webnovel

Part 24

Ron tengah merenungi nasibnya, lelaki itu masih tidak dapat mempercayai apa yang dikatakan oleh Sia. Wajahnya terlihat murung, lelaki itu tidak beranjak sama sekali dari kamarnya. Hal itu membuat Casie khawatir pada Ron.

"Ron, kau yakin tidak ingin keluar dari dalam sana?" panggil Casie.

Tidak ada jawaban dari Ron, lelaki itu masih diam di dalam sana. Entah apa yang dilakukannya, atau apa yang sedang ia pikirkan, tidak ada yang tahu.

"Ayolah Ron, tidak seharusnya kau seperti ini! Cepat keluar!" seru Casie.

"Damn you, Ron!" umpat Casie.

Wanita itu kini melangkah pergi dari apartemen. Ia harus segera sampai dikantor sebelum meeting penting dimulai. Hari ini memang ada meeting dengan beberapa klien, termasuk meeting dengan perusahaan Evacska.

Casie masuk ke dalam mobil sportnya, wanita itu menginjak pedal gas dan melaju dengan kencang.

"Bisa-bisanya ia meninggalkan pekerjaannya," gumam Casie.

Sampai di depan gedung, Casie berjalan masuk dan langsung menuju ruang meeting. Ia memulai semua meeting dan mengakhirinya dengan sangat baik.

Casie melihat Layla diseberangnya, ia menghampiri Layla untuk mencari tahu, tentang aoa yang terjadi pada Ron.

"Apa kau tahu? Apa yang sudah terjadi diantara majikanmu dengan Ron?" tanya Casie.

"Nona Casie, kenapa tidak kau tanyakan sendiri pada Tuan Ron?"

"Aku tidak akan bertanya padamu jika Ron menjawabnya. Jangankan menjawab, lelaki itu kini mengurung diri di dalam kamarnya dan enggan menemui siapapun," jelas Casie.

Layla mengambil napas dalam-dalam, lalu ia mulai menjelaskan pada Casie.

"Begini Nona, Tuan Ron sudah mengetahui jika Nona Annemarie tiada. Sementara, orang yang selama ini ia temui adalah Nona Sia. Saudara kembar dari Nona Annemarie," terang Layla.

Casie terlihat terpukul hingga tidak berkata apapun di hadapan Layla. Sedangkan Layla yang merasa urusannya telah selesai, memutuskan untuk segera pergi dari sana.

"Nona Casie, ada klien yang ingin bertemu dengan tuan Ron," ujar seorang karyawan.

"Beritahu jika Ron tidak hadir hari ini," ujar Casie.

"Baik, Nona."

Casie berjalan gontai menuju ruang kantornya. Wanita itu duduk dikursi singgahsananya, lalu menundukkan kepala dengan kedua tangan yang menahan.

"Tidak, tidak mungkin wanita itu tiada. Bagaimana bisa? Ron, kenapa ia seperti itu?" gumam Casie.

Begitu banyak yang ingin ia tanyakan pada Ron. Begitu banyak hal yang ingin ia bahas dengan Ron. Namun, hingga saat ini, lelaki itu masih belum keluar dari dalam kamarnya. Jangankan untuk berbicara, untuk makanpun, Ron tidak mau keluar dari kamar.

Tanpa sadar, Casie tertidur dikantor. Ia terbangun karena asistennya mengetuk pintu beberapa kali.

"Ada apa?" tanya Casie.

"Maaf, Nona. Ada yang ingin bertemu dengan anda," ujar asistennya.

"Siapa?"

"Selamat siang, Nona Casie," sapa Sia yang masuk begitu saja, sebelum dipersilakan.

"Anne," ucap Casie.

"Bukan, namaku Anastasya. Kau bisa memanggilku Sia."

"Tidak mungkin. Jadi ... apa yang dikatakan oleh Layla itu benar?" tanya Casie.memastikan.

"Sayangnya, iya. Aku harap kau bisa menerima semua ini dengan baik. Aku datang karena perusahaan ini bekerja sama dengan perusahaan milikku. Ah, perlu diketahui, perusahaanku berbeda dengan Evacska. Aku membangun sendiri perusahaan ini tanpa campur tangan Evacska," jelas Sia.

Casie yang mendengar penjelsan Sia hanya bungkam. Di dalam dirinya masih mencoba menerima kenyataan yang disajikan di depannya.

"Baiklah, mari kita bicara mengenai bisnis," ujar Sia.

Casie mencari berkas yang berhubungan dengan Anastasya. Sayang, berkas itu ada di ruangan Ron.

"Tunggu sebentar, Nona. Berkasnya ada dilantai atas. Aku permisi sebentar," pamit Casie.

Sia hanya mengedipkan matanya perlahan. Wanita itu tampak tenang setelah mengungkap siapa dirinya.

'Bebanku menyandang namamu sudah selesai, kini kau lihat saja sendiri, bagaimana mereka menerima kematianmu,' batin Sia

***

"Hi, Ron," sapa Anne. yang tengah mengenakan gaun berwarna putih.

"Anne, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ron.

Tanpa ia sadari, sendirinya juga mengenakan pakaian serba putih. Kini ia berada disebuah taman bunga lily. Anne duduk disebuah kursi taman, ia menepuk kursi kosong disampingnya.

"Duduklah," ujar Anne.

Ron melangkah mendekati wanita itu. Wanita yang selama ini ia rindukan. Wanuta yang membuatnya tenggelam dalam keterpurukan.

"Hei, wajahemu terlihat pucat. Apa kau sakit?" tanya Ron.

Anne tersenyum."aku tidak sakit, Ron. Kaulah yang sakit. Kenapa kau melakukan hal bodoh?" tanya Anne.

"Apa maksudmu?"

"Kau! Kenapa kau menyakiti dirimu sendiri?"

"Aku mengira apa yang dikatakan saudarimu itu benar. Namun, setelah sekarang kita bertemu, aku tidak salah."

"Ron, aku sudah tiada. Kau yang masih bisa melanjutkan hidup. Jaga anak kita, sayangi ia. Aku akan melihat kalian dari sini, selama kalian bahagia ... akupun akan bahagia," jelas Anne.

"Kumohon, jangan pergi!"

"Tidak, Ron. Aku tidak bisa tinggal."

"Aku sangat mencintaimu, Anne!"

"Cobalah untuk mencintai Sia. Meski ia terlihat keras dan dingin, tetapi di dalam dirinya sangat lembut. Wajah kami memang sama, tetapi meski sikap kami berbeda, kau pasti bisa mendapatkannya," ujar Anne.

"Tidak! Aku hanya menginginkanmu."

Sikap keras kepala Ron membuat Anne terkekeh. Ia merasa tidak ad yang berubah dari sosok Ron yang egois.

"Jagalah mereka seperti kau menjaga dirimu sendiri. Bahagiakan mereka, seperti dulu kau membahagiakan diriku."

Tubuh Anne menjadi transparan. Perlahan raga wanita itu menghilang.

"Tidak, Anne! Anne! Kembali!" teriak Ron.

Lelaki itu terbangun dengan wajah panik dan peluh yang membasahi wajahnya. Selang infus sudah tertancap di tangan kirinya. Sementara sebuah kamar asing kini sedang ia tempati.

"Di mana aku?" tanya Ron.

"Rumah sakit, Ron. Kau pingsan selama tiga hari." penjelasan Casie membuat Ron membelalakkan kedua matanya.

"Di mana Anne?" tanya Ron.

"Anne sudah tiada Ron! Sebaiknya kau berhenti bertanya di mana Anne," tegas Casie.

Ron menundukkan kepalanya. Ia terlihat kembali murung.

"Cukup, Ron. Anakmu menangis melihatmu terbaring diatas lantai waktu itu! Jika saja Granger tidak membawamu ke rumah sakit, mungkin kau sendiri sudah berada di dalam liang lahat!" ujar Casie yang terlihat kesal.

Ron melihat pada iris Casie yang terlihat penuh dengan amarah. Kini lelaki itu memilih untuk mengalah pada Casie, ia tak ingin membuat wanita di hadapannya lebih menyeramkan dari sekarang.

"Di mana Cio?" tanya Ron.

"Pulang, anak itu harus mengurus beberapa keperluannya diMansion," terang Casie.

Ron hanya mengangguk,"apa kau sudah tau mengenai Anne?"

"Ya, aku tahu!" jawab Casie dengan nada kesal.

"Aku bahkan belum sempat menyatakan perasaanku. Dan juga meminta maaf atas kebodohanku beberapa tahun lalu," ujar Ron.

Wajahnya memang tidak berbohong, lelaki itu sangat menyesali setiap keputusannya dulu. Sementara Casie membiarkan Ron larut, bukan karena ia tak peduli. Namun, hal itu agar Ron bisa mengerti tentang orang lain dan dirinya sendiri.

"Apa yang dikatakan dokter?" tanya Ron.

"Kau tidak makan dalam beberapa hari, tentu saja kau pingsan!" celoteh Casie.

"Maaf."

"Untuk apa?"

"Karena membuatmu khawatir, kakak."

"Hah! Sudahlah."

Ron tersenyum lalu menggenggam tangan Casie yang terasa dingin. Ron mengerti tentang kesedihan yang tengah Casie rasakan saat ini. Bagaimanapun, ia pernah dekat dengan Anne. Sosok yang selalu ia puja karena kekayaan dan cara kerjanya yang sangat profesional.

"Aku memimpikannya," ujar Ron tiba-tiba.

"Siapa?"

"Anne."

"Lalu? Apa ia akan segera kembali?" goda Casie.

"Hahaha, lihatlah ... kini kau terlihat sangat lucu, Casie."

"Apa? Dasar kau ini! Sengaja membuatku panasaran."

Ron terus saja terkekeh, meski kini hatinya sedang menangis. Tetapi ia tak ingin melihat Casie meneteskan airmata.