1 AWALAN part 1

"ARGH!"

BUG! BUG! BUG!

Sebuah kota hancur, perkelahian terus terjadi tanpa henti, semua orang menjadi ketakutan. Kegelapan kota membuat para remaja kalut dan menggila. Pertarungan serta pertumpahan darah membanjiri setiap sudut kota bahkan banyak nyawa melayang akibat kejadian ini. Lansia, orang dewasa dan anak-anak kecil menjadi korban. Bangunan-bangunan di sekitar rusak tidak karuan, asap di mana-mana, bahkan sampai ada pengeboman di beberapa daerah. Setiap tangan yang mereka hempaskan, maka korban pun berjatuhan. Kendaraan hingga tempat bernaung warga hancur akibatnya. Mereka yang tidak bertanggung jawab hanya bisa membalaskan dendam mereka tanpa melirik ke sekitar. Hantam, hantam dan terus hantam. Kesadaran mereka sudah pudar, akal mereka tidak terkendali dan hanya balas dendamlah yang menguasai diri para remaja itu.

 

"IKUZO!¹" teriak seseorang membuat sebuah kelompok berlari dan menghajar beberapa kelompok lain. Tanpa rasa sakit mereka menghantamkan kepalan tangan mereka ke wajah musuh-musuhnya itu. Lebam, luka dan darah tentu saja ada, rasa sakit pasti menjalar di setiap tubuh, tapi mereka mencoba menghilangkan itu semua demi balas dendam. Entah apa yang menyebabkan semua ini terjadi sehingga kota menjadi kepulan asap yang mengerikan.

*****

Aku menatap beberapa orang yang tengah menghadang seorang gadis. Mereka terlihat puas saat gadis itu ketakutan. Aku menghampiri mereka, menatap satu persatu dengan tatapan tajamku. Ku lihat gadis itu memasang wajah memelas meminta pertolongan, tentu saja aku akan menolongnya. Jika bukan aku, siapa lagi?

BUG!

Ku layangkan kepalan tanganku menghantam wajah sialan itu. Mereka terlihat geram, aku menyeringai sambil memberi mereka aba-aba agar menghajarku. Mereka mulai menyerang dan dengan refleks aku langsung memukul, menendang bahkan membanting mereka. Aku tersenyum remeh saat orang-orang sialan itu tergeletak lemah di tanah.

"Kau boleh pergi sekarang!" ucapku kepada gadis yang kini tengah menontonku itu. Ia mengangguk dengan cepat.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku," katanya dan pergi begitu saja. Ku alihkan pandanganku menatap geng brengsek ini, setelah itu menghampiri salah satu dari mereka lalu berjongkok. Menatap dirinya dengan mata tajamku.

"Siapa leadermu?" tanyaku. Lelaki itu menyebut nama seseorang yang tak ku kenali. Tak lupa ku ancam anak itu agar tidak mengganggu para gadis ataupun orang yang tak bersalah di kota ini. Jika ia kembali berulah, maka aku akan membunuhnya beserta para tikus jalanan itu. Aku kembali membanting kepalanya ke aspal dan bangkit lalu meninggalkan mereka yang tergeletak di sana.

"Oi! Omi, dari mana saja kau? Aku ada informasi penting untukmu," seru seseorang sambil berlari menghampiriku saat aku sudah berada di persimpangan jalan. Aku hanya menoleh sebentar lalu kembali melangkahkan kaki.

"Kau tahu? Baru-baru ini ada sebuah geng baru yang ada di pesisir pantai. Mereka sepertinya bandar narkoba," lapornya setelah ia berhasil berjalan sejajar denganku.

"Lalu? Apa yang kau inginkan dari mereka?" tanyaku tanpa menoleh.

"Tidak ada. Aku hanya memberitahumu," jawabnya

"Tidak penting."

"Ayolah, ini penting. Mereka memproduksi beberapa obat-obatan terlarang dan hampir menyebar di sudut kota bahkan barang itu mungkin sudah tersebar di kawasan kita. Ini gawat!" Aku menghela nafas dan berhenti berjalan, menatapnya yang kini berada tepat di belakangku.

"Kenapa tidak kau ringkus saja mereka? Atau kau laporkan mereka ke kepolisian?" tanyaku. Wajahnya terlihat bingung.

"Mana mungkin aku akan melakukan itu, lagi pula polisi tidak akan peduli."

"Aku pun tidak peduli," balasku dan kembali berjalan. Rupanya ia menyusulku.

"Katanya mereka juga mempunyai seorang leader yang brutal. Dia tidak akan segan-segan menghajar siapapun dengan kebrutalannya itu. Dan mereka bergaya hip hop, dengan begitu tidak ada ciri-ciri yang membuktikan bahwa mereka adalah seorang pengedar. Ini sangat membahayakan kota, Omi. Kita harus bertindak."

"Aku tidak ingin ikut campur, Gun. Berdampak buruk pada keseimbangan geng lain," balasku. Gun, si juru informasi ini terdengar menghela nafas. Sejujurnya, bukannya aku tidak peduli dengan apa yang disampaikan Gun padaku, hanya saja aku tidak ada niat untuk ikut campur. Aku hanya ingin melindungi kota ini, melindungi orang-orang yang ku sayang dan melindungi keluargaku. Jika aku berurusan dengan hal lain selain ketiga hal itu, maka aku pun akan terjerumus ke dalam permasalahan yang mungkin akan sangat rumit. Gun bermaksud memusnahkan para pengedar itu dengan berbicara padaku, tapi aku ingin lihat sejauh mana para pengedar itu beroperasi. Jika kotaku kotor karenanya, maka aku akan bertindak.

Aku dan Gun masuk ke dalam sebuah ruangan yang biasa kami sebut markas. Ya, hanya sebuah tempat kecil yang tidak begitu mencolok. Di pojok ruangan terdapat meja billiard yang kami sediakan untuk bermain dan di tengah ruangan ada beberapa sofa untuk kami bersantai. Aku pun berjalan dan duduk di salah satu sofa.

Seketika saja Kazuma, Hokuto dan Ryota datang dari luar markas. Mereka kini duduk di sofa yang ada di seberangku. Mereka adalah teman-temanku yang selalu datang ke markas setiap hari. Entah itu mengobrol di sini, makan ataupun bermain. Bagi mereka, tempat ini adalah tempat paling menyenangkan dari tempat lain di kota. Entahlah, mereka menyebutnya begitu.

"Ah! Omi-kun², kebetulan sekali," ujar Ryota. "Di jalan tadi, kami melihat beberapa orang yang sedang melakukan transaksi narkoba. Lalu kami memukuli mereka dan salah satu dari mereka berkata bahwa mereka mendapatkannya dari seseorang," lanjutnya melapor. Aku meliriknya.

"Apa dia seorang pengedar narkoba yang ada di pesisir pantai?" tanya Gun sebelum aku mengatakan sesuatu. Ryota menoleh dan mengangguk.

"Ya. Mereka bilang mereka mendapatnya dari orang yang bergaya hip hop, leader mereka berambut blonde brown,"  jelas lelaki itu. Aku mengalihkan pandanganku. Jika aku sudah tahu bagaimana ciri-ciri si pengedar atau leader mereka, berarti aku harus bertindak. Tadi Gun bilang kemungkinan obat-obatan yang mereka edarkan sudah meluas di kota ini.

"Omi, apakah kita harus menghabisi mereka agar tidak mengedarkan obat itu di kota?" tanya Kazuma. Aku meliriknya.

"Kita lihat dulu perkembangan mereka sampai sejauh mana," jawabku.

BRAK!

Tiba-tiba saja pintu ruangan didobrak oleh seseorang. Ku lihat Ryu membawa seorang lelaki bertubuh kecil dan kurus. Ia melempar tubuh lelaki itu di hadapanku. Ku lirik Ryu, untuk apa ia membawa lelaki ini ke sini?

"Shohei hampir gila karena mengonsumsi obat-obatan dari lelaki brengsek ini. Sekarang dia ada di rumah sakit," lapornya. Aku melirik lelaki di bawahku itu yang kini tengah tersungkur lemah dengan wajah yang lebam akibat pukulan Ryu. Ya, aku tahu pasti anak itulah yang sudah membuat lelaki ini babak belur seperti itu. Aku bangkit lalu berjongkok di dekatnya, menatapnya dengan mata elangku.

"Siapa yang menyuruhmu mengedarkan obat-obatan terlarang di kota ini?" tanyaku. Ia meringis sambil menatapku meminta ampun dan memohon pertolongan.

"A-aku tidak terlibat. Ku mohon lepaskan aku!"

BUG!

Kepala yang malang itu ditendang oleh Ryu. Ia kembali meringis kesakitan. Lagi-lagi memasang wajah memelas padaku. Ah! Rasanya aku ingin membunuh anak ini karena tidak menjawab pertanyaanku dengan jujur, tapi untuk kali ini aku sangat malas menghajarnya. Pukulanku hanya untuk para leader dari geng brengsek yang mengganggu kenyamanan kota ini. Aku menghela nafas lalu mendekatkan wajahku padanya, kini tinggal beberapa senti jarak di antara kami.

"Beri tahu aku siapa yang menyuruhmu! Jika kau tetap bungkam atau mengalihkan pembicaraan, tak segan-segan lehermu akan patah dalam waktu 3 detik," ancamku dengan tatapan serius yang ku berikan padanya.

"Sa-"

"COAST TOWN! Me-mereka yang sudah menyuruhku mengedarkan obat-obatan itu," tukasnya dengan nada ketakutan. Aku bangkit dan duduk kembali di sofa.

"Coast Town? Orang-orang yang bergaya hip hop itu?" tanya Hokuto. Lelaki itu menganggukkan kepalanya.

"Beri tahu kami informasi tentang mereka!" suruh Gun.

"Ta-tapi, selamatkan aku!" pinta lelaki itu sambil mencoba untuk bangkit.

"Jawab saja dulu."

"Mereka beranggotakan enam orang. Pabrik mereka berada di pesisir pantai dan mereka menyewa banyak Yakuza³ untuk melindungi mereka dari kepolisian ataupun masyarakat. Dan Yakuza itu adalah AKKAN ZOKU. Mereka menjalankan bisnis dan saling bekerja sama," jawabnya. Aku mengernyitkan dahiku. Yakuza? Cih! Mereka hanya ingin mendapatkan uang maka mereka ikut campur dalam urusan obat-obatan terlarang itu. Kusso yarou!

"Siapa leader mereka?" tanya Hokuto. Lelaki itu meliriknya.

"Hasegawa Ryusei."

"Hasegawa Ryusei?" tanya Hokuto memastikan.

"Sudah berapa lama pabrik itu beroperasi?" tanyaku.

"Sekitar beberapa tahun yang lalu. Hanya saja, akhir-akhir ini mereka mengedarkan narkoba di kawasan ini. Bukan hanya itu, bisnis obat-obatan itu sudah mereka edarkan ke luar kota bahkan luar negara. Setahuku, pabrik yang mereka kelola berada di bawah pengawasan Yakuza itu. Apakah kau sudah puas? Aku sudah memberimu informasi yang kau mau. Sekarang lepaskanlah aku, Brengsek!" umpatnya dengan kesal. Aku menggebrak meja. Ini sudah keterlaluan, kotaku menjadi korban atas perbuatan mereka.

"Chikuso!⁴ Apa yang harus kita lakukan, Omi? Mereka pasti sudah menyebarkan obat itu ke penjuru kota," tegas Ryu terbawa emosi setelah mendengar penjelasan lelaki itu. Aku meliriknya.

"Kita hampiri saja mereka lalu hancurkan pabriknya. Dan kita bunuh satu persatu para Yakuza yang ikut campur, mereka hanya menghalangi," timpal Ryota. Aku menghela nafas dan memejamkan mataku sekejap, mencoba menahan emosiku yang mulai meluap. Ku buka mata dan menatap teman-temanku.

"Kita jangan gegabah! Semua akan sia-sia jika kita melakukannya dengan terburu-buru tanpa informasi yang jelas," tuturku dengan hati-hati.

"Informasi apalagi yang kau perlukan? Kita sudah tahu siapa dalang di balik pengedaran obat-obatan itu dan kita pun tahu di mana letak pabrik pembuatannya," balas Gun. Aku hanya meliriknya sebentar lalu memandangi lelaki yang tergeletak itu.

"Apa tujuan mereka mengedarkan dan membuat barang itu?" tanyaku kepadanya. Ia terlihat memasang wajah meremehkan.

"Cih! Jangan tanya padaku! Aku hanya ditugaskan untuk mengedarkannya saja."

BUG!

Hentakan kaki Ryu yang mendarat di perutnya mampu membuat lelaki itu kesakitan. Ia terbatuk-batuk dan menahan rasa nyeri di perutnya yang kini mungkin saja hampir membuatnya tak bisa bernafas.

"Jawab yang benar, Bodoh!" teriak Ryu.

"Ck, kalian ini menyusahkan. Aku benar-benar tidak tahu menahu tentang tujuan mereka melakukan itu. Tapi, menurutku, mereka hanya ingin bertahan hidup dengan cara mereka. Berkat obat-obatan itu, kini mereka bisa hidup dan terkenal di kalangan pengedar dan pemakai narkoba. Penghasilan mereka cukup besar," jawab lelaki ini. Aku menyandarkan tubuhku di sandaran sofa dan menyuruh Ryu untuk menyingkirkan anak sialan itu dari pandanganku.

"Kita temui saja mereka, mungkin dengan itu kita bisa mengetahui tujuan mereka yang sebenarnya," usul Kazuma. Aku meliriknya. Benar! Jika aku diam saja di sini dan menunggu kabar, maka aku tak akan tahu tujuan mereka. Aku pun berdiri dan beranjak dari markas.

"Yosha! Ikuzo, Minna!" teriak Gun. Beberapa teman-temanku mengikutiku. Ya, kami akan pergi menjumpai orang-orang yang mengelola pabrik sialan itu. Jika bisa kami akan menemukan si dalang dalam perbuatan ini, enam manusia bodoh yang mencoba menghancurkan kota dengan hasil produksi mereka. Jika dibiarkan, maka kotaku akan terkena dampaknya serta racun yang mematikan itu dapat membunuh siapapun. Jika bukan aku yang bertindak, lalu siapa lagi?

Bersambung ...

><><><

Note :

1 : Ayo

2 : Panggilan untuk teman laki-laki

3 : Mafia Jepang

Kusso yarou : Brengsek

4 : Sialan

Ikuzo, Minna! : Ayo, Semuanya

Arigatou! Thank you! Nuhun! Terima kasih! Obrigada!

avataravatar
Next chapter