng… itu…" dia tampak bingung. Seperti hendak meminta bantuan, namun terlalu sungkan. Meski akhirnya diucapkan juga. "Kamu ada jaket lain?"

"Hah?" Elio tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.

"Boleh pinjam itu?" Tunjuknya pada jaket kebesaran yang Elio kenakan.

"Hah?!"

Semakin aneh saja.

Elio bukan orang jahat yang tidak punya hati, namun dia juga bukan orang baik yang akan meminjamkan pakaiannya pada orang asing – meski itu jaket yang tidak terlalu disukainya.

"Ti- tidak boleh."

"Dasar pelit," pria itu membalas pelan agar tidak terdengar, namun telinga Elio cukup tajam soal mencuri dengar. Apalagi kalau itu menyangkut dirinya sendiri.

"Apa kau bilang? Coba ulangi lagi."

Pria itu menghela napas, mendecih tidak suka. "Perempuan kok teriak-teriak, kasar banget."

"Kamu juga. Tidak sopan banget, masak dekat-dekat begitu sama perempuan, terus minta jaket lagi. Dasar laki-laki nafsuan," balasnya tanpa pikir panjang.

"Dingin tahu."

"Salah sendiri."

Lawan bicaranya membuka mulut, bermaksud membalas, namun tidak ada suara yang keluar darinya. Hanya menatap tajam sebagai responsnya.

Ah, persetan, Elio sendiri sedang kedinginan.

Kalau dia punya jaket lain yang tersembunyi di dalam tas ranselnya yang melebihi muatan, dia tidak akan memberikannya pada orang asing yang tidak tahu sopan santun itu.

Tidak ingin kecanggungan itu untuk berlangsung, Elio kembali menatap keluar jendela.

Hujan masih mengguyur. Untung ayahnya akan menjemput dengan mobil di Tawang nanti. Kalau tidak, entah bagaimana Elio akan pulang dari stasiun malam ini.

Berbicara soal ayahnya, Elio ingat kalau dia belum mengabari akan menunggu di mana. Diliriknya kembali handphone di genggaman tangan. Menutup halaman kosong Word yang mengejeknya, dengan cepat dia mengirim pesan, menanyakan di mana sang ayah akan menunggu.

Elio kemudian meringis saat mendapati layar handphone-nya mati seketika. Tidak peduli dengan doa yang dipanjatkan agar sang ayah segera membalas pesannya.

"Ah, dasar bodoh," gerutunya kesal.

Sebagai catatan saja, dia tidak sedang memaki sang ayah.

Mana berani.

Bisa-bisa, dia dikutuk jadi batu oleh ibunya. Atau lebih buruk lagi. Meski bukan keturunan penyihir, namun ibunya bisa memantrai sandal jepit agar terbang dan mendarat sempurna di kepala Elio. Lengkap dengan efek suara 'plak!' yang memuaskan.

"Kenapa kabel charger-nya harus ketinggalan di kos-kosan segala, sih?" Rutuknya pada diri sendiri sambil mengantongi alat canggih bernilai dua jutaan yang kini telah resmi berubah menjadi balok tipis tak berguna di tas selempangnya.

Masalah sederhana, dengan solusi yang tak kalah simpel sebenarnya. Dia bisa saja meminjam kabel charger pada penumpang kereta lainya.

Namun, Elio terlalu jengkel melihat kemesraan pasangan muda-mudi yang duduk di kursi depannya. Dia juga terlalu sungkan mengganggu ibu-ibu yang berusaha keras menidurkan anak balitanya. Apalagi bertanya pada om-om yang sibuk menyebutkan harta bendanya pada seseorang di ujung telepon sana.

Oh, terima kasih.

"Heh." Suara kekehan pelan itu bersumber dari pria aneh namun tampan yang duduk di sampingnya. "Karma tuh."

Mulutnya menganga, tak percaya dengan gumaman yang baru saja didengarnya.

Lancang sekali.

Pria aneh itu bahkan tidak lolos ujian masuk dalam kategori calon penolong yang mungkin akan meminjamkan kabel charger. Beraninya dia menertawai Elio. Silakan saja. Semoga dia kedinginan sampai besok tanpa ada seseorang yang menolongnya.

Satu ide muncul di kepalanya.

"Kalau begitu, kamu kedinginan juga karma, dong?" Ucap Elio dengan pelan tanpa menutupi nada mengejeknya.

Pria aneh itu mendecih kesal. Kemudian melempar bungkus permen yang diambilnya dari kantong belakang kursi tepat pada wajah Elio.

Dia menutup mata dengan refleks, meski kacamata yang bertengger di hidungnya akan menghalau proyektil jadi-jadian itu.

Kesal, Elio menatap tajam pria itu setelah memasukkan kembali bungkus permennya pada kantong sebelumnya. "Apa yang kamu lakukan?"

"Aku tidak kena karma karena aku memang tidak berdosa," ucapnya dengan tegas. Namun, ketegasannya lenyap seketika bibir pria itu kembali dimonyongkan.

Elio ikut memonyongkan bibirnya tanpa rencana, mencibir dalam diam sebelum dia menatap tajam pada pantulan pria aneh yang tidak tahu sopan santun itu di kaca jendela.

Kini dia iri karena dia sama sekali tidak terlihat cantik dengan bibir monyongnya. Berbeda dengan pria aneh yang masih bisa mempertahankan ketampanannya meski dengan ekspresi yang dibuat-buat.

Mungkin lima belas menit kemudian, pengeras suara di atasnya sekali lagi menggema di dalam gerbong. Diumumkan bahwa kereta akan segera melaju menuju stasiun berikutnya, yaitu Stasiun Poncol. Tinggal satu stasiun lagi. Jarak antara stasiun Poncol dan Tawang bisa ditempuh dalam lima menit, jadi dia akan bersiap-siap dari sekarang.

Elio menegakkan duduknya, sedikit meregangkan kaki dan tangan sebisa mungkin, juga memutar pinggangnya.

Saat itulah dia sadar bahwa pria di sampingnya sudah bersedekap dengan kepala tertunduk. Dari bahunya yang terlihat statis, sepertinya dia sudah tertidur pulas.

Sekali lagi, Elio menatapnya dengan iri.

Semoga saja dia tertidur terus tanpa ada orang yang membangunkannya. Biar tahu rasa.

Doanya terkabul ketika kereta sampai di stasiun terakhir. Tidak seperti penumpang lainnya yang berhimpitan buru-buru turun keluar, dia menunggu hingga gerbong itu kosong.

Elio juga telah meninggalkan oleh-oleh untuk pria aneh di sampingnya. Sebuah sticky note berwarna hijau terang yang ditempel di bahunya. Elio sengaja menulisnya dengan rapi agar mudah dibaca, tidak seperti cakar ayam biasanya.

'JANGAN GANGGU TIDUR CANTIKKU!'

Semoga orang-orang patuh pada memo itu.

Baru setelahnya, Elio berhasil keluar dari tempat duduk di pinggir jendela, melewati pria aneh yang tertidur itu tanpa menyenggolnya.

avataravatar
Next chapter