7 Amarah Axton

<p>Axton Axelsen. Pria tampan yang memiliki darah murni dari negara tempatnya berada saat ini. Ia kembali ke negara itu untuk melakukan perburuan atas pengusaha yang begitu berani menuduh nama organisasinya sebagai pelaku atas pertambangan ilegal. Namun, di sela-sela perburuan itu, Axton justru terpesona pada Ameera Larasati. Wanita yang saat ini sudah sah menjadi istrinya.<br/><br/>Setiap gairah yang selalu muncul ketika bertemu Ameera, sebenarnya sudah mendesak diri Axton. Meminta supayanya dirinya segera melampiaskan gairah itu. Ia harus mendapatkan diri Ameera! Namun, wanita itu justru masih saja bersedih hati. Sudah beberapa jam sejak kepindahan mereka ke mansion megah milik Axton yang diatasnamakan dengan identitas Herman—sang pengurus gedung tersebut—Ameera masih saja menangis. Dan hal itu membuat Axton sangat ingin marah. Apalagi ketika semua ucapannya yang memiliki nada datar justru diabaikan layaknya angin lalu oleh Ameera. <br/><br/>Memang benar, bahwasanya kejadian di gedung pernikahan itu sukses membuat Ameera sangat ketakutan. Bayangkan saja! Axton nyaris merampas ciuman pertamanya, bahkan mungkin akan lebih dari itu, sebelum akhirnya ia berteriak seperti kesetanan. Sungguh, Ameera tidak rela. Ia tidak mencintai Axton, yang ada justru rasa bencinya pada pria yang sudah menjadi suaminya tersebut.<br/><br/>"Kau akan menangis berapa lama lagi, Ameera?!" Tegas, Axton berkata. Bahkan, suaranya yang keras itu sampai membuat Ameera tersentak.<br/><br/>Setelah sekian jam menahan kesabaran, mungkin kini saatnya Axton melampiaskan semua kejengkelan. Axton berangsur bangkit dari duduknya, meninggalkan sebuah sofa berukuran panjang, yang berada di dalam kamar pengantin di mana dirinya dan Ameera tengah berada. Ia berjalan mendekati keberadaan Ameera yang masih saja meringkuk di atas lantai dingin dekat ranjang dan nakas sembari sesenggukan.<br/><br/>"Diamlah, Ameera!" tegas Axton sekali lagi, sementara sebelah tangannya sudah meraih sebuah vas bunga yang sebelumnya masih berada di atas nakas. Detik berikutnya, ia mencengkeram kuat hingga benda itu pecah di tangannya sendiri. Seketika itu juga, cairan merah mengucur deras dari tangan Axton. Namun ia sama sekali tidak menunjukkan sedikit pun ekspresi kesakitan. Seolah ia memang tidak memiliki indera perasa, layaknya nurani yang mungkin tak lagi mengisi relung hatinya. <br/><br/>Sikap Axton yang terbilang brutal hingga tak segan menyakiti diri sendiri, tentu saja membuat Ameera begitu terkesiap, takut, dan gemetar. Derasnya tetesan darah segar dari tangan Axton, sementara pria itu justru terus menatapnya tanpa merasa kesakitan sedikit pun, membuat Ameera semakin yakin jika Axton memang bukan manusia. Gila! Dan kegilaan Axton memang jauh lebih gila dari dugaannya. <br/><br/>Axton benar-benar mafia, yang bahkan berani menyakiti dirinya sendiri.<br/><br/>"Kau pikir, aku menikahimu hanya untuk melihatmu menangis seperti ini?! Aku menginginkanmu! Kau tahu, di samping itu, aku sudah menyelamatkan hidup malangmu itu, Ameera!" Suara Axton semakin menggelegar, pun pada amarahnya yang kian membesar. Pasalnya, Ameera tidak segera menuruti permintaannya agar berangsur menyudahi kepiluan, tetapi istrinya tersebut justru tampak semakin ketakutan.<br/><br/>"Aku bukan monster, Ameera, aku masih manusia biasa!" Axton Axelsen memang memiliki karakter seperti ini. Sejak kehilangan kedua orang tuanya dan diadopsi oleh mantan raja mafia, ia sudah kehilangan sisi kelembutan. Ia terlihat bak hewan buas yang menyeramkan. Bahkan, meski wajahnya sangat tampan, ia tetap memiliki kesan yang mengerikan.<br/><br/>"Kalau kau bukan monster, segera lepaskan aku, Axton ...! Lepaskan aku, uh ... aku mohon, Axton!" Ameera mencengkeram gaunnya sendiri, sebagai upayanya untuk menahan ketakutan. Ameera harus bicara, mungkin saat ini Axton mulai berubah pikiran dan segera membebaskannya dari kerangkeng pernikahan yang sejatinya tidak ia inginkan.<br/><br/>Namun, alih-alih merasa iba dan lantas mengabulkan permintaan Ameera untuk kesekian kalinya, Axton justru semakin menggila. Ia berteriak keras dan ganas, sementara kedua tangannya tak segan untuk menggeser semua benda yang berada di atas nakas, tanpa terkecuali lampu tidur sampai benda itu terjatuh hingga pecah.<br/><br/>"Berhenti merengek, Ameera! Sudah aku katakan berkali-kali, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi. Kau tahu, aku menahan diri untuk tidak mengganggumu selama ini. Dan kau tahu? Aku-lah yang membuat pria-pria hidung belang itu tak berkutik lagi, agar mereka tidak menyulitkanmu lagi." Inilah fakta kedua. Tindakan Axton terhadap pria mana pun yang pernah keterlaluan dalam menggoda Ameera. Tanpa sepengetahuan wanita itu, ia selalu meringkus pria-pria genit tersebut dengan cara tak bermoral, minimal membuat kaki mereka cacat.<br/><br/>Tentu saja, Ameera tercekat. Bagaimana tidak! Beberapa kali ia nyaris masuk ke dalam pelukan pria-pria nakal belakangan ini. Namun, di malam berikutnya, mereka tak lagi datang. Ameera pikir Catarina serta anak buah ibunya tersebut yang memblokir akses masuk pria-pria itu ke dalam klub malam di mana ia bekerja, meski ia masih meragukan hal ini, sebab tak mungkin Catarina yang begitu membencinya sampai berbaik hati untuk menumpas mereka yang merupakan pelanggan VIP. <br/><br/>Yang Ameera tahu, pihak Catarina hanya mencegah pria-pria itu dan memberikan larangan agar mereka tak menyentuh semua pelayan, terutama dirinya. Dan mengenai pemblokiran, sepertinya tidak pernah sama sekali. Kini, melalui pengakuan Axton, akhirnya Ameera mendengar fakta bahwa berhentinya para pria nakal itu dalam mengunjungi klub malam ibunya adalah karena tindakan Axton yang mungkin saja sangat kejam.<br/><br/>"Apa kau membunuh mereka, Axton?" tanya Ameera memberanikan diri, bahkan matanya berangsur menatap sang mafia. "Katakan, Axton! Apa yang kau lakukan pada mereka?!" Suara Ameera terdengar sumbar, karena gemetar di tubuhnya tak kunjung menghilang.<br/><br/>Axton menggertakkan gigi. "Aku mematahkan kaki mereka Dan kau tahu? Itulah bentuk atas besarnya kecintaanku terhadap dirimu, Ameera. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggumu!"<br/><br/>"Kau gila, Axton! Setidaknya ibuku dan semua anak buahnya masih bisa menangani mereka tanpa kekerasan, tapi kau! Kau yang tidak tahu apa-apa, kenapa berbuat sekeji itu?!"<br/><br/>Cepat, Axton melangkahkan kaki mendekati posisi duduk Ameera. Segera setelah itu, ia menarik dagu Ameera dan memberikan cengkeraman cukup kuat. "Sudah aku katakan, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu, sebab sejak enam bulan yang lalu kau sudah menjadi wanitaku! Berhenti merengek dan lihat aku mulai sekarang, Ameera! Bersihkan dirimu dan turun untuk makan malam bersamaku. Aku tahu kau lelah menangis dan berdebat seperti ini!"<br/><br/>Ameera meludah dan sampai mengenai wajah Axton. "Aku tidak akan sudi menjadi budakmu, Axton!"<br/><br/>Axton mengusap saliva Ameera dengan jemarinya yang masih bersimbah darah. Dengan begitu wajahnya menjadi semakin ternoda. Goresan cairan kental berwarna merah tersebut sukses membuatnya terlihat bak seorang psikopat. "Kau bukan budakku, tapi istriku, Ameera! Turuti perintahku sebagai suamimu, atau pelayan kesayanganmu yang ada di rumah ibumu akan aku habisi juga?" ancamnya setelah itu.<br/><br/>"A-apa?"<br/><br/>Mata Ameera membelalak. Ancaman yang Axton berikan sepertinya tertuju pada keberadaan Daisy. Ini buruk, bahkan Daisy tak ada di sini, tetapi Axton tetap menargetkan Daisy sebagai bahan ancaman untuk membuat Ameera menurut. Tentu saja, Ameera tidak akan membiarkan suami laknatnya itu menyentuh sahabat kesayangannya. Sungguh, bahkan ia lebih memilih mati, jika Daisy sampai dilibatkan.<br/><br/>"Baiklah ... aku akan turuti kemauanmu, tapi, jangan sentuh pelayan itu."<br/><br/>Pasrah, Ameera pun mengalah. Apa daya, saat ini satu-satunya cara untuk meredam emosi berbahaya milik Axton hanyalah dengan setuju. Bahkan, meski nantinya ia akan sangat tidak nyaman duduk berdua di ruang makan dengan pria itu.<br/><br/>"Bagus! Aku akan senang jika kau terus menurut seperti itu, Nona," ucap Axton sesaat setelah melepaskan dagu Ameera. "Aku bahkan bisa memberimu segalanya, jika kau melunak dan bersedia belajar menerima kenyataan bahwa diriku sudah sah menjadi suami yang harus kau hormati."<br/><br/>Tak sudi, sampai kapan pun Ameera tidak akan mau menerima kenyataan itu. Lebih baik, ia menjadi budak ibunya sendiri seumur hidup, daripada harus menjadi istri seorang mafia. Namun, sayang, Axton sepertinya tidak akan pernah melepaskannya. Jalan satu-satunya adalah bertahan, sampai Ameera mendapatkan cara untuk melarikan diri dari jerat cinta mafia tersebut.<br/><br/>Lantas, Axton berbalik badan. Ia pergi dari kamar tersebut untuk memberikan waktu untuk Ameera. Selain itu, jika terlalu lama berada di dalam keadaan yang sama, mungkin perdebatan dan amarahnya tak akan kunjung reda. Biarlah, Ameera mengambil napas, lalu menyantap makan malam untuk mengisi daya yang sudah nyaris tak tersisa.<br/><br/>***</p>

avataravatar
Next chapter