1 Mr. White?

"Betapa membosankan." Seorang pria putih pucat berambut perak menatap ketiga pria yang berdiri di depannya dengan malas.

Penampilannya sangat mencolok dibandingkan orang lain di ruangan itu karena dari atas ke bawah dia mengenakan pakaian serba putih yang senada dengan warna rambutnya. Jas putih, celana putih, bahkan aksesoris-aksesoris seperti tindik dan anting juga berwarna putih atau perak.

Anehnya, semua itu terlihat pantas saat dikenakan pria itu dan tidak terkesan jelek sedikit pun. Seakan-akan warna putih memang dilahirkan untuknya, dia terlihat semakin mempesona saat mengenakannya. Apalagi, dia terlihat cukup tampan dan muda, mungkin usianya baru berada di awal dua puluhan.

Karena dia selalu mengenakan pakaian serba putih dan tidak ada yang tahu siapa namanya, semua orang hanya menyebutnya dengan Mr. White atau Tuan Putih.

Orang-orang yang mengenakan jas hitam langsung berkeringat dingin saat mendengar ucapan pria itu. "B... bos?"

Mr. White mendesah, membuat mereka semua semakin ketakutan. "Apa kalian masih memiliki sesuatu yang penting utuk dikatakan?"

"Ti... tidak! Bos, kami akan segera kembali bekerja!" Salah satu diantara pria berjas hitam berkata dengan nada gugup.

"Lalu apa lagi yang kamu tunggu? Pergilah!" Mr. White melambaikan tangannya dengan tidak sabar.

Orang-orang yang sejak tadi ketakutan langsung berbalik pergi dengan terburu-buru seakan sedang dikejar oleh sesuatu yang jahat.

Kebetulan saat mereka akan keluar, pintu terbuka dan menampilkan sosok pria tinggi berkacamata yang sama pucatnya dengan Mr. White.

"Tuan Liam," sapa mereka.

Pria tinggi yang dipanggil Liam hanya berdeham sebagai bentuk pengakuan.

"Apa yang kamu lakukan di sana? Kamu menghalangi jalan mereka," ucap Mr. White yang sudah kehabisan kesabaran.

Liam bergeser ke samping untuk membiarkan mereka lewat. Dia menutup pintu setelah memastikan hanya ada dia dan Mr. White saja di ruangan itu.

"Ada ada denganmu? Kamu terlihat begitu pucat," komentarnya sambil mengerutkan kening. "Bagaimana kalau aku memanggil Meira kemari?"

"Uh, aku baik, hanya saja aku rasa aku sedang datang bulan," ucap Mr. White sambil menyentuh perutnya yang terasa sakit, penampilan arogan dan malasnya tidak terlihat lagi.

Liam menjadi cemas mendengar ini. Dia tidak tahu seberapa sakit jika seorang wanita mengalami haid tapi orang di depannya ini selalu terlihat menderita saat sedang dalam masa itu seakan-akan dia mengalami sakit yang parah. "Tunggu di sini," ucapnya. "Aku akan segera memanggil Meira."

"Te... terima kasih," ucap Mr. White dengan kesulitan.

Tak butuh waktu lama bagi Liam untuk memanggil Meira karena gadis itu kebetulan juga sedang berada di tempat itu.

"Ari, apa kamu masih bisa mendengarku?" Meira berlari menghampiri Mr. White dengan tergesa-gesa.

"Hmm."

"Bisakah kamu berjalan?"

Mr. White yang memiliki nama asli Ariana tidak menyahut tapi langsung berdiri dengan perlahan. Jika seseorang mengamatinya dengan lebih cermat, dia akan bisa melihat bercak darah di celana putihnya.

Meira dengan hati-hati membantu menopang Ariana yang terlihat kesulitan membawa tubuhnya sendiri. "Liam, bisakah kamu menyiapkan air hangat untukku?" pintanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari Ariana.

Liam mengangguk lalu segera pergi untuk memenuhi permintaan Meira.

Meira membawa Ariana ke kamar tersembunyi di balik ruangan itu dan membantunya untuk berbaring di satu-satunya kasur yang ada di situ. "Tunggu sebentar," ucapnya lalu mulai meracik sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi Ariana.

"Ini sudah jaman modern," ucap Ariana saat dihadapkan dengan segelas jamu kunyit asam. "Kenapa kamu masih begitu kuno? Apa kamu pikir masih ada orang yang meminum jamu di jaman sekarang?"

Meira memutar kedua bola matanya. "Apa kamu meragukan kemanjuran jamu buatanku?"

"Tentu, tidak," jawab Ariana. "Hanya saja itu terasa mengerikan. Bisakah kamu membuatnya terasa lebih layak minum?"

"Minum atau kamu akan kesakitan sepanjang hari," ucap Meira dengan galak.

Sayangnya, itu tidak membuat Ariana takut. Dipadukan dengan wajah Meira yang terlihat imut seperti seorang siswa SMA, amarahnya membuat gadis itu terlihat semakin imut dan menggemaskan.

Ariana melirik Meira yang menatapnya dengan tajam lalu mengambil gelas dari tangan gadis itu dan meminumnya dalam sekali tegukan.

Meira tersenyum saat melihat ini. "Anak baik," ucapnya sambil menepuk lembut kepala Ariana. "Ganti pakaianmu sembari menunggu air hangat."

Ariana menyeringai. "Baik, bu!"

Meira melotot. "Siapa ibumu?" tanyanya tajam yang hanya dibalas dengan tawa Ariana.

avataravatar
Next chapter